Menuju konten utama

Hukuman Kebiri Masih Dimasalahkan, Kok Aparat Diberi Penghargaan?

Pemberian penghargaan kepada aparat yang menjatuhkan hukuman kebiri tak bisa dianggap sebagai bentuk keseriusan pemerintah menangani kekerasan seksual.

Hukuman Kebiri Masih Dimasalahkan, Kok Aparat Diberi Penghargaan?
Ilustrasi. FOTO/Istimewa

tirto.id - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyerahkan penghargaan terhadap sejumlah aparat penegak hukum (APN) di Mojokerto, Kamis (29/8/2019) di Rumah Dinas Bupati Mojokerto. Seperti diberitakan Antara, penghargaan diberikan atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto terhadap terpidana kasus pemerkosaan sembilan anak berupa kebiri kimia.

"Pengadilan Negeri Mojokerto adalah pengadilan yang pertama kali mengeluarkan keputusan penjatuhan hukuman tambahan. Saya mengapresiasi itu," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Susana Yembise melalui keterangan tertulis, Selasa (27/8/2019).

Yohana mengakui hukuman itu masih ada penolakan dari sejumlah pihak seperti Komnas HAM dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) terhadap hukuman tersebut. Namun, ia menilai penolakan sudah terlambat karena putusan sudah diambil dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

"Undang-Undang tersebut sudah cukup kuat. IDI harus tunduk pada Undang-Undang tersebut. Kalau diminta kebiri, ya, kebiri. Tidak boleh melawan. Kalau melawan berarti melanggar Undang-Undang," kata Yohana.

Dipertanyakan Banyak Orang

Namun, Direktur YLBHI Asfinawati punya pandangan lain soal pemberian penghargaan ini. Menurutnya, Kementerian PPPA seharusnya sadar penghargaan itu justru tak sejalan fungsi pembinaan bagi pelaku kekerasan seksual seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pemasyarakatan.

Ia juga menganggap pemberian penghargaan tak memberi dampak apa pun terhadap perubahan cara pandang masyarakat soal akar masalah kekerasan seksual.

"Di undang-undang pemasyarakatan bukan menghukum, tapi pembinaan. Kejahatan itu dipengaruhi oleh konstruksi sosial," kata Asfinawati kepada Tirto, Jumat (30/9/2019).

Bagi Asfin, penghargaan ini bukan jaminan bahwa kerja aparat menghukum berat akan berbanding lurus dengan turunnya kasus kekerasan seksual. Sebab, masalah dasar dari kekerasan seksual ada pada pola pikir pelaku.

"Jadi pola pikir dari pelaku harus diubah," ucap dia.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju juga mempertanyakan pemberian penghargaan ini. Menurut dia, penghargaan ini malah memicu polemik karena hukuman kebiri yang menjadi dasar pemberian penghargaan, masih ditentang banyak pihak.

"[Karena] Tak pernah ada data yang menunjukkan hukuman kebiri bisa menurunkan angka kasus kekerasan seksual," ujar Anggara kepada reporter Tirto, Kamis (29/8/2019).

Penerapan hukuman kebiri kimia bagi pelaku perkosaan adalah kasus pertama di Indonesia, sehingga pemerintah tak bisa begitu saja mengklaim bahwa pemberian penghargaan kepada APN sebagai bentuk untuk memerangi kekerasan seksual.

Jika penghargaan itu sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap korban, baik Asfinawati maupun Anggara mempertanyakan aksi nyata pemerintah terhadap korban, sebab dalam surat tuntutan tak disebutkan upaya pemulihan bagi korban perkosaan.

Kondisi ini diperparah dengan sulitnya akses bagi korban untuk melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya. Ini seperti dialami WA, anak perempuan berusia 15 tahun korban perkosaan kakak laki-lakinya, yang dipenjara karena melakukan aborsi.

"Hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual justru berbahaya jika kejadiannya kakak atau ayah memperkosa anaknya. Kalau tahu hukumannya seperti itu, bisa saja keluarga justru memilih bungkam," tutur Asfinawati.

Pada sisi lain, penghargaan terhadap aparat ini juga menunjukkan sudut pandang dan pemahaman pemerintah yang sangat sempit. Sebab, kekerasan seksual hanya dipahami sebatas kasus vagina bertemu dengan penis, dan mengabaikan kasus kekerasan seksual lainnya.

Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi, penghargaan tak lebih dari respon reaktif dari negara tanpa didasari pertimbangan matang.

“Efek jera yang digadang-gadang dan dipercaya aparat penegak hukum (APH), legislator, dan KPPPA, serta sebagian publik sesungguhnya adalah ilusi, sebab tidak ada data yang menunjukkan demikian,” tutur Mamik kepada Tirto, Kamis (29/8/2019).

Mamik menilai, hukuman itu tak bisa dianggap sebagai bentuk keseriusan negara memerangi kekerasan seksual dan menjadi bentuk kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak korban.

“Keseriusan pemerintah untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual salah satunya dapat dibuktikan dengan sesegera mungkin mendorong DPR menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Undang-Undang,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait KEBIRI KIMIA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika