tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyarankan Gubernur Papua, Lukas Enembe memenuhi panggilan KPK. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana beranggapan, Enembe sebagai kepala daerah harus memberi contoh baik kepada rakyat dalam proses penegakan hukum.
Kurnia mengingatkan bahwa kewajiban pemenuhan pemanggilan tersangka sudah diatur dalam Pasal 112 KUHAP. Jika niatan mangkir terus muncul, maka KPK harus menggunakan wewenang paksa.
“Jika Lukas terus menerus mangkir, sudah selayaknya KPK segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa. Hal ini pun sejalan dengan Pasal 50 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka berhak mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum," kata Kurnia dalam keterangan, Kamis (22/9/2022).
Kurnia juga menyarankan Enembe untuk ditahan. Ia mengingatkan, Pasal 17 KUHAP menyarankan bahwa aparat bisa melakukan penangkapan apabila perkara naik ke tahap penyidikan dan orang yang ditangkap berstatus tersangka. Ia pun mendorong agar Enembe ditahan karena memenuhi unsur penahanan sesuai Pasal 21 KUHAP.
“Jika kemudian Lukas ditangkap, KPK pun dapat langsung melakukan penahanan seperti diatur dalam Pasal 21 KUHAP dengan alasan-alasan tertentu, misalnya, kekhawatiran tersangka akan melarikan diri. Dengan itu diyakini proses hukum terhadap Lukas dapat berjalan lancar dan siap untuk segera disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," kata Kurnia.
Kurnia menegaskan, KPK juga bisa langsung meminta second opinion terkait kondisi kesehatan Enembe yang dikabarkan memburuk. Hal ini sudah pernah dilakukan KPK saat penanganan kasus korupsi e-KTP dengan terpidana Ketua DPR RI kala itu yakni Setya Novanto.
“Kala itu terbukti bahwa alasan sakit yang diutarakan oleh Setya terlalu mengada-ngada. Maka dari itu, penting bagi KPK untuk segera mengulangi tindakan tersebut dalam konteks perkara Lukas," tegas Kurnia.
Kurnia pun menilai, gangguan kesehatan Lukas Enembe tidak bisa menghentikan penanganan penyidikan korupsi. Ia mengingatkan KPK pernah melakukan pembantaran kesehatan tersangka seperti saat penanganan kesehatan eks Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
Kurnia juga mengingatkan bahwa Enembe setidaknya terjerat dua kasus berdasarkan keterangan bersama Menkopolhukam Mahfud MD, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, yakni gratifikasi dan pencucian uang. Ia menilai, dua perkara tersebut mudah dibuktikan karena beban pembuktian pada terdakwa.
Selain itu, kemunculan nominee dalam kasus Enembe bukan hal baru dalam dunia korupsi. Kurnia menuturkan, nominee kerap digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi korupsi maupun illicit enrichment dengan mengaburkan keterkaitan langsung pelaku dengan tindakan bersangkutan.
Di Indonesia, kata dia, penerapan nominee bisa saja berbeda seperti nominee dalam kasus korupsi PT Jiwasraya. Di kasus yang melibatkan eks Dirut Jiwasraya Hendrisman Rahim itu, Direktur PT Himalaya Energi Perkasa Piter Rasiman divonis 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 2 bulan kurungan karena terbukti mendirikan perusahaan nominee untuk melancarkan kejahatan.
ICW juga menilai penggunaan sarana perjudian sebagai pencucian uang bukan hal baru. Kurnia menuturkan, sarana perjudian memang rentan menjadi sarana pencucian uang karena perjudian seperti kasino mengelola dana besar dalam frekuensi yang cukup rutin, apalagi tidak ada pemeriksaan dan pengawasan ketat terhadap sirkulasi dana dalam transaksi perjudian.
ICW juga mendesak agar KPK menerapkan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jika ada pihak yang menghalangi proses pengungkapan perkara. Kurnia menyebut upaya pengerahan massa kadangkala dijadikan sebagai alat untuk menghalangi proses hukum yang dilakukan aparat penegak hukum.
“Jika itu dilakukan, maka baik pihak yang memerintah maupun yang diperintah dapat diproses hukum atas sangkaan obstruction of justice. Ancaman pidananya pun cukup tinggi, yakni mencapai 12 tahun penjara," kata Kurnia.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz