tirto.id - Pemerintah Indonesia belum menentukan harga ganti rugi kerusakan terumbu karang di Raja Ampat, Papua yang diperkirakan mencapai 1.600 meter persegi karena ditabrak oleh Kapal Caledonian Sky asal Inggris pada 4 Maret 2017 lalu.
Indonesia belum membicarakan ganti rugi tersebut karena saat ini masih melakukan koordinasi antara beberapa instansi terkait, seperti Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, dan Jaksa Agung.
"Pembicaraan ini karena pemerintah sangat konsen pada hal ini. Semua langkah sudah diambil agar pertanggungjawaban dilakukan baik dalam konteks pidana atau perdata. Baik ganti rugi kerusakan karena itu adalah kawasan yang ada aspek budaya. Semua langkah akan diambil pemerintah untuk memastikan pertanggungjawaban diberikan," kata Juru Bicara Kementrian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir di Ruang Palapa, Jalan Pejambon Nomor 6, Jakarta Pusat, Rabu (15/03/2017).
Pembicaraan ini juga dilakukan mengingat nahkoda asal Inggris justru pergi tanpa bertanggungjawab atas kerusakan itu. Upaya yang akan dilakukan Pemerintah, menurut Arrmanatha dengan dua cara, yakni legal system ataupun jalur ekstradisi. Dua jalur tersebut, kata Arrmanatha adalah komitmen Pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban baik perusahaan maupun sebagai individu sebagai seorang nahkoda kapal.
Kemenlu pun mengaku geram atas perbuatan tersebut. Demi mencegah terulangnya peristiwa yang sama, Pemerintah pun akan menggodok aturan teritorial dengan penerapan ID Perairan International.
"Dengan mematuhi norma dan rambu lain maka jangan sampai tindakan atau langkah yang diambil oleh negara-negara yang melintas di kawasan kita dapat merusak kestabilan dan keamanan di kawasan. Tentunya sekarang dilakukan jadi sudah ada koordinasi semua sektor terkait," kata Arrmanatha.
Arrmanatha menjelaskan hal utama yang akan dilakukan dalam skala dekat oleh Pemerintah adalah jalur ekstradisi atau melakukan mutual legal assistence melalaui pendekatan Government to Government (G to G). Akan tetapi, kata Arrmanatha, sebelum menempuh jalur ekstradisi, pihak Indonesia saat ini tengah mengumpulkan barang bukti untuk memperkarakan ini sebagai bencana Internasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan investigasi dari satuan tugas (satgas) Raja Ampat.
"Satgas ini dibentuk dari para aparat terkait. Dari situ mereka akan memformulasi approach-nya apa yang akan mereka lakukan. Kerusakannya berapa parah. Tuntutannya seperti apa. Kan sekarang kita baru lihat ini bisa dari segi perdatanya ada untuk ganti rugi. Kedua dari segi pidana karena dia yang langgar Undang-Undang teritorial Indonesia, merusak hukumannya pidana," kata Arrmanatha.
Menanggapi hal itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan bahwa saat ini pihaknya masih melakukan rapat koordinasi terkait dengan peristiwa perusakan terumbu karang itu.
"Yang sedang kami lakukan adalah rapat koordinasi. Untuk menentukan pelanggaran apa saja yang sudah dilakukan. Dan mencari siapa pihak yang mengizinkan kapal tersebut bisa masuk ke sana. Yang penting adalah mengkalkulasi ganti rugi yang sudah dibuat," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Brahmantya Satyamurti Poerwadi kepada Tirto, Rabu (15/03).
Lebih lanjut Brahmatya menjelaskan bahwa hal yang paling dirugikan adalah lesunya ekonomi pariwisata di Raja Ampat pasca kejadian itu. Sehingga, kata dia, menyebabkan devisa negara non migas menjadi menurun meskipun ia mengakui belum menghitung pasti nominal kerugian itu.
"Multiplier effect-nya banyak jelas. Yang pasti kerugian banyak. Seperti pendapatan dari sektor pariwisata yang dominan tapi kisaran belum ditentukan. Ada kelesuan jelas yang dihinggapi di sana," kata Brahmantya.
Sementara itu, menurut Kepala Pusat Penelitian untuk Sumber Daya Laut Pasifik di Universitas Papua, Ricardo Tapilatu di mongabay.com mengungkapkan bahwa ganti rugi yang disarankan kepada Pemerintah Indonesia sebesar 800 dolar AS sampai 1.200 dolar AS atau setara Rp11 juta sampai Rp17 juta per meter persegi. Sementara dengan penaksiran kerugian sebesar 1,28 juta dolar AS sampai 1,92 juta dolar AS atau setara dengan Rp 26 miliar.
Sayangnya, saat dikonfirmasi apakah nilai kerugian yang direkomendasikan akan sebesar itu Brahmantya memilih tak menjawabnya.
Sementara di dalam pernyataan tertulisnya perusahaan pemilik kapal, Noble Caledonia meminta maaf atas insiden yang merusak terumbu karang di Radja Ampat. Perusahaan kapal pesiar yang telah 10 tahun berdiri ini sendiri menyanggupi akan bertanggungjawab sepenuhnya dengan mengganti rugi setiap inci kerusakan di Radja Ampat.
"Kami akan secara penuh memberikan ganti rugi dan saat ini masih tengah berdiskusi dengan Pemerintah Indonesia untuk mencari penyelesaiaan yang realistis,"terang Noble Caledonia di situs resmi mereka.
Sebagai informasi, Rabu (15/3) telah terjadi koordinasi oleh pihak-pihak terkait yang dilaksanakan tadi pagi di Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman. Salah satu isu yang dibahas adalah legalitas kapal besar setara Kapal Pesiar yang haram melintas ke Pulau Weku, Papua. Padahal, dari mekanisme yang ada untuk menuju ke area Raja Ampat kapal besar tidak diijinkan masuk. Kapal besar itu hanya diperbolehkan terparkir di Pelabuhan Sorong, Papua. Dari Sorong penumpang kapal hanya diizinkan untuk melanjutkan lagi dengan kapal kecil menuju Pulau Weku.
Namun atas izin dari Syahbadar Sorong kapal tersebut masuk ke Pulau Weku. Di rapat setengah kamar itu juga membicarakan bagaimana kelanjutan nasib dari Syahbadar atau Kepala Dermaga itu selanjutnya, apakah dipecat atau justru tetap dipertahankan dengan konsekuensi pemindahtugasan.
Di samping perizinan tersebut, fakta lain yang belum banyak diketahui oleh publik adalah harga per satu malamnya kapal tersebut tiap penumpangnya yang diprediksi sekitar 4.500 dolar AS. Sementara perjalanan kapal luxurius itu memiliki rute perjalanan dari Papua Nugini ke Filipina lewat Indonesia yang dilakukan selama 16 malam jalur laut.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Alexander Haryanto