tirto.id - Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan, Pemerintah Indonesia harus lebih ketat menyaring barang-barang yang masuk dari Cina, terutama melalui arus e-commerce.
"Serbuan barang Cina lewat e-commerce lebih kencang ke depan. Pemerintah belum mencegat secara baik arus inflow barang seperti ini lewat e-commerce," ungkap Didik dalam diskusi media, Jumat (22/2/2019).
Ia menduga, Pemerintah RI ragu dan takut atau tidak tahu ada bahaya defisit yang besar karena ada payung Asean China Free Trade. Sebab, ada barang masuk yang tidak dikenakan pajak.
"Prospek defisit berganda karena dipicu oleh arus modal keluar lewat akun pendapatan primer," kata Didik.
Sebagai informasi, neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2018 kembali mengalami defisit. Badan Pusat Stasitik (BPS) mencatat, angkanya mencapai sebesar 1,1 miliar dolar AS.
Jika dibandingkan bulan yang sama tahun 2017 dengan defisit sebesar 240 juta dolar AS, maka ini adalah yang paling parah.
Dengan demikian, kata Kepala BPS Suhariyanto, defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 tercatat sebesar 8,57 miliar dolar AS.
Beberapa alasan mengapa Indonesia mengalami defisit yaitu karena terlalu banyak barang impor yang masuk ke dalam negeri. Salah satunya barang barang dari Cina, seperti baja impor dan item lainnya.
Untuk itu, Didik mengatakan, dengan adanya aplikasi belanja online, maka akan semakin mempermudah barang impor masuk ke Indonesia. Hal ini yang membuat pengamat mewanti-wanti pemerintah agar jalur ini tidak akan menambah nilai defisit neraca dagang RI.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Alexander Haryanto