tirto.id - Sejarah dunia mencatat keluarga Habsburg sebagai salah satu dinasti monarki paling berpengaruh yang berkuasa dari abad ke 15 sampai 20 di Eropa. Pencapaian dinasti ini cukup mentereng: menduduki takhta Kekaisaran Romawi Suci dan Kekaisaran Spanyol selama beberapa abad. Dari dua pemerintahan itu, muncul banyak wilayah kekuasaan, mulai Bohemia, Austria, Hungaria, Belanda, Inggris, Jerman, hingga Kroasia.
Identitas Habsburg, atau dikenal juga dengan Habichtsburg, diambil dari nama sebuah kastil yang terletak di Aargau, Swiss. Sebagaimana dicatat Encyclopaedia Britannica, kastil tersebut dibangun pada tahun 1020 oleh Werner, seorang uskup asal Strasbourg, dan saudara iparnya, Pangeran Radbot.
Radbot sendiri punya kakek yang tidak lain adalah Pangeran Guntram, yang pernah memberontak melawan Raja Jerman Otto I pada tahun 950. Gelar Habsburg mulai disematkan kepada Werner I, putra Radbot.
Dari Swiss, pusat kepemimpinan Habsburg bergeser ke Austria, ketika di bawah kepemimpinan Rudolf I. Pangeran Rudolf IV dari keluarga Habsburg adalah putra dari Raja Albert IV. Rudolf IV terpilih sebagai raja Jerman pada 29 September 1273. Resmi menjadi raja, namanya kemudian bersalin menjadi Rudolf I.
Rudolf I lantas memberi kedua putranya, Albert I dan Rudolf, tanah kekuasaan di Austria dan Styria, pada 1282, untuk dikelola bersama. Sejak saat itu, pusat Dinasti Habsburg pindah ke Austria. Mereka mendominasi Eropa lewat okupasi demi okupasi.
Dalam menjaga kekuasaannya, Dinasti Habsburg tak semata melakukannya dengan perang, melainkan juga lewat perkawinan. Cerita paling populer datang dari Spanyol.
Di Spanyol, Dinasti Habsburg Spanyol didirikan oleh Raja Philip I (putra Kaisar Romawi Suci Maximilian I) pada tahun 1516. Philip I menikahi Joanna, putri penguasa Spanyol, Ferdinand dari Aragon dan Elizabeth dari Kastilia. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Raja Charles I yang tercatat sebagai raja pertama Dinasti Habsburg Spanyol.
Pada masa-masa Dinasti Habsburg berkuasa, Spanyol bisa dibilang mencapai puncak kejayaannya, terutama di era Raja Charles I (1516-1556) dan Philip II (1556-1598). Salah satu indikator kejayaan Spanyol yaitu berhasil berekspansi serta menguasai daratan Amerika hingga wilayah Kepulauan Samudra Pasifik (Filipina, Maluku, maupun Sulawesi).
Mengamankan Dinasti
Dinasti Habsburg paham bahwa menikah, jika dilakukan dengan perhitungan politik, bisa menghasilkan putra mahkota yang siap menguasai kerajaan. Hal ini ditempuh Raja Philip I manakala merintis Dinasti Habsburg Spanyol. Maka, setelah mendapatkan Spanyol, kebijakan perkawinan sedarah (inbreeding) pun ditempuh guna menjaga kekuasaan tetap berada di lingkaran Habsburg.
Belum genap 200 tahun berkuasa di Spanyol (1516-1700), dominasi Habsburg harus terhenti di Raja Charles II, yang meninggal pada 1700 tanpa mewariskan putra mahkota. Charles II mengidap kelainan fisik dan komplikasi penyakit yang diduga turut menyebabkan dirinya tak dapat memiliki keturunan. Banyak yang mengira bahwa kondisi Charles II adalah imbas dari perkawinan sedarah. Charles II lahir pada 6 November 1661 dan menjadi raja saat usianya masih empat tahun.
Apabila dihitung, 9 dari 11 perkawinan yang terjadi selama pemerintahan Dinasti Habsburg merupakan perkawinan sedarah. Dalam kasus Charles II, misalnya, sang ibu, yang bernama Mariana, tak lain dan tak bukan adalah keponakan ayahnya sendiri, Raja Philip IV. Sementara nenek Charles II merupakan bibinya sendiri.
