tirto.id - Indonesia berencana mengirim balik 210 ton sampah ke Australia sebagai langkah penolakan Negara Asia Tenggara sebagai “tempat sampah” bagi negara-negara kaya.
Sampah 210 ton tersebut, seperti dilaporkan Aljazeera, diisikan dalam 8 kontainer di Kota Surabaya. Tidak hanya berisi sampah kertas, plastik, tetapi juga berisikan material berbahaya dan sampah rumah tangga, seperti tisu bekas pakai.
Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar menyarankan, pada Senin (7/7/2019) agar sampah tersebut dikirim kembali ke Australia.
“Langkah ini dilakulan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan Indonesia, terutama Jawa Timur dari sampah B3,” ujarnya, merujuk pada material berbahaya dan beracun yang terdapat dalam sampah tersebut.
Australia mengirim sampah ke Indonesia melalui perusahaan Oceanic Multitrading dan dibantu perusahaan lokal, PT. MDI. Minggu lalu, Indonesia mengumumkan telah mengembalikan 49 kontainer sampah ke Perancis dan negara maju lainnya, menurut laporan New Strait Times.
Asia Tenggara kerap menjadi destinasi sampah dalam jumlah besar dan kini tengah menghadapi masalah dalam pengelolaannya. Malaysia, pada Mei lalu mengirim balik 450 ton sampah plastik ke Australia, Bangladesh, Kanada, Cina, Jepang, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Senasib dengannya, Filipina mengembalikan 69 kontainer sampah ke Kanada, yang mengawali ketegangan diplomatik antar dua negara tersebut.
Selain Asia Tenggara, Cina juga menjadi “tempat sampah” bagi negara-negara maju, hingga tahun 2018 Beijing melarang impor sampah palstik dari luar negeri, karena Cina telah kehabisan tempat penampungan sampah.
Sampah memang menjadi masalah pelik setiap negara, terutama yang sulit didaur ulang seperti plastik. Di Asia Tenggara, sungai-sungai mulai tercemar sampah plastik dan banyak spesies laut meninggal dengan gumpalan plastik dalam perut mereka.
Sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya, menurut Worldwide Fund fo Nature (WWF), dikutip oleh Aljazeera. Plastik-plastik tersebut pada akhirnya akan memenuhi daratan dan mengotori laut, dan telah menjadi krisis global.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Yantina Debora