tirto.id - Presiden Iran, Hassan Rouhani memperingatkan Eropa untuk menarik pasukannya dari Timur Tengah. Ia menyebut pasukan asing bisa saja "dalam keadaan bahaya."
"Hari ini, pasukan Amerika sedang dalam bahaya, besok bisa saja pasukan Eropa yang dalam bahaya," ujarnya pada Rabu (15/1/2020), sebagaimana diwartakan Aljazeera.
Pernyataan Rouhani ini untuk pertama kalinya mengindikasikan acaman bagi Eropa, di tengah ketegangan antara Iran-AS. Sekaligus, pernyataan tersebut muncul sehari setelah Inggris, Perancis, dan Jerman menyatakan bahwa Iran melanggar sanksi yang dikenakan padanya tentang penggunaan nuklir.
Iran dan enam negara superpower lainnya menandatangani perjanjian soal nuklir yang disebut Joint Comperehensive Plan of Action (JCPOA). Namun, AS mundur dari perjanjian tersebut pada 2018.
Negara-negara Eropa mengumumkan pada Selasa (14/1/2020) bahwa Iran sudah menyalahi perjanjian dalam JCPOA dengan meluncurkan rudal ke Irak, tepatnya ke markas militer AS Irak, yang dipicu oleh kematian Jenderal Qassem Solemaini di Baghdad oleh pasukan AS.
Rudal tersebut juga merupakan peringatan bagi AS, dan kini lewat sebuah pernyataan, Iran memberi peringatan terhadap Eropa.
Pasukan Eropa ditempatkan di sekitar Irak dan Afganistan, bersama dengan pasukan AS. Perancis memiliki pasukan di Abu Dhabi, ibu kota Uni Enimrat Arab. Sedangkan, Inggris menempatkan pasukan di negara kepulauan Bahrain.
Juru bicara Komisi Uni Eropa, Peter Stano menyatakan bahwa Eropa waspada terhadap ancaman di Timur Tengah, tetapi belum ada rencana untuk menarik pasukan dari Timur Tengah.
Di sisi lain, usai pembunuhan Soleimani Iran juga mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mematuhi batas-batas perjanjian nuklir mana pun, yang dianggap sebagai batasan buat Iran untuk menghasilkan senjata nuklir sebanyak yang mereka mau.
Namun, Times mewartakan, Iran tetap mengizinkan pengawas nuklir PBB mengakses situs-situs nuklirnya. Pada Rabu (14/1/2020) Rouhani juga menyatakan bahwa mereka janji tidak akan membuat bom.
Dengan ketegangan yang terus meningkat ini, Eropa terdorong untuk bertindak sesuatu, namun Rusia dan Cina keberatan, karena setiap pelanggaran perjanjian mengurangi "waktu istirahat", yaitu sebutan untuk jangka waktu yang diperlukan Iran menghasilkan bom nuklir.
Dominic Raab, Menlu Inggris menyatakan bahwa Iran memerlukan waktu satu tahun untuk memiliki bahan yang cukup untuk memproduksi senjata nuklir.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Yantina Debora