tirto.id - Irom Chanu Sharmila, 46 tahun, lahir di Imphal, negara bagian Manipur, India. Ia adalah aktivis perempuan yang rela "puasa" atau mogok makan selama 16 tahun demi sebuah misi mulia.
Ini semua berawal, saat di daerah tempat Irom Sharmila tinggal, pasukan militer dan paramiliter kesulitan menumpas pemberontak yang tinggal di hutan. Mereka menembak secara acak, tak peduli warga sipil atau bukan. Namun, aparat militer kebal hukum, negara memberikan mereka impunitas.
Militer dan paramiliter memiliki payung hukum Armed Forces Special Powers Act (AFSPA) sejak 1958. AFSPA adalah UU khusus angkatan bersenjata, ia memberikan hak bagi petugas keamanan untuk membunuh tanpa didahului kecurigaan dan tanpa proses pengadilan. UU itu berlaku di Jammu, Kashmir, dan tujuh negara bagian India termasuk Manipur.
Saling bantai antara pemberontak dan aparat keamanan sudah berlangsung lima dasawarsa di Manipur. Hingga kini AFSPA telah menjadi dasar bagi kematian 1.500 orang tanpa didahului proses hukum. Warga tak berani keluar rumah saat petang tiba. Perekonomian lumpuh, pengangguran merajalela, aparat keamanan patroli sepanjang waktu, kerusakan mental pada anak-anak menjadi tinggi.
“Semuanya berantakan di Manipur sekarang. Para politisi sepenuhnya bergantung pada kekuasaan, pada kekuatan fisik. Mereka haus kekuasaan,” kata Irom Sharmila dalam sebuah wawancara dengan The Independent pada 2010 silam.
Pada 2 November 2000, aparat militer memberangus sebuah halte bus di Malon, sebuah kota kecil di pinggiran Imphal. Sebanyak 10 warga sipil berusia 17 hingga 30 tahun tewas tanpa bukti terlibat pemberontakan. Saat itu, Irom Sharmila murka, dia izin pada ibunya untuk melakukan puasa tanpa batas waktu. Saat itu perempuan dengan julukan "The Iron Lady Of Manipur" masih berumur 28 tahun. Tujuannya untuk memprotes UU khusus AFSPA. Dia berharap payung hukum itu dihapus.
Enam hari dari aksi ogah makan, Irom Sharmila pingsan hingga harus diinfus. Esoknya rangkaian selang sekitar sepanjang setengah meter dimasukkan ke lubang hidung Irom Sharmila sebagai tabung makanan. Tiga kali sehari perawat menuangkan campuran vitamin, karbohidrat, protein, dan obat pencahar melalui selang.
Irom Sharmila diisolasi di Rumah Sakit Institut Ilmu Kedokteran Jawaharlal Nehru, Imphal Timur, Manipur. Dia menolak untuk minum. Untuk bersihkan gigi dan mulut, dia gunakan kapas kering tanpa setetes pun air.
Dia ditahan di salah satu ruangan rumah sakit berukuran 20 kaki kali 12 kaki dengan cat terkelupas. Hari-hari dia habiskan dengan membaca buku, surat kabar, dan membuat puisi. Rambutnya kusut dan bengkok karena tak pernah dicuci. Puasa membuatnya berhenti menstruasi.
Themthing Ngashangva, Mantan inspektur polisi penjara ingat betul bagaimana seorang Polwan terkesan saat melihat Irom Sharmila berlatih yoga. Irom Sharmila push-up hanya dengan dua jari.
Aparat negara menahan Irom Sharmila di Rumah Sakit itu karena tuduhan melakukan percobaan bunuh diri. Hukumannya ialah kurungan penjara satu tahun. Jadi tiap satu tahun Irom Sharmila dibebaskan untuk kembali ke rumah. Namun, karena tetap puasa, esok harinya dia ditahan kembali.
