tirto.id - Presiden Joko Widodo mengumumkan ibu kota baru siang ini (26/8/2019) lewat laman Youtube Sekretariat Presiden. Pulau Kalimantan telah dipilih, dan Kabupaten Penajem Paset Utara dan Kutai Kartanegara jadi lokasinya.
Rencana besar ini perlu dipersiapkan masak-masak. Beberapa pihak, misalnya Sekjen PPP Arsul Sani, mengatakan salah satu yang perlu dipersiapkan adalah dasar hukum pembentukan ibu kota baru.
"Kalau tanpa ada landasan UU, takutnya bisa berubah pikiran presiden berikutnya," kata Arsul di Jakarta, Senin (26/8/2019).
Pengamat perkotaan yang juga dosen di Universitas Trisakti Jakarta Yayat Supriatna mengatakan UU baru diperlukan untuk mencegah timbulnya masalah hukum di kemudian hari.
Pemerintah sudah tahu itu. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menegaskan, "pastinya dirumuskan jadi satu UU."
Di Jakarta, Sabtu lalu, dia menegaskan pembahasan UU akan dilakukan setelah Jokowi menentukan lokasi persis ibukota baru.
Bagaimana Nasib Jakarta?
Saat ini, landasan hukum ibu kota Indonesia adalah UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (PDF).
Sebelumnya landasan hukum ibu kota adalah UU 34/1999. Aturan lama ini diganti karena "sudah tidak sesuai dengan karakteristik permasalahan Provinsi DKI Jakarta, perkembangan keadaan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan."
Jika UU baru ini terbit, otomatis UU 29/2007 tidak lagi berlaku. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi menjelaskan, hal paling mendasar yang bakal dialami Jakarta adalah kehilangan gelar 'DKI'.
"Ini [titel] DKI dicabut. Itu secara perangkat perundangannya," kata Yogi kepada reporter Tirto.
Pada bagian 'Penjelasan' UU 29/2007, Jakarta disebut 'daerah khusus' karena mereka diberikan "kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah."
Salah satunya tugas khusus yang dimaksud adalah "berfungsi sebagai ibukota NKRI yang sekaligus berfungsi sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi," juga "sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional."
Kekhususan lain terkait dengan pemilihan kepala daerah. Jika daerah lain yang dipilih sebagai kepala daerah--gubernur, bupati, maupun walikota--adalah calon yang mendapat suara paling tidak 30 persen dari suara masuk, maka di DKI jumlahya mesti lebih dari 50 persen.
Dalam UU, dijelaskan peraturan ini mesti diterapkan karena Gubernur-Wakil Gubernur terpilih "perlu memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat."
Anies Baswedan, Gubernur DKI sekarang, memperoleh suara hampir 58 persen pada Pilgub 2017.
Kekhususan inilah yang nantinya tak lagi melekat pada Jakarta, tapi ibu kota baru. Meski hak-haknya dilucuti, Yogi menilai Jakarta tidak akan kehilangan magnetnya. Dia akan jadi daerah yang akan selalu didatangi orang-orang dari daerah lain demi mendapat penghidupan yang lebih baik.
Sebab, katanya, "statusnya sebagai pusat bisnis akan tetap dipertahankan."
Hal senada disampaikan Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Memang, pendapatan asli daerah (PAD) Jakarta sangat mungkin turun lantaran pemindahan ibukota juga dibarengi dengan migrasi para pegawai negara ke ibukota baru.
Meski demikian, kata Bhima, jumlahnya tak akan signifikan karena ekonomi Jakarta juga digerakkan oleh swasta.
"APBD DKI masih Rp70-80 triliun lah (APBD DKI 2019 sebesar Rp89 triliun)," tegas Bhima.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino