tirto.id -
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan penumpang angkutan udara domestik sepanjang Januari-Oktober 2019 anjlok hingga 19 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara okupansi angkutan udara internasional cuma tumbuh 4,12 persen atau melambat dibandingkan periode Januari-Oktober 2018 yang tercatat tumbuh 7,15 persen.
Turunnya penumpang juga tercermin dari pembatalan yang dialami sejumlah penerbangan. Bahkan, demi alasan efisiensi, sejumlah maskapai terpaksa menutup penerbangan pada beberapa rute yang dianggap kurang ekonomis.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B. Pramesti memprediksi seretnya jumlah penumpang pesawat bakal berlanjut hingga akhir tahun baru 2020.
Jumlah penumpang pesawat jelang periode perayaan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 (Nataru) akan turun menjadi 5,28 juta atau 8,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,76 juta orang.
"Prediksi ada penurunan jumlah penumpang pesawat sebesar 8,4 persen. Hal tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, bisa karena infrastruktur jalan tol sudah bagus, kemudian kapasitasnya KA juga naik," jelas dia di Kementerian Perhubungan, Jakarta Pusat Senin pekan lalu (9/12/2019).
Tekanan terhadap industri penerbangan saat ini sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2018. Kebijakan yang diambil pemerintah untuk meredakan kondisi tersebut, seperti menurunkan tarif batas atas pada Mei lalu, tak banyak membawa perubahan.
Sebaliknya, maskapai tak dapat melakukan penyesuaian tarif karena batas atas harga sudah diatur oleh pemerintah. Padahal bencana kebakaran hutan dan lahan membuat aktivitas penerbangan sempat terganggu dan lonjakan harga minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir ikut mengerek ongkos bahan bakar avtur.
Mau tak mau, tingginya beban operasional memaksa maskapai melakukan efisiensi besar-besaran seperti menutup rute.
Dalam rapat bersama komisi V DPR RI awal Desember lalu, Plt Direktur Niaga, Human Capital, Kargo dan Pengembangan Usaha Pikri Ilham Kurniansyah mengatakan, beberapa rute seperti Jambi, Batam dan beberapa wilayah lain di Indonesia Timur tutup karena tak adanya penumpang.
"Itu di sisi adalah agar bagaimana Garuda untuk bisa survive," ucapnya.
Al hasil, dalam laporan keuangan Garuda Indonesia triwiulan III 2019, beban operasional penerbangan terpangkas hingga 4,5 persen dari 2,02 miliar dolar AS menjadi 1,93 miliar AS.
Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, jika kebijakan TBA tidak diubah, bukan tak mungkin
tekanan serupa ke Industri penerbangan bakal kembali terulang di 2020.Memang, kata dia, harga tiket pesawat memang bisa lebih mahal jika tarif batas atas dinaikkan. Namun hal itu tak akan terjadi sepanjang tahun lantaran maskapai hanya akan memanfaatkan tingginya tarif batas atas pada saat peak season atau puncak musim liburan.
Justru pada masa sepi kereka bisa memberikan penawaran tarif tiket pesawat yang lebih murah dari saat ini lantaran sudah mendapat cukup keuntungan saat peak season.
Batasan tarif itu lah yang menurutnya paling mungkin diintervensi oleh pemerintah untuk menyehatkan industri penerbangan nasional.
“Kalau avtur kan di luar kendali, kan hargaya international dan kebijakan pajak dalam negeri. Kalau pemerintah bilang mau menurunkan harga avtur, bagimana menurunkannya?” tuturnya saat dihubungi Tirto.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana