tirto.id - Dengan alasan kuat mengenai pelanggaran kode etik, Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI secara resmi mencopot Irman Gusman dari jabatannya sebagai Ketua DPD RI setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka suap.
Keputusan tersebut diambil dalam rapat pleno BK DPD RI yang dipimpin Ketua BK AM Fatwa dan Wakilnya Lalu Suhaimi Ismy di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (20/9/2016) malam.
BK DPD RI memutuskan mencopot Irman Gusman dengan pertimbangan melanggar etika dan Tata Tertib DPD RI pasal 52 huruf c, yang berbunyi, "Ketua dan Wakil Ketua DPD RI dapat diberhentikan dari jabatannya jika menjadi tersangka kasus pidana".
Menurut AM Fatwa, BK DPD RI membuat keputusan sesuai dengan kewenangannya yakni soal etik, sedangkan terhadap kasus hukumnya menghormati proses hukum yang sedang dilakukan KPK.
Selain itu, lanjutnya, keluarga Irman Gusman juga telah menerima surat penahanan dari KPK, sebuah bukti lain yang memperkuat keputusan BK DPD RI tersebut.
Fatwa menambahkan hasil rapat pleno BK ini akan disampaikan pada rapat paripurna DPD RI yang akan diselenggarakan pada hari ini.
Sebagai informasi, sebelum keputusan tersebut dibuat, rapat pleno BK DPD RI telah meminta pandangan dua pakar hukum tata negara yakni Zein Badjeber dan Refly Harun, selain Sekjen DPD RI.
Sebelumnya, KPK menangkap anggota Dewan Perwakilan Daerah berinisial IG, yang diduga Irman Gusman, di rumah dinasnya, Jalan Denpasar Raya, Jakarta, Sabtu (17/9/2016) dini hari.
KPK meyakini bahwa Irman Gusman telah menerima uang suap sebesar Rp100 juta yang merupakan uang jasa rekomendasi untuk kuota impor gula wilayah Sumatera Barat. KPK menilai rekomendasi tersebut dapat mempengaruhi Bulog dalam memberikan jatah kuota impor gula.
Irman Gusman sendiri langsung memberikan bantahan terkait status tersangka dan dugaan menerima suap yang disangkakan oleh KPK terhadapnya. "KPK terlalu dini mengumumkan status uang itu sebagai suap dan menetapkan saya sebagai yang menerima suap,” tukas Irman.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) HM Arum Sabil meyakini bahwa kasus ini dapat menjadi jalan pembuka bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum lain untuk mengungkap skandal impor gula di Indonesia.
"Kami yakin kasus ini akan mengungkap kasus perburuan rente dari fee impor gula yang jauh lebih besar yang melibatkan pejabat negara dan pengambil kebijakan di negeri ini," tegas Arum.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara