tirto.id - Siang itu, Kota Secunderabad yang terletak di Telangana, India, cukup cerah. Cuaca yang cerah tersebut tak ingin kami lewatkan dengan berdiam diri di penginapan. Maka, saya dan dua teman perempuan saya memutuskan untuk pergi ke City Center Hyderabad.
Bus adalah sarana transportasi andalan di kota itu selain oto alias bajaj. Untuk mencapai City Center, kami harus berganti bus di terminal Secunderabad dekat Secunderabad Junction. Tempat pergantian bus tersebut cukup padat karena berdekatan dengan stasiun kereta api yang setiap harinya didatangi ratusan orang dari luar kota.
Saat berdiri menunggu bus, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki dan perempuan berusia sekitar 14 tahun mendekati kami dan berbicara menggunakan bahasa Telugu (bahasa penduduk setempat). Karena tak memahami apa yang mereka bicarakan, kami diam tak merespons. Kami bahkan mundur, berusaha menghindari anak-anak itu.
Mungkin karena tak ada respons, salah seorang dari anak-anak itu mulai berbicara dengan nada meninggi dan langsung mencakar tangan kanan saya hingga menyebabkan luka kecil. Sontak kedua teman saya berteriak. Namun, orang-orang yang berada di dekat perempuan-perempuan itu hanya memandang ke arah mereka dan yang lainnya tak acuh.
Sementara itu, kedua remaja tadi langsung menghilang di tengah keramaian. Kemudian ada seseorang yang menghampiri kami dan mengatakan bahwa anak-anak tadi sering meminta-minta. Kami diminta untuk berhati-hati, setelah ia mengetahui bahwa kami bukanlah penduduk setempat.
Secara umum, ternyata tindakan kekerasan memang sering terjadi di India, terutama pada perempuan. Kekerasan tak hanya menimpa para pelancong seperti kami, tetapi juga pada perempuan-perempuan setempat. Kasus kejahatan yang marak terjadi pada kaum perempuan di India adalah pemerkosaan.
Kasus pemerkosaan yang banyak menyita perhatian publik adalah yang terjadi pada Aruna Shanbaug yang berprofesi sebagai seorang suster. Ia mengalami kekerasan seksual secara brutal oleh Sohanlal Bhartha Walmiki di basement Rumah Sakit di India.
Aruna Shanbaug mengalami kebutaan dan kerusakan pada otak yang menyebabkannya koma lebih dari 40 tahun. Keluarga Aruna bahkan berkeinginan untuk melakukan suntik mati untuk mengakhiri penderitaan Aruna, tapi hukum di India tidak melegalkan praktek suntik mati.
Kasus pemerkosaan lain yang menyita perhatian dunia saat Jyoti Singh, seorang mahasiswi berusia 23 yang diperkosa di bus pada Desember 2012. Nasib tragis ini terjadi saat ia dan temannya hendak pulang usai menonton. Mereka menumpang bus di New Delhi.
Saat naik ke dalam bus itu, mereka diserang. Temannya yang laki-laki itu dipukul hingga babak belur dan Jyoti diperkosa secara brutal sepanjang perjalanan di New Delhi oleh beberapa orang. Setelah diperkosa, mahasiswi dan temannya dilempar keluar bus bus dalam keadaan telanjang.
Polisi setempat kemudian menangkap 4 tersangka dan mereka dijatuhi hukuman mati. Gelombang unjuk rasa pun terjadi menuntut pemerintah untuk segera bertindak terhadap kejahatan yang sering menimpa kaum hawa tersebut. Isu kekerasan terhadap perempuan pun menjadi sorotan di India. Namun setelah empat tahun berlalu, kasus kejahatan terhadap perempuan masih terus terjadi.
Meski pelaku pemerkosaan dijatuhi hukuman paling berat yakni hukuman mati, hal itu tak membuat jera para pelaku lainnya. Tahun 2017 bahkan diawali dengan kasus pemerkosaan seorang siswa yang dilakukan oleh kepala sekolah dan tiga gurunya.
Seorang aktris terkenal pada Februari lalu pun menjadi korban tindak kejahatan tersebut. Ia diculik dan diperkosa di Kerala, India selatan. Aktris tersebut diculik oleh sekelompok orang lalu setelah diperkosa ia diturunkan di kota Kochi.
Pelancong perempuan pun tak luput dari tindak kejahatan tersebut. Pada Maret dan April lalu, seorang wisatawan asal Irlandia diperkosa secara brutal lalu dibunuh di wilayah Goa, India. Pelancong lainnya asal Jerman juga diperkosa oleh dua laki-laki.
Berbagai kejahatan terhadap perempuan itu kemudian mengilhami seorang artis Kalkuta, Sujatro Ghosh membuat proyek baru. Proyeknya itu adalah menyandingkan tren perlindungan terhadap sapi dan tingginya kekerasan terhadap perempuan. Proyek itu dilancarkan dengan menunjukkan perempuan-perempuan yang mengenakan masker sapi yang berpose di tempat umum seperti di kereta api atau sedang bersantai di rumah.
“Isu utamanya adalah tentang hak dan perlindungan perempuan. Saya tidak menentang perlindungan terhadap sapi, saya cinta binatang. Tapi saya khawatir dengan gambaran sosiopolitik negara saya,” ujar Ghosh, seperti dikutip The Guardian.
Di India, demi melindungi sapi, sebagian besar orang rela melakukan kekerasan dan hal itu dianggap wajar dan dibenarkan. Berbagai cara dilakukan untuk melindungi sapi. Setelah Narendra Modi menjadi perdana menteri, perlindungan terhadap sapi semakin ditingkatkan. Hukuman bagi yang menyelundupkan sapi atau yang menyembelih juga diperkuat sejak Modi memimpin.
Di sisi lain, perempuan semakin tak aman. Sebagai indikasinya, hampir setiap hari ada perempuan yang mengalami pemerkosaan di India. Laporan The Indian Times pada 2015 menyebut ada 34.651 kasus pemerkosaan di India. Gang rape atau perkosaan beramai-ramai mencapai 2.113 kasus di tahun tersebut.
Kejahatan terhadap perempuan seperti pelecehan seksual termasuk dipaksa untuk melepas baju, diintip, dan penguntitan mencapai 84.222 kasus. Itu adalah kasus terdaftar. Penculikan terhadap perempuan mencapai 59.277 kasus di tahun 2015. Memaksa perempuan untuk menikah adalah alasan utama banyaknya penculikan terhadap perempuan di India. Pada 2015, hampir 54 persen penculikan perempuan dilakukan untuk memaksa mereka untuk menikah.
New Delhi menjadi kota dengan tindak kejahatan tertinggi terhadap perempuan. Kota lainnya adalah Assam yang berada di posisi kedua. Dalam survei World Economic Forum, New Delhi masuk dalam daftar kota keempat yang paling tidak aman bagi seorang perempuan.
Situasi-situasi inilah yang melatarbelakangi Ghosh untuk menyandingkan tren perlindungan terhadap sapi, binatang yang dipuja oleh banyak penduduk, dengan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan. Sapi di India pada kenyataannya memang lebih aman dibandingkan menjadi perempuan di sana.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani