tirto.id - Executive Director SAFENe, Damar Juniarto menyebut, pemblokiran internet di Wamena Papua sejak Senin (23/9/2019) lalu meremehkan masyarakat Papua, karena dinilai tidak cerdas dalam mengelola informasi berbasis internet.
Padahal, kata dia, banyak dari mereka yang justru dapat memberikan informasi nyata dan sesuai fakta kepada sanak keluarganya di luar Papua sehingga dapat meredam kekhawatiran.
“Tindakan internet shutdown telah menjadi salah satu alat represi pemerintah di abad ke-21. Karena ini kembali dilakukan untuk ketiga kalinya, maka saya anggap internet shutdown telah menjadi sebuah cara wajar untuk menangani situasi konflik sosial di Indonesia. Ini sangat disayangkan karena membuat kondisi demokrasi di Indonesia semakin terperosok,” ujar Damar dalam keterangan tertulis, Selasa (24/9/2019).
Pemblokiran internet di Wamane diketahui berdasar keterangan pres Kemenkomindo Nomor 187/HM/KOMINFO/09/2019 pada Senin, 23 September 2019 pukul 19.00 WIB tentang Pembatasan Layanan Data di Wamena.
Pemblokiran internet, kata dia, masuk kategori internet shutdown. Hal ini mencakup gangguan yang disengaja pada internet atau komunikasi elektronik sehingga menjadikannya tidak dapat diakses atau secara efektif tidak dapat digunakan.
Kemudian kata dia untuk populasi tertentu atau di dalam suatu lokasi, seringkali hal itu digunakan untuk melakukan kontrol atas aliran informasi.
Bentuk pemblokiran internet, lanjut dia, yakni mencakup penutupan jaringan penuh (full network shutdown/total blackout), pembatasan bandwidth (bandwith throttling), dan pemblokiran platform komunikasi dua arah berbasis layanan, seperti media sosial misalnya: Twitter, Facebook, layanan pesan singkat semisal WhatsApp, Telegram, atau layanan email.
Damar mengemukakan, kebijakan internet shutdown ini melanggar hak-hak warga untuk memperoleh informasi.
Kebijakan ini, kata dia, juga cacat karena lewat pengambilan keputusan yang tertutup, ketiadaan prosedur standar pelaksanaan, minimnya evaluasi independen yang dilakukan oleh pihak di luar Kemkominfo, serta tidak adanya mitigasi gangguan terhadap pelayanan publik yang berhenti.
Hal ini, lanjut dia, menjadikan tindakan internet shutdown kelihatannya tidak memenuhi kualifikasi good governance.
“Sekali lagi kami tegaskan, tindakan internet shutdown tak lain adalah upaya memperdaya hukum dan mencirikan sebuah kebijakan yang jauh dari kualifikasi good governance yang transparan, akuntabel dan mengakui supremasi hukum,” kata Damar.
Oleh karena itu, SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara, mendesak agar internet di Wamena dinyalakan seperti sediakala.
Kemudian, pemerintah agar tak lagi memakai strategi internet shutdown untuk menangani persoalan sosial.
“Patuhi hukum yang ada dan hormati hak-hak warga untuk mengakses informasi sebagaimana yang dilindungi oleh Pasal 19 DUHAM dan pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik,” ungkap Damar.
Editor: Irwan Syambudi