tirto.id - Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dilanda gempa bumi bermagnitudo 5,6 pada 21 November pukul 13.21 WIB. Gempa dengan kedalaman 10 km tersebut membuat bangunan roboh, tebing longsor, dan menelan hingga 327 korban jiwa, menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 29 November.
Sementara itu, korban hilang pasca gempa bumi di Kabupaten Cianjur bertambah menjadi 13 orang. Gempa juga menyebabkan 108 korban luka berat, yang kesemuanya sempat dirawat di RS wilayah Cianjur. Dari 108 korban luka itu, 40 orang melanjutkan rawat jalan.
Sejauh ini jumlah korban pengungsi gempa Cianjur mencapai 73.874 orang, seperti dilaporkan Kompas pada 27 November. Kesemuanya tersebar pada 194 titik pengungsian di delapan kecamatan di Cianjur, Jawa Barat.
Menurut penjelasan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kejadian gempa bumi diakibatkan oleh aktivitas sesar aktif. Akan tetapi, keberadaan sesar aktif tersebut hingga kini belum diketahui karakteristiknya. Lokasinya sendiri berada pada bagian timur laut zona sesar Cimandiri.
Hingga 28 November atau delapan hari sejak gempa pertama, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat terdapat 305 gempa susulan telah terjadi. Namun, hasil monitoring BMKG selama tujuh hari terakhir juga mencatat aktivitas gempa bumi susulan dengan magnitudo yang secara fluktuatif semakin mengecil, juga frekuensi kejadian yang semakin jarang.
Indonesia Rawan Gempa
Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana geologi seperti gempa bumi, menukil situs Badan Geologi Kementerian ESDM. Hal ini dikarenakan interaksi empat lempeng tektonik yang terdapat di Indonesia, yaitu Lempeng Benua Eurasia, Lempeng Samudera Indo, Lempeng Samudera Pasifik, dan dan Lempeng Laut Filipina.
Pertemuan antar lempeng tersebut mengakibatkan terbentuknya cekungan muka, cekungan belakang, jalur magmatik, pola struktur geologi dan sumber gempa bumi, yaitu zona subduksi, zona kolisi, dan sesar aktif.
Badan Geologi Kementerian ESDM mencatat 5 hingga 26 kejadian gempa bumi merusak di Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2021 setiap tahunnya, dengan kejadian paling banyak pada 2021, yakni 26 kejadian. Kejadian gempa bumi merusak maksudnya gempa tersebut mengakibatkan terjadinya korban jiwa, kerusakan bangunan, kerusakan lingkungan, dan kerugian harta benda.
Dari data, bisa terlihat pula bahwa jumlah kejadian gempa bumi merusak pada tahun 2021 merupakan tertinggi dalam kurun 20 tahun terakhir. Menurut catatan Kementerian ESDM pula, kejadian gempa bumi merusak tahun 2021 sebagian besar bersumber dari sesar aktif, dan beberapa yang bersumber dari zona penunjaman.Berdasarkan grafik juga terlihat bahwa frekuensi gempa bumi merusak mulai meningkat secara fluktuatif sejak 2015. Selain 2021, pada 2017 Indonesia juga mengalami kejadian gempa merusak cukup banyak, yakni 19 kejadian.
Kembali ke tahun 2021, kejadian gempa bumi merusak diawali dengan dengan gempa bumi di Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, yang terjadi pada 4 Januari 2021 dan diakhiri dengan gempa yang terjadi di Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, pada 30 Desember.
Gempa Morowali diketahui memiliki magnitudo 4,9 dan disebabkan oleh sesar aktif Matano. Sementara gempa di Maluku Barat Daya yang dengan magnitudo 7,4 terjadi akibat adanya subduksi Lempeng Laut Banda. Kedua kejadian gempa ini tidak menyebabkan korban jiwa.
Menurut data Kementerian ESDM pula, selama 2021, kejadian gempa dengan dampak paling parah terjadi di Kabupaten Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat pada 15 Januari 2021. Gempa dengan magnitudo 6,2 ini menyebabkan sebanyak 106 orang korban jiwa, 278 korban luka berat, menurut catatan BNPB pada 3 Februari.
Tak hanya itu, jumlah korban luka ringan yang terlaporkan di Kabupaten Mamuju sebanyak 6.478 dan dan di Majene sebanyak 2.493 orang. Total kerusakan dan kerugian akibat gempa di Sulawesi Barat mencapai Rp829,1 miliar, menukil situs BNPB.
Jika melihat lewat perspektif global, gempa bumi masih jadi bencana yang merenggut banyak nyawa. Sejak tahun 2000an, menurut catatan Our World In Data, gempa bumi mencatat jumlah kematian sangat tinggi, hingga mencapai 100 ribu angka kematian pada 2004 dan 2010. Kedua peristiwa tersebut adalah gempa dan tsunami Aceh pada 2004 dan gempa Port-au-Prince di Haiti pada 2010.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "7 Fakta Tsunami Aceh 26 Desember 2004: Gempa Setara Bom 100 Gigaton", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/26/193000965/7-fakta-tsunami-aceh-26-desember-2004-gempa-setara-bom-100-gigaton?page=all.
Penulis : Nur Rohmi Aida
Editor : Rizal Setyo Nugroho
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
Sementara gempa di Haiti menyebabkan 316 ribu korban jiwa, meski menurut Our World In Data, jumlah riil korban masih diperdebatkan.
Gempa dan tsunami Aceh sendiri termasuk dalam urutan ke-7 dari 10 gempa besar yang mematikan dalam sejarah. Di urutan pertama gempa mematikan terjadi di China pada 1556 dengan estimasi korban jiwa 830 ribu orang. Gempa itu berkekuatan 8 SR.
Mitigasi Minim
Berbagai data telah menjelaskan bahwa Indonesia berada di lokasi rawan bencana, baik dari pemaparan Badan Geologi Kementerian ESDM dan juga Our World In Data.
Beberapa daerah memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding daerah lainnya. Hal ini juga ditangkap oleh Indeks Risiko Bencana Kabupaten/Kota (IRB) yang dirilis BNPB pada 2021, yang menghitung bahaya dan kerentanan suatu daerah terhadap bencana, termasuk di dalamnya potensi jiwa dan kerugian bencana. IRB ini menghitung risiko untuk berbagai macam bencana, termasuk gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrim, dan lain-lain.
Hasil perhitungan indeks risiko bencana tahun 2021 menunjukkan 15 provinsi berada pada kelas risiko bencana tinggi dan 19 provinsi berada pada kelas risiko bencana sedang. Tidak ada provinsi yang berada pada risiko bencana rendah. Tiga provinsi yang berisiko paling tinggi yaitu Sulawesi Barat, Kepulauan Bangka Belitung, dan Maluku.
Di tingkat daerah, perlu diketahui bahwa Kabupaten Cianjur termasuk dalam 20 besar daerah dengan risiko bencana tinggi.
Pada grafik dapat dilihat, Maluku Barat Daya dan Majene, yang belum lama dilanda gempa berat pada 2021, merupakan daerah dengan risiko bencana paling tinggi. Selain 20 daerah yang divisualisasikan Riset Tirto, terdapat 221 daerah yang dikategorikan BNPB sebagai daerah dengan risiko tinggi bencana, dari total 514 kabupaten atau kota seluruh Indonesia.Artinya terdapat 42,99 persen daerah dengan potensi risiko bencana tinggi, hampir setengah dari seluruh kabupaten atau kota di Indonesia. Sementara sisanya, sebanyak 292 daerah atau 56,80 persen total daerah, memiliki indeks risiko bencana sedang. Seperti yang telah disebut sebelumnya, tak ada daerah yang memiliki indeks risiko bencana rendah.
Tirto juga menilik secara spesifik Kabupaten Cianjur dalam penilaian BNPB. Menurut BNPB, Kabupaten Cianjur selalu dikategorikan dengan risiko bencana tinggi sejak 2015 hingga 2021. Pada 2015 misalnya, nilai IRB Cianjur mencapai 250. Indeks ini memang menurun dari 2015 hingga 2021, namun masih masuk kategori tinggi oleh BNPB.
Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Cianjur menyediakan dana mitigasi bencana yang cukup kecil pada 2022, hanya sekitar 0,05 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Informasi mengenai anggaran mitigasi bencana Kabupaten Cianjur dapat dilihat dengan detail pada Peraturan Bupati Cianjur Nomor 22 Tahun 2022 pada pasal 34 ayat (2).Di sana disebutkan belanja modal bangunan pengaman sungai/pantai dan penanggulangan bencana sebesar Rp2,1 miliar dari total anggaran belanja daerah sebesar Rp4,34 triliun.
Pola yang serupa juga dapat ditemui di Provinsi Sulawesi Tengah pada saat gempa dan tsunami Palu pada 2018. Seperti dilaporkan Lokadata, dulunya Beritagar, Pemerintah Sulawesi Tengah pada 2017 hanya menyediakan dana mitigasi bencana sebesar 0,1 hingga 0,3 persen dari total APBD.
Menurut relawan Aksi Cepat Tanggap Wahyu Novyan, dana mitigasi bencana idealnya mencapai 1 persen dari total APBD, menukil Lokadata.
Tak hanya alokasi dana, persiapan lainnya, seperti sistem peringatan dini bencana alam, sistem peringatan dini tsunami, perlengkapan keselamatan, dan jalur evakuasi di daerah juga masih perlu ditingkatkan. Sebab, jumlahnya masih minim.
Jika melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari laporan Potensi Desa mereka, per 2018, jumlah desa dan kelurahan di Jawa Barat misalnya, yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam, hanya 823 desa dan kelurahan dari total 5.957 desa.
Di Maluku, hanya ada 147 desa dan kelurahan dari total 1.240 desa yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam.
Padahal, jika melihat kejadian historis gempa di Indonesia yang memakan ribuan hingga ratusan ribu korban jiwa, serta rekaman gempa yang dicatat Badan Geologi Kementerian ESDM, dan letak negara kita yang rawan bencana, kejadian gempa dengan potensi merusak bisa jadi terulang kembali.
Mengambil contoh pada Sesar Cimandiri misalnya, pergerakannya sudah beberapa kali menyebabkan gempa. Dalam satu abad ini, setidaknya, 7 kali gempa besar pernah tercatat, di antaranya gempa bumi Pelabuhan Ratu (1900), gempa bumi Cibadak (1973), gempa bumi Gandasoli (1982), gempa bumi Padalarang (1910), gempa bumi Tanjungsari (1972) dan gempa bumi Conggeang (1948) dan terakhir gempa bumi Sukabumi (2001).
Apalagi, baru-baru ini BMKG menyebut adanya kemungkinan Gempa Megathrust 8,9 magnitudo di selatan Jawa dan barat daya Sumatera. Gempa ini berpotensi tsunami setinggi 34 meter.
Peneliti Ahli Utama Bidang Paleotsunami dan Kebencanaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eko Yulianto, menyatakan bahwa pemerintah harus bersiap dengan melakukan mitigasi agar dampak yang terjadi tak parah seperti gempa di Cianjur yang menewaskan ratusan jiwa.
“Kalau itu [mitigasi] memang harus dilakukan, karena selatan Jawa sudah padat. Tapi kan selama ini upaya ini dilakukan, tapi apakah upaya ini sudah efektif dan mencukupi sebagai sarana pengurang risiko,” kata Eko kepada Tirto, Jumat (11/11/2022).
Selain prediksi tsunami 34 meter akibat gempa megathrust di selatan Pulau Jawa hingga Sumatera, sebelumnya fenomena bencana alam juga pernah diprediksi oleh peneliti.
Seperti fenomena likuifaksi di Palu yang sudah diprediksi sejak 2012 dan terjadi pada 2018. Namun tampaknya, prediksi tersebut tak terlalu direspons sehingga minim langkah mitigasi yang dilakukan pemerintah saat gempa bumi di Palu.
Editor: Farida Susanty