Kelompok peneliti dari University of Santiago de Compostela, Spanyol, yang dipimpin Gonzalo Alvarez, berupaya menyokong klaim sejarah kawin sedarah di lingkungan Dinasti Habsburg Spanyol dengan menggunakan perspektif studi genetik.
Dalam penelitian berjudul “The Role of Inbreeding in the Extinction of a European Royal Dynasty” (2009), Alvarez dkk. menghitung koefisien perkawinan sedarah untuk masing-masing individu di 16 generasi Habsburg Spanyol dengan data yang digunakan adalah silsilah Charles II beserta 3.000 kerabat maupun leluhurnya.
Hasil memperlihatkan bahwa perkawinan sedarah menghasilkan kumpulan gen kecil yang bisa membuat penyakit genetik resesif langka menjadi lebih umum. Koefisien perkawinan sedarah meningkat secara turun-temurun dari 0,025 di Raja Philip I, menjadi 0,254 di Raja Charles II. Angka tersebut diklaim hampir setinggi koefisien untuk perkawinan inses antara orang tua dengan anak maupun yang melibatkan adik atau kakak kandung.
Pada Akhirnya Harus Punah
Kondisi fisik Charles II menunjukkan tanda-tanda kelainan. Catatan kontemporer mendeskripsikan bahwa Charles II bertubuh pendek dan lemah. Semasa kecil, sampai usia delapan tahun, ia tidak bisa berbicara dan tidak bisa berjalan. Tak hanya itu, berbagai penyakit juga menumpuk di tubuh sang raja. Ia, ambil contoh, menderita masalah usus (sering diare dan muntah), hematuria (adanya sel darah merah dalam urine), serta sindrom abulic (tidak memiliki emosi, motivasi, dan apatis terhadap lingkungan).
Charles II menikah sebanyak dua kali, di usia 18 dan 29 tahun. Ángel García-Escudero López dkk., dalam "Charles II: From Spell To Genitourinary Pathology" (2009), meriwayatkan, istri pertama Charles II adalah keponakannya sendiri, Marie Louise. Pernikahan dengan Marie telah diatur. Alih-alih tertarik dan jatuh cinta, Marie justru merasa takut sebab perawakan raja yang buruk serta kondisi fisiknya yang sakit-sakitan.
Pernikahan tersebut tidak menghasilkan keturunan, sampai meninggalnya Marie pada 1689. Kala sang raja tertekan akibat kehilangan istrinya, para menteri dan penasihatnya malah menyarankan dirinya untuk kawin lagi. Beberapa minggu setelah kepergian Marie, Charles II menikah dengan Marie-Anne dari Neubourg. Lagi-lagi pernikahan ini tak menghasilkan keturunan. Marie-Anne mengeluh bahwa sang raja impoten.
Ketika usianya menginjak 30 tahun, Charles II tampak seperti orang tua. Selama tahun-tahun terakhir hidupnya, ia juga hampir tidak bisa berdiri dan kerap terjatuh, seakan kakinya terlalu ringkih untuk menopang berat badannya sendiri. Sang raja juga seringkali berhalusinasi dan kejang-kejang. Kesehatannya terus memburuk. Menjelang ajal, sang raja sakit demam, sakit perut, sulit bernapas, dan koma, hingga akhirnya ia meninggal di usia 39 tahun.
Menurut penelitian Alvarez dan timnya, komplikasi penyakit yang diderita Charles II disebabkan oleh kelainan genetik akibat tingginya angka koefisien perkawinan sedarah.
Kebijakan kawin sedarah ini, pada akhirnya, berujung kekalahan yang lebih cepat bagi dinasti. Kematian Charles II, tanpa mewariskan putra mahkota, turut memicu lahirnya Perang Penerus Spanyol yang berlangsung selama 12 tahun. Pemerintahan Habsburg di Spanyol resmi berakhir dengan naiknya Philip V dari Dinasti Bourbon yang berkuasa di Prancis.
Dinasti Hasburg bukan contoh pertama kerajaan yang menerapkan perkawinan sedarah. Di Mesir kuno, misalnya, juga punya tradisi perkawinan inses (antar-saudara kandung) dengan dalih melindungi kemurnian keturunan. Akibatnya, Raja Tutankhamun, yang berkuasa pada 1300 SM, cuma bisa bertahan hidup sampai usia 19 tahun dengan kondisi fisik yang cacat.
Editor: Maulida Sri Handayani