"Aku sendirian, dikurung seperti burung beo di kandang. Seperti itu burung beo, saya akan lupa seperti apa ladang hijau itu, dan langit biru,” kata Irom Sharmila kepada Deepti Priya Mehrotra, saat dikunjungi 19 April 2007 yang lalu. Deepti adalah penulis buku Burning Bright: Irom Sharmila (2009).
Deepti menjelaskan dalam pertemuan itu, Irom Sharmila memeluknya, begitu terasa betapa rapuhnya tubuh Irom Sharmila dengan tubuh yang hampir tak ada lagi daging yang dilapis kulit.
Pada 19 Agustus 2014, Pengadilan Distrik di Imphal menyatakan bahwa puasa makan Irom Sharmila bukan tindak pidana. Pengadilan itu menganggapnya sebagai “Desakan politik melalui cara yang sah”. Irom Sharmila tak dibebaskan, dia tetap mengalami pengulangan siklus penangkapan.
“AFSPA menyebabkan pelanggaran HAM yang masif seperti penghilangan paksa, eksekusi di luar hukum, penyiksaan dan kekerasan seksual,” kata Henri Tiphagne, Ketua Forum Asia.
Aparat keamanan tak mengizinkan Irom Sharmila keluar dari ruangannya. Setiap ada tamu datang, aparat mengawasi perbincangan Irom Sharmila dengan tamunya. "Mereka memperlakukan saya seperti penjahat," katanya.
Deepti Priya Mehrotra menuturkan, untuk bertemu Irom Sharmila setiap orang harus melewati prosedur rumit dan berlapis. Biasanya memakan waktu sebulan. Mulai izin dari sekretariat bersama, pemerintahan Manipur, penjaga penjara pusat Sajiwa di Manipur, hingga pihak rumah sakit. Irom Sharmila benar-benar dibatasi untuk berinteraksi dengan dunia luar untuk lemahkan perjuangannya.
Izin itu masih mudah bagi orang luar Manipur. Sebab orang-orang termasuk keluarga Irom Sharmila dianggap sebagai pemberontak negara hanya karena tinggal di Manipur.
Mengakhiri Puasa Panjang
Setelah 16 tahun berpuasa, Irom Sharmila kembali menggunakan organ pencernaannya, pada 9 Agustus 2016 atau saat usianya sudah beranjak 44 tahun. Secara simbolis dia mencicipi madu. AFSPA tak kunjung dihapuskan Menteri Utama Manipur Okram Ibobi Singh. Ia punya keinginan menggantikan posisi Ibobi Singh.
Caranya Irom Sharmila akan berpartisipasi dalam arus politik utama. Dia mendirikan Partai Kebangkitan dan Keadilan Rakyat atau People's Resurgence and Justice Alliance (PRJA), pada 18 Oktober 2016. Dia melawan petahana Ibobi Singh.
Dia akan menjumpai para janda dan keluarga yang hak hidup orang-orang terdekatnya dicabut secara resmi oleh negara. “Saya ingin para wanita menekan pemerintah untuk hak mereka, dan untuk investigasi atas kematian,” kata Sharmila kepada Times of India.
Irom Sharmila berkampanye dengan berkeliling menggunakan sepeda angin. Sesekali dia berhenti di rumah warga dan menjelaskan terkait misinya. Dia menggambarkan bagaimana dia akan naik sepeda dan berhenti di sepanjang jalan untuk berbicara dengan warga.
Namun, Irom Sharmila tak mampu mengubah popularitas secara internasional yang dimilikinya menjadi keuntungan politik. Ia kalah telak di Pemilu. Dia hanya mendapatkan 90 suara atau hanya 0,33 persen. Sedangkan Ibobi Singh mendapat 18.649 suara. Bahkan tak ada satu kursi pun di parlemen yang didapat partainya.
"Meskipun saya telah dikalahkan, saya akan terus berjuang melawan Draconian Act [hukum yang kejam],” tuturnya. Ia akan ikut Pemilu selanjutnya.
Editor: Suhendra