tirto.id -
Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 266 kasus korupsi telah disidik oleh aparat penegak hukum.
Rinciannya, Kejaksaan menangani 135 kasus korupsi, sedangkan Kepolisian menangani sebanyak 109 kasus korupsi. Namun hal tersebut tidak sebanding dengan banyaknya 520 kantor kejaksaan di daerah baik tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan jumlah kantor polisi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 535 kantor.
"Jika melihat dari aspek kuantitas penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum, Kepolisian dan Kejaksaan terutama di daerah belum optimal. Artinya, tidak seimbang dengan jumlah kantor kejaksaan dan kepolisian dalam penanganan kasus korupsi yang dilakukan," tutur staf Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah, Rabu (30/08/17).
Dalam peluncuran "Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I 2017" pada 30 Agustus 2017, ICW merilis modul tentang kinerja penyidikan aparat penegak hukum pada semester I 2017, dilihat dari jumlah kantor, kasus, tersangka, nilai kerugian negara, dan jumlah nilai suap.
Jumlah kejaksaan di seluruh Indonesia sebanyak 520 kantor, 135 kasus korupsi yang ditangani, jumlah tersangka 28 orang, nilai kerugian negara sebesar Rp949 miliar, serta nilai suap Rp6,8 miliar.
Untuk Kepolisian, jumlah kantor 535, kasus korupsi yang ditangani 109 kasus, 243 tersangka, dan nilai kerugian negara Rp530 miliar. Sedangkan KPK, 21 kasus korupsi, jumlah tersangka 62 orang, nilai kerugian negara Rp104 miliar, serta nilai suap Rp111,3 miliar. Jadi akumulasi secara keseluruhan berupa, jumlah kasus sebesar 226, jumlah tersangka 587 tersangka, nilai kerugian negara Rp1,8 triliun, dan Rp118,1 miliar nilai suap.
Sedangkan kasus korupsi semester I 2017 berdasarkan modus antara lain, pungutan liar menjadi modus yang paling banyak ditangani, semenjak dibentuknya Tim Saber Pungli, penyalahgunaan anggaran menjadi modus kedua yang banyak ditemukan. Kasus-kasus tersebut dilakukan dengan cara, mark up, penggelapan, laporan fiktif, penyalahgunaan anggaran, suap, pemerasan, penyalahgunaan wewenang, proyek fiktif, pencucian uang, serta pungutan liar.
"Rata-rata kasus korupsi yang ditangani setiap semester I sebanyak 228 kasus. terjadi sedikit penurunan penanganan tindak pidana korupsi jika dilihat berdasarkan tren korupsi semester I mulai dari tahun 2013-2017," lanjut Wana.
Selain itu, ICW merincikan jumlah perkara yang dilakukan penetapan tersangka baru. Dari rincian itu terdapat 19 kasus korupsi dengan lima kasus penetapan tersangka baru, diantaranya, dugaan korupsi proyek e-KTP, dugaan korupsi pengadaan Al-Quran, suap proyek jalan di Kementerian PUPR, dugaan korupsi Sosialisasi Asian Games, dan dugaan pengurusan sengketa Pilkada Empat Lawang.
Selanjutnya menurut Koordinasi Divisi Investigasi, Febri Hendri, penanganan kasus korupsi pun tidak hanya dilihat berdasarkan kuantitas, namun juga melihat penanganan kasus berdasarkan kualitas.
"Sampai sejauh mana penegak hukum dapat menangkap aktor-aktor yang diduga menjadi master mind dalam tindak pidana korupsi tersebut. Penting juga untuk memetakan apa saja sebenarnya modus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum," tutur Febri.
Lebih lanjut, dalam hal pengenaan pasal, aparat penegak hukum baik di tingkat pusat atau daerah masih sangat minim menggunakan pendekatan UU Pencucian Uang untuk menjerat tersangka korupsi. Hal ini yang berakibat pada rendahnya asset recovery dan tidak tercapainya upaya pemiskinan terhadap pelaku korupsi.
Pemerintah juga sepatutnya mendukung upaya pemberantasan korupsi melalui anggaran, kebijakan serta sikap tegas untuk bersama-sama melawan korupsi. Dari segi anggaran, pemerintah seharusnya menaikkan anggaran terutama untuk penegak hukum di daerah agar dapat melakukan proses penanganan kasus korupsi secara komprehensif.
"Penegak hukum pusat punya banyak anggaran. Tapi jumlah anggaran tak sebanding dengan pekerjaan. Sedangkan kendala penegak hukum di daerah adalah anggaran yang minim," tutup Koordinator Divisi Investigasi ICW.
Penulis: Suparjo Ramalan
Editor: Maya Saputri