Menuju konten utama

Balada Pedagang Aksesori Perayaan Imlek Lintas Iman di Glodok

Beberapa pedagang aksesori Imlek di Jakarta Barat ternyata banyak yang muslim dan tidak mempermasalahkan berjualan kebutuhan jemaat vihara.

Balada Pedagang Aksesori Perayaan Imlek Lintas Iman di Glodok
Calon pembeli mengamati pernak-pernik Imlek yang dijual di kawasan Glodok, Jakarta, Selasa (21/1/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto.

tirto.id - Syamsurizal (51) berkukuh tak melepas burung pipit dagangannya, saat ditawar konsumennya. Ia yang biasa dipanggil Rizal, sengaja berjualan di depan pintu keluar Vihara Dharma Bakti, Glodok, Jakarta Barat.

Tawar-menawar sempat sengit terjadi dengan perempuan paruh baya yang akan melakukan tradisi Fang Sheng. Setiap perayaan Imlek, tradisi orang Tionghoa akan melepaskan burung pipit dari kandang untuk mendapatkan karma baik atau pengampunan dosa.

Rizal, salah satu pedagang burung pipit, yang menangguk rezeki dari tradisi Imlek ini. Ia sudah setahun terakhir merantau dari Indramayu ke Jakarta atas ajakan kawannya untuk berjualan burung pipit. Sebelumnya, dia bekerja sebagai kuli bangunan, tapi ia sadar usianya tak muda lagi dan akhirnya menerima ajakan kawannya untuk berjualan saat Imlek.

Imlek tahun ini adalah yang pertama baginya dan ia tak sabar menanti pendapatannya.

"Katanya, kalau Imlek ini lagi 'panen'-nya. Jadi kita lihat aja," kata dia saat ditemui.

Faktanya memang demikian, Rizal mengaku penjualannya meningkat seiring dengan waktu perayaan Imlek yang makin dekat. Ia menunjuk satu kotak berisi sekitar 100 burung pipit yang siap dilepaskan. Harga satu kotak itu, ia membanderol Rp100 ribu.

Itu baru sebagian, lanjutnya, banyak pula orang yang membeli dalam ukuran satu keranjang besar berisi sekitar 1.000 burung pipit. Kadang dalam sehari, Rizal bisa menjual 2-3 keranjang yang artinya dia meraup pendapatan Rp2 juta-Rp3 juta.

Meski berjualan memenuhi kebutuhan penganut vihara, Rizal tetap menunaikan kewajiban salat saat mendengar azan asar berkumandang.

Namun, ia tak melihat ada pertentangan antara agama yang dianut dengan pekerjaannya. Yang ia tahu, hanya mencari nafkah untuk keluarganya di rumah seraya membantu umat Tionghoa menjalankan kepercayaannya.

"Tuhan, insyaallah tahu niat kita. Kita pun di sini juga membantu daripada orang-orang ribet cari burung pipit sendiri, jadi kita sediakan," kata dia.

Namun, nyatanya berdagang kebutuhan perayaan Imlek memang menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian umat Islam.

Lina (40) tengah menunggu tokonya sebagaimana biasa di teras Pasar Glodok City, Jakarta Barat. Tiba-tiba seseorang datang, awalnya, ia melihat-lihat dan begitu Lina menghampiri orang itu bertanya dengan nada tak simpatik.

"Lu berhijab kenapa jualan ini?" tanyanya.

"Ya, selagi halal daripada saya nyolong," jawab Lina enteng.

Percakapan itu terjadi beberapa bulan lalu tapi perempuan berhijab itu masih mengingatnya seolah terjadi kemarin.

Lina sudah berpuluh tahun berjualan aksesori Imlek di Glodok, tepatnya sejak Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid mengizinkan perayaan Imlek seiring terbitnya Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Sejak itu, protes tetap diterima Lina karena berjualan aksesori Imlek yang terjadi hampir setiap tahun. Seiring berjalannya waktu, dia belajar untuk mengesampingkan serangan dari kelompok-kelompok yang tidak bersimpati dan hanya membalas dengan senyum seraya memberi penjelasan.

Terlebih, di sisi lain, banyak pula orang yang mengapresiasi dirinya karena bisa melepaskan diri dari sekat-sekat SARA.

"Kita kan berteman dan berdagang tidak perlu memandang suku ras atau apa. Walau beda kita kan tetap satu. Mereka dibesarkan di sini sama kayak kita," kata Lina.

Awalnya, Lina hanya berjualan aksesori biasa, tapi melihat potensinya yang menjanjikan, Lina merogoh tabungannya dan beralih berjualan aksesori Imlek.

Lina telah memulai berdagang aksesori sejak Desember 2019 lalu. Yang ia jual bermacam-macam mulai dari angpao, lampion, replika pohon Mei Hua, dan aksesori Imlek lainnya. Harganya mulai dari Rp5 ribu untuk angpao hingga jutaan rupiah untuk pohon Mei Hua.

Pelanggannya datang dari berbagai latar belakang, ada yang untuk keperluan pribadi, ada pula untuk kebutuhan perusahaan, bahkan Lina juga menyuplai aksesori untuk keperluan vihara di Semarang dan kota lain.

Omzetnya pun menjanjikan, dalam sehari ia bisa meraup Rp3 juta bahkan jika sedang ramai bisa mencapai Rp10 juta. Angka ini pun masih lebih kecil jika dibanding tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai Rp5 juta per hari. Dengan uang itu, ia bisa menghidupi tiga anaknya yang masing-masing berusia 16 tahun, 12 tahun, dan 10 tahun.

"Ini kan jualan kayak gini enggak menyimpang. Saya cuma jualan, memang sih saya memfasilitasi mereka ya enggak apa-apa, kan keyakinan saya tetap saya, keyakinan mereka tetap mereka," kata Lina.

Baca juga artikel terkait IMLEK 2020 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri