tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor golongan barang ampas dan sisa industri makanan mencapai USD451,7 juta yang setara Rp6,7 triliun (kurs Rp14.980 per USD) pada Juni 2023. Nilainya bertambah USD89,3 juta atau meningkat 24,66% secara month to month (mtm), namun turun 6,66% secara tahunan atau year on year (yoy).
Bulan lalu, ia merupakan komoditas impor yang nilainya mengalami kenaikan paling tinggi. Disusul golongan kendaraan udara dan bagiannya, gula dan kembang gula, bahan peledak, korek api, dan kembang api serta timah dan barang daripadanya. Masing-masing meningkat USD83,9 juta, USD27,9 juta, USD7,4 juta dan USD4,8 juta.
Bagi orang awam, kata ampas dan sisa makanan yang disematkan pada golongan barang tersebut berpeluang menimbulkan konotasi negatif, seolah menjijikan. Padahal, limbah yang dimaksud kebanyakan merujuk pada bahan yang akan diolah sebagai campuran pakan hewan, misalnya bungkil kedelai untuk ternak ayam.
Indonesia sebenarnya juga mengekspor golongan serupa ke luar negeri. Namun nilainya tidak sebanyak impor. Pada Juni 2023 lalu, BPS mencatat nilai ekspor RI untuk komoditas itu tercatat USD216,8 juta atau sekitar Rp3,2 triliun.
Jadi terdapat defisit neraca perdagangan sekitar USD234,9 juta atau setara Rp3,5 triliun untuk kategori ampas dan sisa makanan.
Pada Mei 2023, komoditas limbah industri makanan didatangkan Indonesia dari sejumlah negara. Mayoritas berasal dari Brasil, Amerika Serikat, Australia, Tiongkok dan Argentina. Gabungan kelimanya menghasilkan USD315,9 juta yang jika dipersentasekan lebih 90% dari total nilai impor saat itu, yakni USD362,4 juta atau Rp5,4 triliun.
Ketergantungan RI terhadap impor limbah industri makanan, terutama bungkil kedelai, sudah berlangsung lama. Fakta ini dicatat dalam laporan Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific yang berjudul Livestock Industries of Indonesia prior to the Asian Financial Crisis (1999).
Bungkil kedelai merupakan bahan utama pakan unggas di Indonesia selain jagung. Sejak dulu, ia diimpor dari luar negeri meskipun negara kita telah menanam lebih dari 1,5 juta ton kedelai setiap tahun. Akan tetapi, tetap saja produksinya tidak memenuhi permintaan, sehingga hanya cukup untuk produk olahan makanan seperti tempe, tahu ataupun kecap.
Menurut laporan FAO, impor bungkil kedelai terus meningkat pada paruh pertama 1990-an. Jumlahnya melambung lebih dari satu juta ton kurun 1996-1997. Antara 1990 dan 1994, impor naik 9,4% per tahun. Lonjakan dramatis 100% terjadi lagi mulai 1994 hingga 1997. Kala itu, pemasok utama adalah India dan negara-negara di Amerika Selatan.
Masih berdasarkan laporan FAO, ada alasan utama yang menjadikan bungkil kedelai sebagai bahan pakan favorit bagi para peternak. Konon, komoditas ini dianggap sumber protein terbaik untuk unggas. Jika diolah dengan benar, maka pencernaan ayam terhadapnya relatif tinggi dibanding sumber-sumber protein nabati lain.
Karena datang dari luar, harga jual domestik otomatis disesuaikan. Di Indonesia, bisnis ampas dan sisa industri makanan didominasi oleh segelintir pihak yang tidak sebatas berdagang pakan, namun juga turut memproduksi dan menjual ternak. Akibatnya, pelaku usaha skala kecil – peternak rakyat – terpaksa bergantung sekaligus bersaing dengan mereka.
Menurut penelitian I.W. Mathius dan A.P. Sinurat yang berjudul Pemanfaatan Bahan Pakan Inkonvensional untuk Ternak (2001), ketersediaan komponen penyusun pakan, terutama konsentrat, selama ini terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan. Itulah sebabnya pelaku industri mengimpornya dari luar negeri.
Bahan Pakan Impor Dorong Produktivitas
Seiring dengan peningkatan bahan pakan impor, produktivitas ternak ayam terpantau meningkat. Pada 2022, BPS mencatat produktivitas ayam broiler atau ayam ras pedaging mencapai 3,7 juta ton, meningkat 18% dari 2021.
Selain ayam broiler, produksi telur juga melonjak. Produksinya tembus 5,5 juta ton pada 2022 dan konsisten naik sejak dua tahun sebelumnya. Pada tahun lalu, terdapat dua provinsi yang mampu menyumbang hingga ratusan ton telur. Keduanya adalah Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Dorongan untuk meningkatkan produksi daging maupun telur ayam didukung oleh kenaikan tingkat konsumsi masyarakat. Dalam buku BPS berjudul Distribusi Perdagangan Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia 2022, diketahui rata-rata konsumsi daging ayam ras di kelompok rumah tangga mencapai 6,048 kilogram per kapita per tahun pada 2021, meningkat 8,62% (yoy).
Secara keseluruhan, total konsumsi daging ayam tembus 1,6 juta ton pada 2021. Begitu pula telur. Dalam bukuStatistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2022, Kementerian Pertanian RI mencatat rata-rata konsumsi rumah tangga per kapita seminggu naik 4,10% pada 2021.
Walaupun tingkat konsumsi meningkat, tetapi jumlahnya belum melampaui produksi. Jadi berdasarkan penulusuran data BPS tersebut, boleh dikatakan terdapat kelebihan pasokan di pasar. Nah, jika terdapat kelebihan pasokan, secara teori maka seharusnya tidak terjadi kenaikan harga.
Namun belakangan ini, data menunjukkan fakta sebaliknya. Menurut laporan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, dua bahan pokok tersebut justru mengalami lonjakan yang signifikan.
Di beberapa daerah, harga daging ayam ras tembus melebihi Rp50 ribu per kilogram. Sedangkan untuk telur mencapai Rp37 ribu per kilogram. Pada Jumat (21/7/2023), harga daging ayam termahal mayoritas berada di bagian timur Indonesia dan beberapa juga melanda Kalimantan. Demikian pula dengan telur. Harga termahal ada di Papua.
Dengan kondisi harga yang melambung tinggi di tengah surplus produksi tentu menimbulkan pertanyaan, faktor apa yang memicu kenaikan harga tersebut.
Impor ampas dan sisa makanan industri kemudian dituduh menjadi biang keladinya. Pasalnya, pakan merupakan komponen biaya utama yang menentukan harga jual ayam. Kontribusinya bisa mencapai 60-70% dari harga produksi. Lalu, mengapa pelaku industri tetap memilih untuk terus mengimpor bahan pakan tersebut?
Solusi Pakan Lokal Kurang Produktif
Sebenarnya, terdapat aneka limbah pertanian lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai alternatif guna mencukupi kebutuhan pakan ternak non-ruminansia seperti ayam ras, ayam buras dan itik. Akan tetapi, efeknya tidak sebaik bungkil kedelai, terutama dalam segi produktivitas. Inilah yang konon menyebabkan ia sukar digantikan.
Beberapa jenis limbah pertanian yang bisa digunakan sebagai pakan ternak unggas. Antara lain dedak padi, daun singkong, bungkil kelapa, ampas tahu, bungkil inti sawit, kepala udang, kulit buah atau pod kakao dan daun rami. Walau layak dijadikan opsi, namun terdapat ketentuan untuk menghindari hasil negatif.
Penggunaan dedak padi dalam ransum unggas sudah banyak diteliti dan hasilnya beragam. Secara umum, penggunaan dedak broiler tidak disarankan lebih dari 10%, sedangkan untuk ayam petelur maksimal 20%. Menambahkan 33% dedak dalam ransum ayam berdampak menurunkan produksi telur dari 75% menjadi 71%.
Singkong merupakan tanaman endemik daerah tropis dan telah banyak dibudidayakan di tingkat pedesaan. Pada umumnya, limbah yang dapat digunakan dari tumbuhan ini adalah bagian daun. Untuk ayam broiler, campuran konsentratnya disarankan tak lebih dari 5%. Jika mencapai 10%, maka ia dapat menghambat pertumbuhan ternak.
Penelitian juga membuktikan bungkil kelapa mengandung protein tinggi, sekitar 22%. Karena itulah ia sering dicampur dalam ransum ternak. Namun, penggunaannya untuk pakan ayam broiler dianjurkan tidak melebihi 15%. Sedangkan khusus itik, ada yang menyarankan tidak lebih 10%, tapi ada pula yang menganggap batas amannya 30%.
Berbagai ketentuan juga berlaku untuk limbah-limbah pertanian lainnya, seperti ampas tahu hingga daun rami. Walau bisa dimanfaatkan sebagai alternatif, namun ketersediaan pasokan tetap tidak mampu menggantikan peran bungkil kedelai sebagai sumber pakan utama ternak non-ruminansia di dalam negeri.
Berdasarkan penelusuran di atas, sudah semestinya menjadi kewajiban pemerintah untuk mengembangkan penelitian dalam mencari sumber pakan alternatif yang mampu menggantikan posisi bungkil kedelai dan jagung. Ketergantungan yang berlebihan terhadap impor bahan pakan ini dapat mengancam ketahanan pangan Indonesia.
Apabila terdapat kendala pada pasokan kedelai global, serta diiringi dengan pelemahan nilai tukar rupiah, tidak menutup kemungkinan ayam dan telur berpeluang menjadi sumber protein “mewah” yang tidak lagi terjangkau bagi masyarakat.
Editor: Dwi Ayuningtyas