tirto.id - Pada 1975, seorang bayi yang baru dilahirkan dilarikan ke University of Kentucky Medical Center karena kulitnya membiru. Dokter segera memindahkannya dengan ambulans dari bangsal bersalin di rumah sakit ke klinik medis di Lexington.
Hasil tes selama dua hari tidak menunjukkan penjelasan apapun.
Bayi itu lalu diberi transfusi darah oleh tim dokter dan misterinya mulai terjawab saat neneknya menanyakan kepada para dokter apakah mereka pernah mendengar tentang keluarga Fugate biru dari Troublesome Creek.
Para dokter akhirnya menyimpulkan bahwa bayi yang diberi nama Benjy Stacy itu memiliki gen resesif yang diwariskan dari berbagai generasi.
Warna kulitnya yang biru menghilang saat Benjy berusia 7 tahun setelah melalui perawatan medis yang teratur. Namun pada saat ia kedinginan atau dilanda emosi, bibir dan ujung jarinya akan berubah menjadi biru.
Keluarga moyangnya kemudian dikenal dengan Blue Fugate, memiliki sejarah menghasilkan keturunan berwarna biru karena perkawinan campur dan perkawinan sedarah.
Kondisi yang dikenal sebagai methaemoglobinaemia ini mengurangi kemampuan membawa darah beroksigen, mengakibatkan kulit, bibir, dan kuku menjadi biru pada individu yang terkena.
Asal-usul Keluarga Fugate
Keluarga Fugate berasal dari daerah Appalachia, sebuah wilayah pergunungan di Amerika Serikat bagian timur. Mereka tinggal di daerah yang terpencil dan terisolasi.
Sejak awal abad ke-19, keluarga ini telah menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat setempat karena kulit mereka yang berwarna biru.
Cerita dimulai pada abad ke-18 ketika seorang pria Prancis bernama Martin Fugate, menetap di sekitar anak sungai Troublesome Creek, Kentucky. Kawasan ini terkenal cukup sulit ditaklukan karena banyaknya semak belukar dan lembah yang berliku.
Dia lalu bertemu dan menikahi seorang wanita Amerika berambut merah bernama Elizabeth Smith hingga dikarunia tujuh orang anak, empat di antaranya berkulit biru.
Karena gen yang mereka bawa adalah gen resesif, mereka memiliki peluang dua puluh lima persen untuk memiliki anak berkulit biru pada setiap kehamilan.
Jalur kereta api atau transportasi belum dibangun di Kentucky timur sampai awal abad ke-20. Hal ini membuat mereka terus menikah satu sama lain, yang menyebabkan kelainan menyebar ke seluruh keluarga.
Maka lahirlah nama-nama belakang seperti Combs, Smith, Ritchie and Stacy.
Zachariah, anak laki-laki pertama mereka menikah dengan bibinya yang kemudian melahirkan Levy Fugate dan mewariskan kulit biru pada salah satu keturunan Fugate yang paling terkenal, Luna Stacy.
Luna merupakan hasil perkawinan antara Levy dengan Ritchie dan digambarkan memiliki warna kulit paling biru di antara keluarga Fugate yang lain.
"Fugate paling biru yang pernah saya lihat adalah Luna dan kerabatnya," kata Carrie Lee Kilburn, perawat yang bekerja di pusat medis pedesaan bernama Homeplace Clinic.
"Luna kebiruan di sekujur tubuh. Bibirnya gelap seperti memar. Dia adalah wanita biru seperti yang pernah saya lihat," lanjutnya seperti dikutip Cathy Trost dalam artikelnya di majalah Science 82 edisi November 1982.
Ia kemudian menikah dengan John Stacy, memiliki 13 anak dan berumur panjang hingga berusia 84 tahun. Lalu lahirlah Benjy Stacy puluhan tahun kemudian.
Pada awalnya, keluarga Fugate mengalami diskriminasi. Warna kulit yang berbeda membuat mereka dianggap sebagai ancaman atau fenomena aneh, bahkan tak sedikit yang mengaitkannya dengan takhayul.
Mereka sering disebut sebagai "setan biru" atau "orang biru" dan kerap dihindari dalam pergaulan sehari-hari.
Seturut Alan Brown dalam buku Kentucky Legend and Lore (2021:60), corak keluarga Fugate mulai berubah setelah pertambangan batu bara dan kereta api datang ke wilayah tersebut pada tahun 1910.
Seiring waktu, semakin banyak anggota keluarga yang meninggalkan daerah tersebut, memberi lebih banyak kesempatan untuk menikah dengan orang-orang di luar lingkaran adat mereka.
"Akibatnya, semakin sedikit keturunan Martin Fugate yang lahir dengan semburat biru pada kulitnya,” tulis Brown.
Faktor Genetik dan Pengobatan
Kondisi yang disebut methemoglobinemia ditemukan oleh Dr. Madison Cawein pada tahun 1960-an, menggunakan metilen biru untuk merawat dan mengembalikan warna kulit biru ke normal.
Ia menguji dua keturunan Fugate, Patrick dan Rachel Ritchie, menyuntikkan masing-masing 100 miligram metilen biru dan berhasil menghilangkan warna biru dalam beberapa menit.
"Untuk yang pertama kalinya dalam hidup, mereka berwarna merah muda. Mereka senang," ujarnya.
Metilen biru adalah zat pewarna yang digunakan dalam bidang medis. Zat ini memiliki sifat antimikroba dan antiparasit yang digunakan dalam pengobatan infeksi. Metilen biru juga dapat digunakan sebagai indikator dalam beberapa prosedur laboratorium.
Senyawa ini termasuk dalam zat warna kationik karena mengandung turunan amina dan banyak digunakan pada industri serat kapas, sutra, dan wol.
Secara khusus, metilen biru digunakan untuk mengobati kadar methemoglobin yang lebih besar dari 30 persen atau gejala tetap ada meskipun telah menjalani terapi oksigen.
Metilen biru telah digunakan untuk mengobati keracunan sianida dan infeksi saluran kemih, namun penggunaan ini tidak lagi direkomendasikan.
Meskipun methemoglobinemia dapat terjadi pada siapa saja, kasus keluarga Fugate sangat langka. Pada umumnya, methemoglobinemia disebabkan oleh paparan zat kimia tertentu, seperti obat-obatan atau bahan kimia industri.
Namun, keluarga Fugate menderita kondisi ini karena faktor genetik.
Mutasi ini memengaruhi produksi enzim yang bertanggung jawab mengubah methemoglobin kembali menjadi hemoglobin normal. Tanpa enzim ini, methemoglobin akan terus menumpuk dalam darah, menyebabkan kulit berwarna biru yang khas.
Metilen biru biasanya diberikan melalui suntikan ke pembuluh darah. Efek samping yang umum adalah sakit kepala dan muntah.
Dibantu perawat Ruth Pendergrass, Dr. Madison Cawein melakukan studi rinci tentang silsilah nenek moyang para Fugate. Martin Fugate dan Elizabeth Smith, yang menikah dan menetap sekitar tahun 1820, dipastikan merupakan pembawa gen resesif methemoglobinemia (met-H).
Reproduksi yang berkelanjutan dalam kumpulan gen lokal memastikan bahwa banyak keturunan Fugate menikah satu sama lain dan anak-anak mereka dilahirkan dengan kelainan met-H.
Kelainan tersebut dapat menyebabkan kelainan jantung dan kejang jika jumlah methemoglobin dalam darah melebihi 20 persen. Namun pada kadar antara 10 hingga 20 persen dapat menyebabkan kulit membiru tanpa gejala lain.
Dr. Madison Cawein yang telah mempelajari fenomena serupa di kalangan penduduk asli Alaska, menyimpulkan bahwa kekurangan enzim diaphorase mengakibatkan kekurangan oksigen dalam darah merah, yang pada gilirannya membuat kulit orang yang terkena tampak biru.
Dia lantas merawat beberapa keturunan keluarga Fugate sehingga membantu meringankan gejala dan mengurangi warna biru pada kulit mereka. Temuannya itu dipublikasikan di Archives of Internal Medicine pada 1964.
Contoh lain kulit biru juga dapat muncul dari faktor eksternal seperti paparan bahan kimia dan anestesi tertentu, seperti yang dialami Paul Karason.
Ia dikenal sebagai Manusia Biru karena pigmentasi kulitnya yang kemudian dikenal argyria, sehingga kulitnya membiru akibat penumpukan senyawa perak. Lebih-lebih saat terpapar cahaya, warna biru pada kulit akan terlihat dominan.
Dia telah mengalami masa-masa sulit, kehilangan rumahnya, dan akhirnya tinggal di tempat penampungan tunawisma.
Karason menghadapi masalah kesehatan dan kesulitan mendapatkan pekerjaan karena penampilannya. Ia meninggal dalam usia 62 tahun pada 2013 dan kecil kemungkinan bahwa kondisi kulit birunya berperan dalam kematiannya.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi