Menuju konten utama

Indonesia Jadi Lahan Perusahaan Fintech Lending Ilegal dari Cina

Setengah dari 155 perusahaan penyedia platform fintech lending yang ilegal berasal dari Cina.

Indonesia Jadi Lahan Perusahaan Fintech Lending Ilegal dari Cina
Ilustrasi fintech lending. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Indonesia menjadi salah satu tujuan menarik bagi perusahaan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi (fintech peer to peer lending) secara ilegal dari Cina. Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi menyebutkan, setengah dari 155 perusahaan penyedia platform fintech peer to peer lending yang ilegal berasal dari Cina.

Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan Otortias Jasa Keuangan (OJK), Tongam L. Tobing mengatakan, kegiatan fintech peer to peer lending sangat rentan disalahgunakan sehingga berujung pada penipuan. Pasalnya, transaksi ini memiliki keunggulan karena menawarkan dana pinjaman yang mudah dan cepat diakses hanya melalui android.

Menurut Tongam, salah satu alasan yang membuat Indonesia menjadi target masuknya perusahaan tersebut secara ilegal adalah karena besarnya jumlah masyarakat Indonesia yang mayoritas sudah mengenal gadget.

Tongam mengatakan, celah penipuan sering kali terjadi karena masyarakat Indonesia masih sangat rendah dalam memahami fintech peer to peer lending dan jasa keuangan secara keseluruhan.

"Masyarakat belum peka. mereka kurang memiliki literasi. Asal yang muncul penawaran di Google, lewat App Store. Enggak lihat daftar OJK," ujar Tongam yang sekaligus sebagai Ketua Satgas Waspada Investasi di Kantor OJK Lapangan Banteng Jakarta pada Jumat (27/7/2018).

Tongam mengatakan, OJK telah mencantumkan daftar platform dan perusahaan fintech peer to peer lending legal di dalam website sehingga masyarakat bisa mengakses dengan mudah. Melalui daftar tersebut masyarakat dapat mengidentifikasi legalitas fintech tersebut.

"Masyarakat harus sadar untuk mencari informasi dan melaporkan ke kepolisian jika ada kejanggalan. Di lain sisi kita berusaha melindungi masyarakat," kata Tongam.

Sementara itu, Direktur Hubungan Masyarakat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hari Tangguh Wibowo mengatakan, masalah utama dari fintech peer to peer lending adalah rendahnya literasi masyarakat.

"Kita problemnya itu literasi dan inklusi internet. Literasinya rendah, tapi inklusinya tinggi. Jadi banyak juga yang kurang paham kegunaan dari gadget dan jasa keuangan itu buat apa?" ujar Hari.

"Tapi enggak bisa menyamaratakan dan berkesimpulan kalau banyak fintech peer to peer lending yang ilegal itu banyak masuk, karena literasi yang rendah," imbuhnya.

Menurut Hari, jumlah fintech peer to peer lending yang legal hanya ada 63 dengan jumlah transaksi berjalan senilai Rp6 triliun, terhitung dari Desember 2016 hingga Juni 2018. Sementara jumlah transaksi dan nasabah yang ilegal, kta dia tidak terdaftar dan tidak ada laporannya di OJK.

Hari mengatakan fintech ilegal ini identik dengan ketiadaan fisik kantor secara tetap atau virtual office. Sehingga cukup sulit untuk dilacak, terutama berkaitan dengan data bisnisnya.

Ia juga mengatakan, regulasi yang mengatur mengenai fintech dan perlindungan terhadap penggunanya tertera dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Terbit pada Desember 2016, mulai saat itu Satgas dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan fintech.

Baca juga artikel terkait FINTECH ILEGAL atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto