tirto.id - Nilai tukar (kurs) rupiah pada Senin (13/8/2018) menyentuh level pelemahan terhadap dolar AS sebesar Rp14.600 dari sebelumnya di level Rp14.400. Ada faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi hal ini, menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
"Faktor global dan domestik dua-duanya punya andil dalam pelemahan kurs," ujar pengamat dari INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Tirto pada Selasa (14/8/2018) malam.
Faktor eksternal, bisa jadi perluasan dari kekhawatiran krisis Turki dengan anjloknya kurs Lira hingga 40 persen, dalam tahun ini. Diperparah oleh sanksi dari AS berupa kenaikan bea masuk baja dan alumnium asal Turki ke AS.
"Krisis Turki diprediksi akan menyebabkan spillover effect ke Eropa dan negara berkembang lainnya," kata Bhima.
Menurutnya, minat investor terhadap aset negara berkembang (emerging market) dalam pasar keuangan atau pasar saham akan berkurang atau justru dihindari. Alhasil, aliran dana yang masuk (inflow) di negara berkembang akan menyusut dan mempengaruhi peredaran mata uang negara berkembang menjadi melemah (depresiasi).
Para investor secara global cenderung lebih mencari aman dengan membeli obligasi jangka panjang pemerintah AS (treasury bond), minat dolar AS makin tinggi. Sehingga, inflow AS semakin besar dan kurs dolar AS semakin kuat.
"Treasury bond sebagai pelarian atau flight to quality ke aset yang lebih aman. Investor global memborong dolar," ujar Bhima.
Sementara itu, Bhima mengatakan kondisi Turki diproyeksi akan berlangsung cukup lama dan secara sistemik akan mempengaruhi pasar keuangan dari emerging market.
"US dollar index yang merupakan perbandingan antara dolar AS dengan 6 mata uang dominan di dunia (euro, yen, pound, dolar Kanada, krona, franc) naik menjadi 96,4, menunjukkan fenomena super dolar yang trennya berlanjut," kata Bhima.
Lebih lanjut, pelemahan kurs rupiah juga dipengaruhi faktor domestik, yaitu defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) yang menembus level 3 persen sari PDB atau senilai 8 miliar dolar AS pada triwulan II/2018. Angka itu lebih tinggi dibandingkan CAD triwulan sebelumnya sebesar 2,2 persen terhadap PDB atau senilai 5,7 miliar dolar AS.
"Dari dalam negeri sentimen investor lebih dipengaruhi rilis data defisit transaksi berjalan yang menembus 3 persen terhadap PDB di triwulan II/2018," ujar Bhima.
Bhima memperkirakan CAD berpotensi melebar di triwulan selanjutnya, akibat dari naiknya biaya kebutuhan impor, pembayaran utang jatuh tempo, dan realisasi proyek infrastruktur yang menyedot bahan baku impor.
"Defisit transaksi berjalan sudah pada level yang waspada," kata Bhima.
Sementara, respons Bank Indonesia (BI) dalam menghadapi rupiah hanya masih mengandalkan cadangan devisa. Jadi, ia memperkirakan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI diproyeksikannya akan mempertahankan BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) di level 5,25 persen.
"Tidak ada surprise dari BI, sehingga ekspektasi pasar cenderung menahan diri. BI kami sarankan untuk naikkan bunga acuan 25 bps (basis points) pada RDG bulan September sekaligus mengantisipasi kenaikan Fed rate. Amunisi moneter (cadangan devisa) perlu dihemat di RDG bulan ini," ujar Bhima.
Selain itu, ada faktor dari hasil pendaftaran capres dan cawapres yang ditanggapi beragam oleh para investor terutamanya investor asing. "Pasar khususnya investor asing kaget Jokowi memilih Maaruf Amin yang dinilai belum kompeten menyelesaikan masalah ekonomi yang mendesak. Sementara visi misi Prabowo-Sandi dinilai masih abstrak," kata Bhima.
Ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih ditopang investor domestik. Sementara ini, investor asing dalam 1 minggu terakhir, dikatakan Bhima, membukukan penjualan bersih Rp1,74 triliun.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri