Menuju konten utama

Investasi Otak Cegah Risiko Demensia Saat Tua

Indera penciuman yang buruk bisa menjadi salah satu ciri gejala demensia.

Investasi Otak Cegah Risiko Demensia Saat Tua
Ilustrasi Lansia mengalami demensia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Semua manusia akan menua. Tapi tidak semua bisa menua dengan berkualitas. Proses penuaan membuat fungsi fisiologis tubuh menurun sehingga rentan terserang penyakit dan mengalami penurunan fungsi otak. Siklus degeneratif memang tidak bisa dihentikan, tapi bisa diperlambat.

Data dari Statistik Penduduk Lanjut Usia yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 menyebutkan dalam waktu hampir lima dekade (1971-2017), persentase lansia di Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat. Angka pada 2017 menjadi 23,4 juta jiwa, sekitar 8,97 persen populasi total.

Data terbaru dari 2018 menunjukkan populasi lansia mencapai 24,49 juta atau sekitar 9,27 persen penduduk total. Dari jumlah tersebut, lansia perempuan memiliki populasi satu persen lebih banyak dibanding lansia laki-laki, yakni 9,47 persen banding 8,48 persen.

“Dari aspek kesehatan, hampir separuh lansia mengaku mengalami keluhan kesehatan sebulan terakhir,” ujar dr. Rensa, spesialis Geriatri di RS Atma Jaya, kepada Tirto, Rabu (9/7)

Kelompok lansia di Indonesia didominasi usia 60-69 tahun. Persentasenya mencapai 5,65 persen dari penduduk Indonesia. Angka harapan hidup negara ini juga selalu meningkat, tahun 2018 ini rata-rata mencapai 69-73 tahun. Meski begitu, angka kesakitan lansia negara ini masih berkisar 26,72 persen. Artinya, dari 100 lansia terdapat sekitar 27 lansia sakit.

“Sebesar 7,68 persen lansia pernah rawat inap dalam setahun terakhir. Persentase lansia yang sakit lebih dari tiga minggu cukup besar, sekitar 14 persen,” jelas Rensa.

Statistik tersebut bisa diartikan bahwa masih banyak lansia belum mendapatkan kualitas hidup di masa tua. Penelitian internal yang dilakukan oleh RS Atma Jaya di ruang inap penyakit dalam menyatakan hipertensi sebagai kasus terbanyak dialami lansia (23,7 persen). Dari total sampel sebanyak 131 pasien, 13 persen menderita diabetes melitus.

Kedua penyakit ini merupakan pemicu lain dari penurunan fungsi kognitif pada lansia. Pada penderita hipertensi, fungsi kognitif akan menurun setelah satu tahun terdiagnosis. Penyakit ini juga meningkatkan risiko stroke dan demensia di kemudian hari. Sementara sekitar 40 persen pasien diabetes melitus mengalami penurunan fungsi kognitif.

Otak adalah Investasi untuk Masa Depanmu

Pernah nonton Rise of the Planet of the Apes? Film itu berkisah tentang seorang peneliti bernama Will Rodman yang berusaha menemukan obat Alzheimer. Ayah Rodman diceritakan menderita degenerasi otak, ia sering lupa cara memakai perkakas makan, bahkan pernah mengemudikan mobil tetangga karena mengira itu mobil miliknya.

Obat yang ditemukan Rodman sempat berhasil memperbaiki kerusakan otak ayahnya, tapi efeknya hanya sementara. Hingga saat ini, demensia, termasuk Alzheimer memang belum ditemukan penyembuhnya. Contoh yang lebih nyata bisa ditemukan di berita-berita kehilangan atau ditemukannya lansia yang linglung, tidak ingat jalan pulang, bahkan alamat rumahnya sekalipun.

Infografik Investasi Otak

Infografik Investasi Otak. tirto.id/Nadia

Gejala-gejala gangguan ingatan seperti kasus tersebut disebabkan oleh kerusakan sel otak yang lazim disebut sebagai demensia. Penyakit ini memiliki beberapa gejala mulai dari gangguan daya ingat, sulit fokus, sulit melakukan kegiatan sehari-hari, disorientasi tempat dan waktu, sulit memahami visio spasial, sulit berkomunikasi, menaruh barang tidak pada tempatnya, salah membuat keputusan, menarik diri dari pergaulan, dan perilaku serta kepribadian berubah.

“Kalau sudah merasa daya ingat menurun drastis dibanding dua tahun lalu. Apalagi keluarga juga bilang kalau (anggota lansia) sering lupa, harus langsung cek,” ungkap dr. Yuda Turana, ahli neurologi sekaligus dekan FK UNIKA Atma Jaya, kepada Tirto (9/7)

Pemeriksaan otak dan kesehatan perlu dilakukan untuk mencari faktor risiko dan deteksi dini gangguan di otak. Demensia ditandai dengan kemunculan plak pada otak bagian bawah belakang, meluas ke samping, lalu menyebar ke atas. Deteksi dini prademensia dapat dilakukan melalui pemeriksaan MRI otak, pemeriksaan kognitif, dan pemeriksaan olfaktorius/penghidu.

Pada pemeriksaan kognitif, daya ingat pasien seputar kehidupan sehari-hari akan diuji. Sementara pemeriksaan penghidu mengharuskan mereka mengidu dan menyebutkan bau-bauan lazim seperti minyak kayu putih, kopi, melati, mentol, tembakau, pandan, coklat, jeruk, dan kapur barus. Jika ada gangguan pada penghidu dan pasien tak bisa menyebutkan dengan benar, hal tersebut bisa menjadi alarm demensia.

Idealnya, pemeriksaan otak untuk mendeteksi gejala demensia dilakukan lima tahun sekali bagi orang dengan usia di bawah 35 tahun. Mereka yang berusia lebih dari 35 tahun patutnya melakukan pemeriksaan 2-3 tahun sekali. Sementara pada usia lebih dari 40 tahun, periodenya setahun sekali. Yuda melanjutkan, kesehatan otak dan masa tua berkualitas ditentukan oleh pola hidup sehat sejak muda.

“Investasi otak, menjaga otak produktif dan tetap sehat dengan periksa kesehatan, hindari rokok, olahraga, diet sehat, dan kelola stres,” saran dr. Rensa.

Baca juga artikel terkait LANSIA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf