tirto.id - Suara ledakan kembang api menggema di angkasa dan hujan deras mengguyur Jakarta di hari raya Imlek 2571. Kawan saya yang bukan peranakan Tionghoa paham hujan adalah tanda awal tahun yang baik bagi orang Cina. Sayangnya, di daerah asal keturunan Tionghoa, sebagian penduduk Cina tidak seberuntung itu. Hujan yang mereka terima bukan air yang memberi kesuburan, melainkan hujan gas air mata demi meredam kerusuhan.
Sudah lebih dari tujuh bulan warga Hong Kong turun ke jalan untuk menentang rancangan undang-undang ekstradisi yang baru. Bentrok di jalan adalah makanan sehari-hari warga Hong Kong sejak Juni 2019. Pemukulan oleh polisi dan terkena hantaman gas air mata adalah risiko yang harus diambil.
Pada malam dan hari tahun baru 2019, pergumulan di jalan bahkan tak mengenal jeda. Di berbagai daerah Hong Kong, polisi menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan kerumunan pendemo. Penduduk Hong Kong yang turun ke jalan memang tak cuma merayakan tahun baru, tapi juga membawa agenda revolusi di belakangnya.
Dikutip dari Japan Times, salah satu lokasi yang ramai unjuk rasa adalah pelabuhan Victoria. Sembari menghitung mundur datangnya tahun baru, massa menyampaikan tuntutannya.
“Sepuluh, sembilan! Bebaskan Hong Kong, sekarang saatnya revolusi!” teriak massa sambil menyalakan lampu di gawai dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Beberapa saat sebelumnya, massa juga sempat bergandengan tangan dan membentuk barisan. Menurut salah seorang warga, aksi demonstrasi ketika itu memang mulai kendur. Pada pertama tahun 2020, warga yang bernama Kris itu berharap semangat protes kembali memuncak.
“Terima kasih kepada 2019, yang telah merobek kedok jelek para polisi dan pemerintah sehingga masyarakat bisa melihat kebenaran,” kata Kris.
Setelah malam tahun baru berakhir, lebih banyak massa tumpah ke jalan. Selain membawa tuntutan kemerdekaan Hong Kong, massa juga menuntut pengampunan kepada 6.500 orang yang sudah ditangkap polisi karena protes.
“Sulit untuk mengucapkan tahun baru karena warga Hong Kong sebenarnya tidak gembira,” kata warga bernama Tung yang turut demo bersama keluarganya seperti dilansir Reuters.
Dua puluh empat hari kemudian, pengalaman ini berulang. Pada tahun baru Cina, para pendemo belum bisa menarik diri dari barisan.
Bukan Sekadar Perayaan
Tahun baru Cina adalah hari paling besar yang dirayakan oleh kota berpenduduk 7,4 juta jiwa tersebut. Hong Kong memang masih merayakannya, tetapi kemegahan perayaan tahun baru tak lagi terlihat. Apalagi seminggu sebelumnya polisi dengan kekerasan dan gas air mata menghalau demonstran yang turun ke jalan.
Bagi warga Hong Kong, tahun baru Cina tak sekadar mengundang perayaan, tapi juga menjadi wadah konsolidasi untuk menguatkan perlawanan.
Pemerintah Hong Kong menerapkan kebijakan pelarangan penjualan barang-barang tekstil selama Imlek kali ini. Biasanya, toko-toko dan pasar tradisional bermunculan di berbagai daerah. Mereka menjual barang-barang dekorasi dan baju yang bermuatan sindiran politik. Masalah keamanan melatarbelakangi pelarangan ini.
Food and Environmental Hygiene Department (FEHD) melarang penjualan selama seminggu mulai dari 19-25 Januari 2020 di seantero Hong Kong. FEHD mengkhawatirkan kericuhan yang terjadi akan melibatkan orang tua dan anak-anak yang ada di jalanan.
“Festival [tahun baru Cina] biasanya ramai, penuh dengan orangtua dan anak-anak. Melihat situasi sosial terkini, pemerintah selaku panitia acara punya tanggung jawab memastikan seluruh pemilik toko dan pengunjung dalam kondisi aman,” tulis keterangan tertulis FEHD seperti dikutip Hong Kong Free Press.
Bukan kali ini saja pemerintah campur tangan dalam urusan dagang di tahun baru Cina. Partai politik memang sering ambil kesempatan untuk mengkampanyekan program, menilik pasar di tahun baru Cina sangat ramai peminat.
Dua partai lokal, Youngspiration dan Hong Kong National Party, juga hendak ambil bagian di tahun 2017. Namun FEHD melarang dengan alasan kedua partai punya agenda mendukung kemerdekaan Hong Kong.
Au Nok-hin, wakil ketua Panel on Home Affair, lembaga pengawas kebijakan pemerintah terkait pendidikan, penyediaan layanan, dan sebagainya, mengeluhkan pelarangan yang dilakukan pemerintah. Tapi tetap saja tak ada perubahan. “Sampai kapan pemerintah akan menghalangi acara publik?” tanya Au.
Demonstran pun membuat pasar tradisional dadakan untuk melawan pelarangan. Salah satu pasar itu terletak di area Sai Ying Pun, Hong Kong. Warga berbelanja membeli gambar dan ornamen lain yang dibuat oleh seniman lokal demi kebutuhan demonstrasi.
Salah dua seniman yang ikut menjajakan karyanya adalah Lumi dan Lumlong. Karya mereka menggambarkan sosok demonstran dengan masker, helm, yang kemudian dikelilingi oleh berbagai perkakas seperti payung, botol air mineral, dan sebagainya untuk meredam serangan gas air mata.
Ada juga yang menjual stiker dan amplop-amplop untuk angpao dan hadiah lain dengan gambar anime sosok demonstran yang ada di Hong Kong. Sosok demonstran dengan helm dan masker gas memang menjadi jualan utama. Di kios lainnya, tas gendong (tote bag) bergambar sosok muka demonstran turut diperjualbelikan bersama figur aksi yang membawa bendera hitam bertuliskan “Free Hongkong. Revolution.”
Seorang pengunjung bernama Yan puas dengan keberadaan pasar seperti ini. Selain barang buatan tangan yang ciamik, dia senang karena bisa ikut menimbun dana untuk perlawanan terhadap pemerintah Cina.
“Kami sama-sama bertahan untuk melawan,” kata Yan seperti dilansir Quartz.
Saya ingat ketika ibu saya siang hari itu berteriak membangunkan anaknya: “Tahun baru Cina kok tidur terus.” Andai dia bicara di Hong Kong, ceritanya bisa lain karena revolusi tak kenal tidur siang.
Hong Kong Tidak Makmur
Tahun baru tak berarti membaiknya keadaan di Hong Kong akan membaik. CNBC mencatat, perekonomian Hong Kong lemah sampai akhir tahun 2019. Bank of America Meryll Lynch memprediksi Penghasilan Domestik Bruto (PDB) Hong Kong akan melemah sebanyak 2,1 persen dari tahun ke tahun.
Protes yang berangsur lama mengakibatkan buruknya perdagangan di Hong Kong. Ditambah lagi, jumlah turis juga makin menurun. Salah seorang pegawai apotek di Hong Kong, Andy Ho mengatakan keuntungan bisnisnya merosot hampir 40 persen.
Ho memprediksi keadaan tidak akan berubah banyak. Yang ia tahu, pelanggannya terdiri dari 70 persen orang lokal dan 30 persen turis. Namun sebagian besar turis tersebut sekarang tidak terlihat lagi. Orang lokal pun tidak lagi berbelanja.
Foreign Policy mencatat tahun baru Cina di Hong Kong kali ini dirayakan tanpa pesta kembang api dan parade tradisional yang biasanya menyertakan barongsai.
Pemerintah pun melarang sejumlah orang asing datang ke Hong Kong. Misalnya aktivis Human Rights Watch, Kenneth Roth dan jurnalis Financial Times Victor Mallet. Pada November 2019, jumlah turis di Hong Kong anjlok hingga 56 persen.
Bulan ini Hong Kong menghadapi tantangan lain, yakni virus corona. Dengan adanya 26 korban meninggal, Hong Kong mulai waspada. Apalagi ada satu orang yang diperkirakan terjangkit virus corona sudah masuk ke Hong Kong.
Pemerintah Hong Kong membatalkan dua perayaan, yakni Cathay Pacific International Chinese New Year Carnival, salah satu program Hong Kong Tourism Board (HKTB), dan turnamen sepak bola tahun baru Cina. Turis yang masuk ke Hong Kong lewat jalur kereta api juga diperiksa secara teliti.
Jen Sookfong Lee dalam Chinese New Year: A Celebration for Everyone (2017) mencatat perayaan tahun baru Imlek di Hong Kong adalah salah satu yang paling populer di dunia. Biasanya karnaval akan berlangsung tiga hari sejak malam tahun baru. Orang-orang turun ke jalan membawa arak-arakan dan bermain musik.
Karnaval juga dimeriahkan dengan rangkaian kembang api di Pelabuhan Victoria, pertandingan rugby, dan balap kuda di pelbagai tempat. Acara-acara ini tak lagi semeriah tahun-tahun sebelumnya.
Dalam sebuah liputan BBC, jurnalis Karishma Vaswani sempat mewawancarai mahasiswa Hong Kong berusia terkait harapannya dengan kota yang hampir setiap hari ricuh itu.
Kepada Karishma, Dicky Cheung (20 tahun) mengatakan: “Aku kuliah untuk hidup yang lebih baik, tapi aku tak punya harapan tentang masa depan.”
Editor: Windu Jusuf