tirto.id - Terbongkarnya penyelundupan Harley Davidson di Hangar 4 GMF Aeroasia memperlihatkan sisi kelam pengelolaan maskapai Garuda Indonesia. Skandal yang dilakukan I Gusti Ngurah Askhara Dhanasiputra alias Ari Akshara serta sejumlah direktur di bawahnya menunjukkan tak adanya empati terhadap kondisi perusahaan.
"Saya sangat sedih ketika kita ingin mengangkat citra BUMN, membangun kinerja BUMN, tapi kalau oknum-oknum di dalamnya tidak siap ini yang terjadi," ungkap Erick Thohir dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Kemarin (5/12/2019).
Karena itu, ia tak hanya akan mencopot Ari Akshara dari jabatan direktur utama, tetapi juga merombak jajaran direksi dan menempatkan figur-figur baru yang profesional dan berintegritas.
Hal ini penting sebab skandal tersebut telah memperburuk reputasi Garuda usai kisruh rekayasa Laporan Keuangan tahun buku 2018 enam bulan lalu.
Apalagi, kondisi keuangan perusahaan juga tengah mengalami pemulihan setelah rugi 175,02 juta dolar AS atau setara Rp2,4 triliun. Bagaimana mungkin, di tengah efisiensi besar-besaran, para direksi beserta para istrinya pergi ke pabrik Airbus di Toulouse, Prancis, dan pulang fasilitas terbang gratis ferry-flight?
Direksi Dinilai Tak Manusiawi
Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi) mengapresiasi sekaligus mendukung tindakan tegas Menteri BUMN Erick Thohir atas rencana penggantian pimpinan tersebut. Ari dianggap telah gagal mengelola memperbaiki pengelolaan perusahaan sejak dilantik pada September 2018.
Ketua Umum Ikagi Zaenal Muttaqin mengatakan, kepemimpinan Ari Aksara adalah masa yang berat bagi para awak kabin. Mereka harus bekerja ekstra keras untuk melayani penerbangan jarak-jauh pergi-pulang (pp).
Akibat jadwal terbang yang panjang itu, sejumlah anggotanya bahkan sampai dirawatinapkan di rumah sakit.
Masalah ini juga sempat membuat Garuda mendapat teguran dari Kementerian Perhubungan lewat surat bernomor AU.402/0065/DKPPU/DJPU/IX/2019 yang diterbitkan awal September lalu.
Kemenhub menemukan adanya pelanggaran kelebihan jam kerja pramugari atau flight and duty time flight attendant terjadi empat kali sepanjang Agustus 2019 pada rute Denpasar-Kualanamu-London, dan sebaliknya.
"Jadwal terbang ini tidak manusiawi dan jam kerja awak kabin belum diatur dalam UU perhubungan, artinya awak kabin harus mengacu kepada UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu depalan jam dalam satu hari. Bukan 14-18 jam per hari," ujarnya saat dihubungi Tirto Kamis (5/12/2019)
Selama jadwal penerbangan jarak jauh, lanjut Zaenal, awak kabin juga tak mendapatkan penginapan, travel allowance hingga laundry. Semua itu dilakukan demi efisiensi agar beban kerugian yang ditanggung perusahaan bisa ditekan.
Padahal, pelanggaran tersebut dapat berdampak pada turunnya penilaian safety level di Indonesia. "Periode Ari Askara Dirut, nasib awak kabin diperas atau dijadikan panggung kemewahan bagi Dirut tapi menyengsarakan awak kabin," tuturnya.
Gaji Direksi & Awak Kabin
Ari juga dinilai tak adil lantaran tak kunjung memenuhi tuntutan Ikagi untuk memperbarui perjanjian kerja bersama (PKB) yang telah diajukan sejak tahun lalu.
Perjanjian itu, sebut Zaenal, penting dasar dalam menjalankan hubungan industrial. Salah satunya, dalam hal penetapan struktur upah serta batasan umur pensiun. Terlebih, sejak di Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015, Garuda belum membuat struktur skala upah sampai saat ini.
Upah untuk awak kabin Garuda hanya terdiri dari gaji pokok yang sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) serta tunjangan tidak tetap. "Tunjangan tidak tetap itu berupa tugas terbang. Besarannya tergantung jam terbang awak kabin dalam sebulan," pungkasnya.
Di sisi lain, gaji yang dinikmati sebagai petinggi perusahaan cukup besar. Dalam laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018, remunerasi atau gaji untuk delapan orang direksi mencapai 2.145.575 dolar AS atau sekitar Rp30.123.030.000 per tahun.
Artinya, dalam satu tahun, rata-rata gaji direksi maskapai pelat merah itu mencapai Rp3,7 miliar. Sementara awak kabin Garuda, dengan UMP Tangerang sebesar Rp4,1 juta, hanya punya pendapatan rata-rata Rp6-8 juta per bulan atau di bawah Rp100 juta dalam setahun.
Lantaran itu pula lah, Ikagi menggugat manajemen perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat pada Rabu (4/12/2019) lalu.
Setiap karyawan, menurut Zaenal, berhak menuntut komitmen perusahaan dalam PKB demi menjamin transparansi serta perlakuan yang adil sesuai amanat UU no 13 tahun 2003.
Selain persoalan upah, mereka menuntut adanya kepastian jam kerja dan penjadwalan terbang termasuk grounded, penghargaan awak kabin sebagai profesi laiknya Pilot, hingga status hubungan kerja awak kabin yang dalam beberapa kasus bukan pekerja tetap.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino