tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan hasil rapat Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi pada 25 Juli 2018. Ditemukan ada 227 entitas yang melakukan kegiatan penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (fintech peer to peer lending) secara ilegal.
Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan Otortias Jasa Keuangan (OJK), Tongam L. Tobing menyebutkan angka tersebut tiga kali lipat lebih besar dari pada fintech peer to peer yang legal yang sebanyak 63 entitas. Sebanyak 227 fintech peer to peer ilegal ini terdiri dari 155 developer.
"Fintech ilegal itu kebanyakan dari deteksi Satgas melalui appstore, paystore, web base. Aduan masyarakat masih rendah karena literasi masyarakat juga belum peka terhadap fintech ilegal," ujar Tongam sebagai Ketua Satgas Waspada Investasi di Kantor OJK Lapangan Banteng Jakarta pada Jumat (27/7/2018).
Ia mengatakan fintech ilegal dapat mudah dideteksi masyarakat umum dengan melihat daftar fintech legal yang sudah terdafatar di OJK dan telah dipublikasi di website OJK.
Platform fintech legal itu, contohnya Danamas dari perusahaan PT Pasar Dana Pinjaman, Amartha dari perusahaan Amartha Mikro Fintek, Investree dari perusahaan PT Investree Radhika Jaya, Modalku dari perusahaan PT Mitrausaha Indonesia Grup, KlikACC dari perusahaan PT Aman Cermat Cepat, dan sebagainya.
Contoh platform fintech ilegal, adalah Aku Rupiah dari perusahaan Fnsudai Fintech Ltd, Angel Yuk dari perusahaan NineTree Technology Company, Angelku dari perusahaan PT Moneta Prima Kualiti, Ayo Uang dari perusahaan PT Zeta Indonesia, Ayo Rupiah dari perusahaan PT Inspirasi Global Indonesia, dan sebagainya.
Kemudian, Tongam menyebutkan bahwa setengah dari 155 developer fintech peer to peer ini berasal dari Cina. Satgas menduga gempuran fintech ilegal dari Cina, karena adanya kebijakan pengetatan Pemerintah Cina dalam aturan main fintech.
"Di Cina itu sekarang ada pengetatan fintech peer to peer lending, Cina sekarang ketat bisa berdampak ke kita, karena dari sana masuk ke Indonesia dalam berbagai platform dalam bentuk bahasa Indonesia. Ini kami menduga memang di sana karena dihajar habis sementara uang mereka banyak, masuklah ke sini," terangnya.
Terkait mengenai jumlah nasabah dan uang transaksi yang mengalir, OJK belum dapat memastikan karena tidak laporan data legal yang dikantongi OJK. Hanya saja ia memperkirakan jumlah nasabah dari satu fintech sekitar 100 ribu, dilihat dari jumlah pengunduh aplikasi fintech tersebut (member).
"Kami perkirakan satu paltform ada sampai 100 ribu membernya, jadi ini bisa mencapai (nasabah) jutaan juga. Ini sangat potensial bisa merugikan konsumen, masyarakat," ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Satgas telah melakukan pendeteksian fintech peer to peer lending ilegal sejak diterbitkannya Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, pada Desember 2016.
Kemudian, ia telah melakukan pemanggilan kepada perusahaan fintech peer to peer lending yang tidak berizin itu dua kali, pada 19 Februari 2018 dan 25 Juli 2018. Satgas memanggil 69 entitas fintech peer to peer lending ilegal, tapi hanya 22 entitas yang hadir.
"Satgas dalam hal ini bertindak tegas untuk hentikan ini. Kalau anda tidak mau izin jangan lakukan kegiatan fintech peer to peer lending di Indonesia," ucapnya.
Menindaklanjuti temuan tersebut, Satgas Waspada Investasi akan menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri. Lalu, minta Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memblokir aplikasi pada website dan media sosial, dengan menjalin kerja sama dengan Google.
"Kami juga meminta bank melakukan pemblokiran rekening fintech peer to peer lending yang tidak terdaftar. Tapi, itu masih dalam penjajakan," ujarnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yantina Debora