tirto.id - Berbincanglah dengan sopir taksi jika ingin tahu suhu politik terkini. Hal itu dikatakan banyak orang dan saya selalu melakukannya. Beberapa hari lalu, sopir taksi yang saya tumpangi bertanya, "Mengapa semua ulama mendukung Prabowo-Sandi?
Saya menyangsikan pertanyaannya dan balik bertanya. "Masa, sih, semua ulama mendukung Prabowo-Sandi? Kan di kubu Jokowi ada K.H. Ma’ruf Amin yang ulama juga?"
“Karena kan Ma’ruf Amin sudah tua. Kabarnya, di tengah jalan nanti dia akan diganti sama Ahok!” Dia menyebut nama kecil mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama.
Dialog ini terjadi di tempat yang jauh dari Jakarta. Rumor bahwa Ma’ruf Amin akan diganti Ahok kalau Jokowi terpilih kembali hampir selalu muncul ketika saya berbincang dengan anggota masyarakat acak yang saya temui. Artinya, isu itu benar-benar sudah sampai ke pemilih di tingkat basis atau akar rumput.
Kabar ini menyeruak ke publik setelah koran Indopos memuatnya. Dalam berita berjudul “Ahok gantikan Ma’ruf?”, koran ini memberitakan adanya “analisis” berisi skenario naiknya Ahok menggantikan Ma’ruf Amin.
Diberitakan Tempo, ada lima tahap dalam skenarionya: "Tahap 1, Jokowi-Ma’ruf terpilih, kemudian Ma’ruf berhenti dengan alasan kesehatan. Tahap 2, diangkatlah Ahok sebagai Wakil Presiden karena kursi RI-2 kosong. Tahap 3, Setelah Ahok diangkat, Jokowi mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Tahap 4, Ahok menjadi Presiden RI dan diangkatlah Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo sebagai wakil presiden. Tahap 5, Ahok dan Hary Tanoe yang sama-sama berasal dari suku Tionghoa menjadi RI-1 dan RI-2.”
Indopos mengaku memuat isu ini karena sudah beredar luas di media sosial. Mereka juga mengaku sudah meminta tanggapan dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf. Pihak TKN pun membantah kebenaran berita itu. Lewat jubirnya, Ace Hasan Syadzily, TKN mengatakan berita itu palsu alias hoaks. Indopos juga memuat bantahan Eva Kusuma Sundari, politiikus PDI Perjuangan.
Meski demikian, TKN tetap mengadukan Indopos ke Dewan Pers. Dalam keputusannya, Dewan Pers menyatakan Indopos bersalah. Koran ini dituntut meminta maaf kepada pihak TKN Jokowi-Ma’ruf dan memuat bantahan. Pihak Indopos setuju melakukan semua itu.
Apakah persoalannya selesai? Jauh dari itu. Pemberitaan Indopos sesungguhnya memberi nyawa baru pada kabar yang sebelumnya hanya beredar secara terselubung di media sosial.
Indopos dalam beritanya memang telah melakukan verifikasi dan pihak TKN pun sudah membantahnya. Namun, saya setuju dengan pertimbangan Dewan Pers. Jika tidak memiliki derajat kebenaran yang tinggi, betapapun menariknya, ia tidak patut menjadi berita.
Melepas Jin dari Botol
Apa yang dilakukan oleh Indopos tak ubahnya seperti melepas jin dari botol. Sekali ia lepas, sangat sulit memasukkannya kembali. Konsekuensinya sangat serius. Derajat kerusakannya juga sangat tinggi. Pengalaman yang saya tulis di atas menunjukkan hal ini.
Bantahan yang diberikan oleh TKN tidak akan mampu menjangkau kekuatan sebaran rumor yang sudah diberitakan. Berita Indopos itu juga menjadi legitimasi bagi mereka yang mempercayainya. Bagi mereka, kabar itu layak dipercaya karena dimuat oleh media yang sudah terakreditasi oleh Dewan Pers.
Kabar ini kemudian berbiak. Semakin luas jangkauannya, informasi yang terkandung dalam kabar itu semakin terdistorsi. Orang bebas menambah dan menguranginya. Orang juga bisa menyesuaikan konten hoaks itu dengan target audiens yang ingin mereka capai.
Kekuatan rumor, desas-desus, sindiran atau tuduhan-tuduhan tidak langsung (insinuasi atau innuendo) ada pada kemampuannya melipatgandakan diri. Hoaks juga punya kekuatan lain: memberi konfirmasi atas hal-hal yang sudah dipercaya sebelumnya. Pada kasus di atas, pemilihan Ahok sebagai subjek rumor bukanlah tanpa tujuan. Ahok adalah figur yang mampu menyatukan mereka yang percaya bahwa Ahok adalah penista agama (Islam).
Kabar ini membangkitkan kembali pembilahan politik yang pernah terjadi pada pemilihan gubernur DKI pada 2017. Kubu Jokowi yang sudah berhasil memecah kekuatan anti-Ahok dengan mengangkat Ma’ruf Amin menjadi wakilnya sekarang harus kembali ke titik awal. Perancang isu ini dengan jenial memanfaatkan Ahok untuk mementahkah langkah pencalonan Ma’ruf Amin.
Pada akhirnya, rumor ini berhasil mendefinisikan Ma’ruf Amin sebagai alat Jokowi agar bisa terpilih kembali. Dari sanalah awal konspirasi Ahok (dan Harry Tanoe) dimulai. Konspirasi ini berujung skenario keduanya menjadi RI1 dan RI2. Muara dari rumor ini adalah kekuasaan keturunan Cina di Indonesia, isu yang sangat kuat untuk memobilisasi pemilih Muslim yang menyungkurkan Ahok pada 2017.
Untuk mereka yang sudah terlanjur memiliki pandangan anti-Ahok, isu ini mengkonfirmasi apa mereka percaya tentang konspirasi kekuatan yang menjajah Indonesia. Betapapun tidak masuk di akalnya teori ini, ia akan tetap diterima sebagai kebenaran. Orang tidak perlu berpikir kritis. Mereka hanya perlu hal-hal yang mengamini apa yang sudah menjadi keyakinannya.
Hoaks sebagai Kampanye Hitam Pemilu
Seminggu lalu, kelompok relawan bernama Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo Sandi atau disingkat Pepes menjadi berita. Tiga orang relawan Pepes di Karawang membuat rekaman video yang menggambarkan kegiatan kampanye mereka dari pintu ke pintu atau canvassing.
Dalam rekaman yang beredar, terlihat mereka berkampanye, “Jika Jokowi-Ma'ruf yang menang Pilpres 2019, tidak akan ada lagi suara azan, tidak akan ada lagi yang pakai kerudung. Perempuan dan perempuan bisa menikah; laki-laki dan laki-laki bisa menikah.”
Apa yang dilakukan oleh Pepes adalah kampanye hitam. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi mengakui orang-orang di video itu adalah relawan Pepes dan Pepes adalah organ relawan BPN yang terakreditasi. Namun, mereka membantah pesan itu beredar atas arahan atau validasi BPN.
Pesan yang disampaikan tiga relawan Pepes adalah hoaks yang disampaikan lewat saluran kampanye. Isinya menyesatkan dan jelas-jelas informasi yang disampaikan menyerang kubu lawannya.
Tidak semua hoaks disalurkan lewat kampanye. Yang lebih banyak dan lebih kuat adalah hoaks yang beredar secara bebas lewat jejaring media sosial dan aplikasi percakapan. Contohnya adalah informasi sesat yang disebarkan lewat grup WhatsApp keluarga dengan pengantar pendek, “dari grup sebelah.”
Si pembagi seolah-olah hanya membagi pesan tak jelas dan tidak bertanggungjawab atas isinya. Namun, secara sadar atau tidak, ia memberi kehidupan bagi informasi sesat itu. Penerimanya mungkin akan membagikan ulang informasi itu ke pemirsa yang lebih luas.
Biasanya, butuh waktu cukup lama untuk membangun sebuah informasi sesat menjadi sebuah sebuah narasi yang solid. Narasi birtherism, yang mengatakan bahwa Barack Obama bukanlah warga negara Amerika Serikat, misalnya, dibangun dalam waktu cukup lama. Menurut teori konspirasi itu, Obama lahir di Indonesia atau Kenya—suka-suka orang yang mempercayainya—dan karenanya ia tidak sah menjadi presiden Amerika Serikat.
Para penganut teori ini tiba-tiba menjadi konstitusionalis karena dalam konstitusi Amerika tertulis bahwa seorang presiden Amerika harus warga negara yang lahir di tanah Amerika Serikat. Birtherism adalah usaha untuk mendelegitimasi kepresidenan Obama.
Di Indonesia, ini pun terjadi. Hoaks lebih banyak menimpa Presiden Jokowi. Sebagian hoaks itu sudah mulai menyebar sejak kampanye Pilpres 2014 dan beberapa tetap hidup dan berkobar hingga sekarang. Contohnya adalah hoaks soal Jokowi keturunan PKI, beragama Kristen, dan keturunan Cina.
Memainkan Ketakutan
Mengapa hoaks atau informasi sesat lebih banyak mengena pada seorang politikus dan tidak menimpa politikus lainnya? Mengapa hoaks lebiih banyak mengenai Obama, bukan Donald Trump? Untuk kasus Indonesia, mengapa Jokowi yang jadi bulan-bulanan dan bukan lawannya?
Salah satu kunci untuk memahami hoaks dan bagaimana ia bekerja adalah dengan memahami ketakutan. Hoaks memainkan perasaan ketakutan, perasaan terancam, atau perasaan akan menghadapi kemusnahan penerimanya.
Para penyebar teori birtherism memainkan perasaan bahwa Amerika secara diam-diam diperintah oleh orang asing, yang akan mengubah Amerika menjadi sesuatu yang asing. Perasaan khawatir yang amat eksistensial inilah yang menghinggapi penerima hoaks.
Tidak terlalu mengherankan bahwa hoaks sesungguhnya lebih mudah menghinggapi orang-orang yang memiliki keyakinan kuat: mereka yang fanatik ajaran atau ideologi. Mereka inilah yang sangat yakin bahwa dunia yang mereka hidupi saat ini sedang terancam dan akan musnah.
Hal itu pula yang menyebabkan kaum seperti ini sanggup melakukan apa saja. Mereka menganggap apa yang mereka lawan adalah setan yang harus dimusnahkan. Ketika berbohong, dengan memproduksi dan mereproduksi hoaks, dianggap sebagai cara untuk survive, itu pun akan dijalani.
Politikus seperti Obama atau Jokowi gampang terkena hoaks karena mereka membangun citra sebagai politisi yang berada di atas semua golongan dan ingin diterima semua orang. Mereka memilik konstituen yang lebih luas dan lebih beragam. Mereka tidak bisa tunduk dan hanya melayani satu golongan. Politikus semacam ini sesungguhnya menakutkan untuk para die-hard suatu ideologi.
Di Amerika Serikat, penentangan terhadap Obama lahir dari kaum nasionalis, kulit putih, usia tua, hidup di pedesaan, dan penganut Kristen. Betapapun Obama menunjukkan dia adalah seorang Kristen taat, penentang utamanya justru kaum Kristen Evangelis yang fanatik. Obama tidak pernah populer di segmen pemilih yang percaya bahwa dia adalah seorang Muslim yang menyamar.
Kaum fanatik ini juga tidak segan untuk melakukan ‘tawar-menawar dengan setan’ karena perasaan terancam mereka. Ini pula yang menjelaskan mengapa dukungan kaum Kristen fundamentalis di Amerika sangat kokoh untuk Trump. Banyak sisi kehidupan pribadi Trump bertentangan dengan nilai-nilai yang ada pada Kristen Evangelis—kawin-cerai, melecehkan perempuan, dan banyak hal lain. Namun, toh mereka setia mendukung Trump dan berusaha memberi justifikasi bagi semua kelakuan buruknya.
Trump pun tahu persis bagaimana memainkan perasaan itu. Dia memberikan apa yang diinginkan oleh kaum konservatif Kristen Evangelis ini. Bahkan, kadang dia memberikan lebih. Hal seperti itu tidak mampu dilakukan oleh Obama yang memiliki konstituen lebih beragam.
Hoaks dan kampanye hitam akan tetap diproduksi dan direproduksi. Ini adalah cara murah dan efektif bagi politikus yang ingin meraih kursi kekuasaan. Cara ini mungkin jitu dalam membuat seorang politikus meraih kekuasaan, tetapi ia tidak akan membuat politikus tersebut efektif memerintah. Tidak percaya? Lihat saja Trump di Amerika Serikat sekarang ini.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.