tirto.id - Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) resmi ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Ia diduga berperan dalam perencanaan dan pembahasan anggaran di DPR.
"(Novanto) diduga memiliki peran baik dalam proses perencanaan dan pembahasan anggaran di DPR dan proses pengadaan barang dan jasa dalam proyek KTP elektronik," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).
Novanto diduga menerima dana yang diduga merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu. "Mengakibatkan kerugian uang negara atau perekonomian negara sekurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun," ungkapnya.
Ketua Umum Partai Golkar itu, dijerat pasal 3 atau pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman penjara maksimal bagi Novanto ialah 20 tahun penjara dan dengan maksimal Rp 1 miliar.
Sebelum Setnov, ada dua anggota DPR yang terlebih dahulu ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka yakni mantan Anggota komisi II DPR Fraksi Hanura Miryam S Haryani dan mantan Anggota Komisi II DPR Fraksi Golkar Markus Nari.
Miryam dianggap memberikan keterangan tidak benar saat proses persidangan 13 Juli 2017. Kemudian Markus diduga sengaja mencegah dan menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, pemeriksaan di sidang Tipikor.
Ditemui secara terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan pihaknya tak langsung menahan Setya Novanto. Belum diketahui kapan KPK akan melakukan penahanan. Sebab untuk mengeksekusi hal itu, pihaknya masih harus berkoordinasi dengan penyidik kembali.
"Kami belum bicara soal penahanan, kami masih bicara soal tentang peningkatan status terhadap seseorang ke tingkat penyidikan, terkait dengan kegiatan lain nanti kami akan informasikan lebih lanjut," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).
Diminta Segara Ditahan dan Mundur dari DPR
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz meminta agar Novanto mundur dari jabatan sebagai ketua DPR. Dengan begitu Novanto bisa fokus menghadapi proses hukum.
"Harus mundur sebagai Ketua DPR. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang sebagai pimpinan lembaga negara," kata Donald kepada reporter Tirto, Senin (17/7/2017).
Selain itu, ICW mendesak agar Partai Golkar mengevaluasi kinerja Novanto. Dia juga berharap Partai Golkar bertindak profesional dengan mendukung KPK menegakkan hukum.
"Partai Golkar harus segera melakukan pembenahan internal untuk untuk mengganti pimpinannya yang bermasalah," tuturnya.
ICW juga mengatakan bahwa penyidik dapat menahan Novanto lantaran kasus itu telah memenuhi syarat objektif penahanan yakni diatas 5 tahun. "KPK kan penegak hukum. Dia bisa melakukan pencegahan, penahanan bisa melakukan penyitaan penyadapan dan lain sebagainya," kata Donal.
Dalam Undang-Undang KPK, dijelaskan bahwa penyidik memiliki wewenang melakukan syarat penahanan dengan syarat objektif dan subjektif.
"Ada yang namanya syarat subjektif dan syarat objektif. Kalau syarat objektif itu kan perkara-perkara di atas 5 tahun. kalau syarat subjektif itu misalnya takut melarikan diri, melakukan perbuatan yang sama, takut menghilangkan barang bukti dan sebagainya, " kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto