tirto.id - “Di benakku hanya ada gambaran tangan-tangan mungil dan wajah kecil polosnya saat ini. Jadi, jika ditanya apakah aku siap kalau suatu hari nanti aku harus hidup terpisah dengan anak, jujur, aku belum membayangkannya sekarang. Tapi yang pasti, kelak aku akan jadi pendukung nomor satunya,” ujar Gary (36), ayah satu orang anak.
Sebagai orang tua, tentu terasa berat membayangkan hidup berpisah dengan buah hati suatu hari nanti. Tak ayal, obrolan tentang masa depan dan anak membuat Gary menghela napas berat.
Gary mengaku, ia dan istrinya belum punya bayangan bagaimana akan menjalani masa tua, “Tapi kalau bisa, maunya kami menghabiskan waktu berdua aja di satu daerah dengan lingkungan yang tenang. Entah di pinggir kota ataupun di daerah lain.”
Yang jelas, bagi Gary, tak pernah terlintas di benaknya untuk menempati panti jompo. Bukan lantaran stigma negatif ‘panti jompo’, melainkan karena keluarga dan lingkungan tempatnya tumbuh tak ada yang pernah bersinggungan dengan tempat tersebut.
Sudut pandang Gary berbeda dengan Byl (36).
Tradisi tinggal bersama keluarga dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Pada 2022, lebih dari 34 persen lansia di Indonesia tinggal bersama keluarga tiga generasi.
Di luar negeri, elderly house justru menjadi pilihan lansia untuk menikmati hari tua alih-alih tinggal bersama anak atau cucu. Pasalnya, pilihan panti jompo lebih beragam. Di Indonesia pun kini sudah banyak panti jompo dengan kualitas layanan setara hotel berbintang ataupun villa.
Memang perlu diakui, konotasi negatif erat menempel dengan ‘panti jompo’. Bagaimana tidak, kondisi di lapangan seperti mengamini anggapan miring yang beredar.
“Walaupun aku nggak melihat panti jompo sebagai sesuatu yang buruk, tapi menyaksikan langsung kondisi mereka (lansia) di panti jompo, nggak bisa dibohongi memang sempat membuatku sesak,” ujar Gary mengenang kunjungannya ke salah satu panti jompo yang dikelola pihak swasta.
“Saya nggak pengen apa-apa. Cuma pengen ditengok sama anak-cucu aja,” tutur Gary menirukan salah satu lansia yang tinggal di panti jompo tersebut.
Well, tak bisa dimungkiri masyarakat sendiri yang kerap membentuk stigma negatif tentang panti jompo—secara tak langsung mengasosiasikannya dengan “tempat pembuangan orang tua”.
“Menurutku, sebenarnya nggak ada yang salah dengan menghabiskan masa tua di panti jompo ataupun tinggal bareng anak atau keluarga. Yang akhirnya menjadi salah adalah saat anak-anak nggak memberikan ruang untuk orang tua memilih. Dan buatku pribadi, keputusan untuk menikmati masa tua nanti di panti jompo murni karena aku menyusahkan keluarga kelak karena harus mengurusku,” ujar Byl.
Meski tidak rinci, Byl bercerita bahwa keputusannya tentang panti jompo berkaitan dengan pengalaman ibunya. Selama ini, ia menyaksikan sang ibu, anak bungsu perempuan satu-satunya, mengabdikan diri merawat keluarga dan orang tua seiring kakak-kakak ibunya “bebas” mengejar cita-cita.
“Buatku, tradisi seperti ini tidak sehat jika diwariskan turun-temurun. Dan rasanya, tidak adil juga bagi anak jika orang tua membebani kewajiban kepada anak untuk mengabdi merawat mereka. Kalau orang tua bisa mendidik anak dengan baik, menurutku nggak perlu sampai ‘diwajibkan’, aku percaya anak akan pulang dengan sendirinya ke rumah dan ikut turun tangan merawat orang tua mereka,” Byl menambahkan.
Sementara itu, Gary yang dikarunia seorangi putra, juga tak sependapat dengan anggapan ‘anak adalah bentuk investasi orang tua’.
Meski tak terbesit tinggal di panti jompo di usia tua, Gary dan istri sepakat tidak mau membebani anak.
“Kalau aku pribadi, justru pengen banget kalau nanti anakku bisa sekolah yang tinggi di luar (negeri). Punya kesempatan kerja atau main keluar negeri supaya dia banyak dapat wawasan dan nggak kaya bapaknya,” seloroh Gary.
Apapun keputusan yang diambil, tinggal di panti jompo ataupun ikut anak di usia lanjut, kita perlu paham konsekuensi finansialnya.
Byl, yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang ekonomi, jauh lebih mapan membuat perencanaan keuangan sehari-hari. Ia berencana tinggal di panti jompo sekelas villa ataupun resort bintang empat.
“Sebenarnya saya sudah mulai perencanaan untuk pensiun sejak punya gaji. Tapi yang benar-benar serius dan berdasarkan perhitungan matang, mungkin baru sekitar 3 tahun terakhir,” ungkapnya.
Perencana keuangan bersertifikasi Ruisa Khoiriyah, CFP menambahkan, sejatinya perencanaan keuangan memang harus dimulai sejak kita bisa menghasilkan pendapatan bulanan. Melihat fenomena generasi sandwich saat ini, tak sedikit yang akhirnya gagal merencanakan keuangan karena keterbatasan.
Apabila Byl sudah sadar dan membuat perencanaan keuangan matang untuk masa tua, hal ini berbeda dengan Gary.
Gary mengaku, ia belum banyak terpapar dengan pengetahuan mengelola keuangan. Tingginya biaya pendidikan membuat Gary dan istri luput untuk mempersiapkan dana hari tua dan hanya fokus pada biaya pendidikan anak.
“Jujur, aku nggak ngerti sebenarnya berapa rupiah yang harus ada di tabungan untuk dana darurat, tapi aku sama istri sudah punya satu pos sendiri yang dialokasikan khusus untuk dana darurat. Sisanya, kami masih fokus untuk tabungan pendidikan anak dan asuransi. Kalau khusus buat pensiun, belum ada sih,” jelas Gary.
Menurut Ruisa, idealnya, persentase pendapatan bulanan yang dialokasikan untuk persiapan dana pensiun ada di angka 10-20 persen. “Investasikan dana tersebut ke instrumen investasi jangka panjang yang menawarkan return menarik,” paparnya.
Rantai generasi sandwich akan sulit untuk diputus apabila masyarakat menjalani rutinitas harian tanpa perencanaan. Rencana mulia orang tua-orang tua generasi Milenial yang ingin mengakhiri derita generasi sandwich boleh jadi hanya sekadar wacana tanpa persiapan dana.
“Apakah mungkin memutus rantai generasi sandwich? Mungkin saja dan itu bisa dimulai dari diri kita sendiri. Siapkan tabungan hari tua jauh-jauh hari agar kelak anak-anak tidak harus menanggung beban orang tua. Sementara, bila saat ini kita menjadi generasi sandwich, menurut saya pendekatannya akan sangat kasuistis. Namun yang paling penting adalah tentukan batasan sesuai kemampuan kita,” pungkas Ruisa.
Penulis: Syarahsmanda Sugiartoputri
Editor: Yemima Lintang & Sekar Kinasih