Menuju konten utama

Ada Toleransi & Kesederhanaan di Perayaan Imlek Warga Cina Benteng

Saat perayaan Imlek di daerah warga Tionghoa di Tangerang yang biasa disebut Cina Benteng, ada kebersamaan dan toleransi serta kesederhanaan.

Ada Toleransi & Kesederhanaan di Perayaan Imlek Warga Cina Benteng
Klenteng Tjeng Tek Bio di RW.04 Kelurahan Mekarsari Kecamaran Mekarsari berias diri mempersiapkan tahun baru imlek. Tirto.id/M Bernie Kurniawan.

tirto.id - Hujan tak berhenti turun sejak Jumat (24/1/2020) pagi. Namun, kondisi ini tak merisaukan Merry (48) dalam menjalankan prosesi perayaan Imlek di rumahnya. Menurutnya, hujan pada saat dan menjelang Imlek adalah pertanda yang baik.

"Kata orang tua zaman dulu kalau hujan pas imlek itu tandanya berkah di tahun baru," kata Merry di rumahnya.

Merry duduk santai di bangku plastik di depan rumahnya lalu menggigit rokok dan mengarahkan korek ke ujungnya. Asap mengepul tanpa beban beberapa detik setelahnya.

"Kalau hari ini mah sembahyang doang. Ramenya tuh baru besok, pas Imleknya," kata Merry.

Merry mengaku baru saja selesai melakukan sembahyang, sehari sebelum hari raya Imlek adalah waktunya untuk sembahyang dan mendoakan arwah leluhur. Di mejanya terdapat dua foto yang telah kusam, Merry mengatakan itu adalah foto mertuanya yang telah meninggal beberapa tahun lalu.

Saat sembahyang, dia berharap kedua mertuanya itu diberikan keselamatan sembari memohon keberkahan bagi dirinya dan keluarga di tahun baru.

Sebelumnya, Merry tinggal di Mangga Dua, Jakarta Utara. Di sana ia berdagang bersama suaminya dan dikaruniai satu orang anak. Pada tahun 2007 rumahnya digusur untuk pembangunan pusat perbelanjaan.

Tak mampu lagi membeli properti di Jakarta, Merry dan keluarganya membeli tanah di bantaran Sungai Cisadane tepatnya di RW 04 Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang atau lebih dikenal dengan nama Kampung Sewan. Di sini suaminya bekerja sebagai penjual alat tulis keliling. Dia enggan menyebut penghasilannya, tapi yang jelas cukup untuk membuat dapur mengepul.

Dengan modal uang ganti rugi, Merry membangun rumah sederhana dengan dinding batu setinggi setengah meter dan disambung dengan papan triplek ke atasnya. Rumah itu kecil, hanya terdiri dari empat ruangan yang dua di antaranya adalah kamar tidur. Ruang tengah menyatu dengan dapur.

"Di sini enak, orang Cinanya banyak jadi kita mau apa-apa gampang," kata Merry menceritakan alasannya pindah ke Tangerang.

Kesederhanaan hidup itu pun tergambar dalam perayaan Imlek di rumahnya. Tak ada hiasan atau baju baru, hanya meja berisi aneka kudapan seperti pindang bandeng, babi chin, ikan goreng, hingga sop. Selain itu, ada pula buah-buahan, kue keranjang dan dodol.

Namun, kondisi hidupnya itu tak mengurangi gairah hidup Merry dan keluarga. Enteng saja ia mengobrol dengan tetangga dan kerabatnya yang sesekali lewat, sesekali terdengar tawa dan ejekannya yang lantang.

"Yang penting itu bukan bajunya yang baru, tapi yang penting dalamnya yang baru. Kalau enggak bisa beli baju baru, jangan dipaksain," kata Merry enteng.

Selanjutnya Merry berencana makan siang bersama keluarganya. Besok, ia akan berkunjung ke rumah kakak perempuannya sekaligus berkeliling ke rumah sanak familinya yang masih berada di Mangga Dua.

Semangat Kebhinekaan Saat Imlek

Populasi etnis Tionghoa di Kota Tangerang memang cukup besar. Konon armada Tionghoa pertama mendarat abad 15 Masehi di Muara Cisadane yang kini dikenal sebagai Teluk Naga.

Keturunan Tionghoa yang tinggal di Kota Tangerang kemudian dikenal sebagai Cina Benteng, merujuk pada nama kota itu pada era kolonial. Kampung Sewan adalah salah satu permukiman Cina Benteng yang tersisa.

Keunikan warga Cina Benteng di antaranya kulit mereka lebih cokelat dibanding warga keturunan Tionghoa. Selain itu, berbeda dengan stereotip masyarakat Tionghoa yang dianggap kaya raya, kebanyakan warga Cina Benteng justru tinggal dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah.

Bahasa yang mereka gunakan pun bahasa Indonesia bahkan beberapa di antara mereka mampu berbahasa Sunda atau berdialek Betawi. Hal ini akibat akulturasi dengan budaya di sekitarnya.

Ong Giok Seng (58) Ketua RT01 RW04 menceritakan kendati ada pula warganya yang berlatar belakang non-Tionghoa dan beragama muslim, nyatanya itu tak menghalangi mereka untuk hidup berdampingan. Misalnya, sejak jauh-jauh hari warga telah bergotong royong memasang lampion di depan klenteng Tjoeng Tek Byo.

Yang menarik, saat perayaan Imlek, warga muslim di Kampung Sewan biasanya turut berkeliling dan mengucapkan Gong Xi Fat Chai.

"Kita dari dulu tuh sudah seperti tidak ada lagi perbedaan. Jadi kebhinekaan itu, di sini benar-benar seperti menyatu," kata Ong di rumahnya.

Suka cita dalam kesederhanaan pun terlihat di tenda KS Entertainment. Iwan (44) tahun lincah memainkan jarinya di atas tuts keyboard, suaranya merdu menyanyikan Aku dan Kamu karya Obbie Messakh.

Iwan mengatakan setiap Imlek memang selalu memasang keyboard untuk kumpul-kumpul keluarga besarnya yang juga masih warga Kampung Sewan.

"Kadang ada juga yang datang bawa keluarganya, kita nyanyi bareng di sini," kata Iwan.

Inisiatif membeli keyboard dan sound system tercetus pada 7 tahun lalu oleh keluarga besar Iwan untuk meramaikan kumpul keluarga atau refreshing sepulang kerja. Pria yang bekerja sebagai sales itu kemudian merogoh koceknya dan ikut patungan membeli keyboard hingga terbentuklah KS Entertainment.

Iwan mengaku awalnya tak ada yang bisa bermain keyboard, akhirnya dia dan anggota keluarga lainnya belajar secara otodidak. Kini Iwan telah mahir dan kerap dipanggil untuk tampil pada acara pernikahan atau ulang tahun.

"Sekarang ini [keyboard] kita keluarin, nanti dikeluarin lagi pas Cap Go Meh," kata dia.

Baca juga artikel terkait IMLEK 2020 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri