tirto.id - Setelah menyelesaikan masa pendidikannya di Sekolah Tinggi Theologi Setia Jakarta delapan tahun silam, Aryanti Manggoa bersama 49 alumni lainnya dikirim oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua untuk menjadi tenaga guru kontrak di sekolah-sekolah pedalaman Mimika, Papua.
Awalnya Aryanti ditugaskan di SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Kipia, Distrik Mimika Barat, namun setelah tiga tahun mengabdi ia pun dipindahkan ke SD YPPK Bulujauluki Aramsolki, Distrik Agimuga.
Pada awal kedatangannya, Aryanti bercerita sekolah ini jauh dari aktivitas belajar. "Awalnya yang bertugas di sekolah ini teman saya, namanya Ibu Desi. Saat dia datang ke sini pada awal 2008, sekolah ini sama sekali tidak ada aktivitas." katanya kepada Antara. Meski demikian, ia mengaku sangat menikmati profesinya sebagai guru di pedalaman Papua.
Kebijakan perekrutan guru kontrak di Provinsi Papua menunjukkan kurangnya meratanya guru di Indonesia. Hal yang sama juga dikatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, Alpius Toa. Jumlah tenaga pengajar Kabupaten Jayapura tiga tahun lalu hanya diisi sebanyak 3.464 orang. Idealnya butuh seperempat lagi dari jumlah itu dan yang paling banyak dibutuhkan adalah guru sekolah dasar.
Minimnya guru tak hanya di Papua. Pada Agustus 2015 silam, pemerintah Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, juga mengeluhkan yang sama. Ia mengaku membutuhkan tambahan 500 guru untuk mengajar di sekolah-sekolah di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Selain Malinau, keluhan itu juga datang dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Jusmadi yang mengatakan tak cukupnya jumlah tenaga pendidik di daerahnya.
Kepala Dinas Pendidikan Barito Utara, Kalimantan Tengah, Elpi Epanop juga mengamini hal itu: "Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Daerah Barito Utara, kita masih kekurangan tenaga guru sekitar kurang lebih 500 orang."
Menurut Elpi, kekurangan itu disebabkan banyaknya guru yang pensiun dan tidak adanya penerimaan CPNS baru untuk tenaga guru.
Iti Octavia, Bupati Lebak, Banten, juga mempunyai masalah sama di daerahnya. Di Lebak saat ini hanya ada 4.000 guru. Sekolah di daerah terpencil hanya diisi oleh dua tenaga pengajar berstatus PNS dan tidak sesuai dengan angka siswa yang berjumlah ratusan. "Saya kira idealnya satu guru melayani rombongan belajar sebanyak 25 siswa," katanya.
Indonesia memang mengalami persoalan serius terkait dengan kurangnya guru. Menurut laporan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru RI, Sulistyo, pada 2015 lalu, Indonesia masih kekurangan sekitar 520 ribu guru dan jumlah itu akan terus bertambah karena ribuan guru Inpres akan pensiun pada tahun 2018-2023. Guru Inpres adalah guru yang dikirim berdasarkan Instruksi Presiden pada tahun 1974 sampai 1975 di masa Orde Baru.
Hal itu dibenarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau, Yatim Mustafa yang menyatakan sekitar 1.000 orang guru yang mengabdi di daerahnya akan memasuki masa pensiun pada 2018. Rata-rata guru yang pensiun pada 2018 kebanyakan adalah guru Inpres yang didatangkan dari daerah lain pada pemerintahan orde baru.
Di sekolah kejuruan pun ada masalah kekurangan guru, apalagi belakangan minat masyarakat terhadap SMK meningkat. Pada tahun ini saja ada penambahan 341 SMK, padahal biasanya hanya bertambah 20 hingga 25 SMK baru setiap tahunnya.
Mengatasi Kekurangan Guru
Akhir Agustus lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerjunkan sekitar 3.000 guru di pelosok Indonesia atau kawasan Indonesia terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Nama program itu adalah Program Sarjana Mendidik (SM) di daerah 3T.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, SM-3T merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk membangun Indonesia dari tepi atau kawasan yang belum mendapatkan pemerataan pendidikan. Calon guru yang telah terpilih akan ditempatkan di daerah 3T di 56 kabupaten pelosok Indonesia selama satu tahun.
Mereka yang mengikuti program ini juga diberikan pelatihan prakondisi yang diselenggarakan di 12 LPTK, yakni: Universitas Negeri Medan, Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Negeri Makassar, Universitas Gorontalo, dan Universitas Syiah Kuala.
Pelatihan ini berlangsung selama 17 hari dan berisi bekal akademik dan non-akademik. Menurut Muhadjir, program SM-3T diharapkan dapat membantu daerah 3T dalam mengatasi permasalahan pendidikan, terutama kekurangan tenaga guru. Program ini juga bertujuan untuk memberikan pengalaman pengabdian kepada para sarjana.
Walaupun sudah ada tindakan untuk mencegah kurangnya guru, bukan berarti Indonesia bisa terbebas dari ancaman kekurangan guru. Selain besarnya jumlah kekurangan guru yang sulit dikejar, tak banyak juga guru yang mau terus berkiprah di daerah.
Mantan Ketua DPR RI, Marzuki Alie, mengatakan banyak guru yang awalnya siap menandatangani kontrak penempatan di seluruh Nusantara, termasuk wilayah-wilayah pedalaman, malah mengurus surat pindah karena tak betah di daerah.
"Mereka tidak siap di daerah," kata Marzuki kepada Antara.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Maulida Sri Handayani