Menuju konten utama

Hikayat Si Raja Gusur

Belum dua tahun Ahok menjabat sebagai gubernur, sudah lebih dari 8.000 KK tergusur. Bagaimana dengan para pendahulu Ahok?
Dengan rentang waktu yang hanya belasan bulan dari masa pelantikan jabatan Ahok mampu melakukan penggusuran dan pembangunan infrastruktur yang signifikan dan dengan cara yang berbeda pula dengan kepemimpinan Fauzi Bowo dan Sutiyoso.

Seorang warga mengangkut barang sisa penggusuran di Pinangsia, Jakarta Barat. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Belum dua tahun Ahok menjabat sebagai gubernur, sudah lebih dari 8.000 KK tergusur. Bagaimana dengan para pendahulu Ahok?

Ketika Joko Widodo mencalonkan diri untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia membuat kontrak politik yang intinya akan mengedepankan dialog dalam penataan lahan Jakarta. Kontrak itu dibuat di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Sabtu, 15 September 2012.

Jokowi menjamin tiga hal, yakni pelibatan warga terkait kebijakan publik, pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota, serta keterbukaan informasi kepada warga. Cerita selanjutnya: Jokowi menjadi gubernur pada Oktober 2012 lalu menjadi presiden Indonesia dua tahun kemudian. Konsekuensinya, wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur.

Kekuasaan direngkuh, kontrak pun terlupakan. Pada 2013, warga Muara Baru digusur dengan melibatkan preman dan aparat. Alasannya: normalisasi Waduk Pluit.

Setelah Ahok menduduki kursi gubernur, penggusuran semakin banyak terjadi. Dalam penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) disebutkan, sepanjang 2015 hingga awal 2016 terjadi 113 kasus penggusuran paksa dengan pihak terdampak sebanyak 8.145 KK dan 6.283 unit usaha.

Bagaimana dengan Gubernur Fauzi Bowo? Gubernur yang kerap dipanggil Foke itu menggusur 3.200 kepala keluarga pada 2007-2012. Angka penggusuran yang dilakukan Foke selama lima tahun jauh dilampaui Basuki hanya dalam rentang belasan bulan.

Penggusuran, atau penertiban dalam bahasa pemerintah provinsi DKI Jakarta, secara hukum memang legal. Alldo Fellix Januardy, pengacara publik LBH Jakarta menyebut selama ini pemerintah DKI Jakarta menggunakan beberapa aturan sebagai dasar penggusuran. Misalnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

Beleid itu membolehkan pemerintah "menyerobot" wewenang lembaga peradilan untuk memutuskan apakah suatu tanah itu milik negara atau bukan tanpa perlu membuktikannya terlebih dahulu. Selain itu, Pemerintah DKI juga memiliki Perda Ketertiban Umum yang menjadi dasar penertiban orang-orang yang menolak digusur.

Meski secara umum dianggap legal, penertiban kerap mengandung pelanggaran hak asasi manusia. Meski demikian, pelanggaran HAM tak hanya terjadi pada kepemimpinan Gubernur Ahok saja. Pada 2006, misalnya, Human Rights Watch (HRW) menurunkan laporan berjudul “Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta”.

Menurut laporan itu, Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Sutiyoso pun kerap menggusur tanpa mengindahkan hak asasi manusia.

Alasan Penggusuran

Penggusuran kerap dilakukan dengan alasan demi kepentingan publik. Alasan-alasan itu terdiri dari pembangunan waduk, normalisasi wilayah perairan, pembangunan taman kota, pembangunan proyek TNI. Selain itu, ada juga penggusuran yang terjadi karena pembangunan proyek PT Kereta Api Indonesia, proyek tol, pelebaran jalan atau jalur hijau, dan pembangunan proyek Mass Rapid Transportation (MRT).

Tapi, secara resmi, hal yang kerap menjadi alasan penggusuran adalah penertiban yang didasari Perda Ketertiban Umum. Penelitian LBH menunjukkan, sebanyak 43 dari 113 penggusuran didasari oleh alasan itu.

Dalam hal metode, Ahok memiliki cara berbeda dari para pendahulunya. Laporan dari HRW tahun 2006 menunjukkan, penggusuran pada masa pemerintahan Sutiyoso dan Fauzi Bowo umumnya menggunakan elemen sipil seperti preman.

Cara itu lain dengan Gubernur Ahok yang lebih suka menggunakan aparat negara seperti Satpol PP, Polisi, dan TNI. Siaran penelitian LBH menyatakan bahwa 65 kasus penggusuran tanah yang ada di Jakarta menggunakan aparat TNI sebagai pelaksana. Ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran, sebab TNI tak seharusnya berhadapan dengan masyarakat sipil tak bersenjata.

Dari total 113 kasus penggusuran DKI Jakarta sepanjang tahun 2015, sebanyak 18 kasus diputuskan melalui musyawarah, sedangkan 95 kasus lainnya dilakukan secara sepihak.

Namun, Ahok bukannya tanpa solusi ketika melakukan penggusuran. Pada beberapa kasus Pemprov menawarkan solusi relokasi bagi mereka yang terdampak kebijakan penertiban. Seperti warga Kali Ciliwung, Kelurahan Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. Sebanyak 30 keluarga terdampak langsung diberikan solusi agar segera menempati Rusunawa Marunda di Jakarta Utara. Ini dilakukan dengan mediasi dan musyawarah agar 30 KK warga Kelurahan Pinangsia yang terkena dampak normalisasi Kali Ciliwung pindah ke daerah yang disediakan. Ini jelas berbeda dengan solusi dari para pendahulunya.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/06/01/Penggusurandijakarta.jpg" width="860" /

Berdasarkan standar konvensi internasional CESCR Nomor 7 tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa, penggusuran yang memenuhi standar HAM adalah adanya musyawarah antara pihak penggusur dan warga terdampak. Musyawarah yang tulus tentunya wajib disertai pemberian informasi yang cukup bagi warga terdampak mengenai pengalihgunaan lahan yang sedang mereka huni.

Ahok yang dilantik pada 19 November 2014, efektif bekerja sebagai gubernur mulai tahun anggaran 2015. Penggusuran pertama yang dilakukan Ahok adalah penggusuran warga di sekitaran Waduk Pluit. Alasannya adalah untuk menormalisasi waduk tersebut.

Korban penggusuran terdiri dari 400 KK yang sudah tinggal di sana selama lebih dari 50 tahun. Penggusuran diprotes, tapi Ahok bersikukuh. Proses penggusuran di berbagai daerah di Jakarta tetap dilaksanakan.

HRW menuduh pemerintah DKI menggunakan kekuatan yang berlebihan untuk mengosongkan wilayah kumuh perkotaan secara paksa. Laporan yang disusun berdasarkan ratusan wawancara warga sejak 2003 menunjukan pola represi pemerintah DKI dalam penggusuran lahan.

Sebagian warga mengatakan bahwa mereka hanya mendapat sedikit sekali peringatan sebelum rumah dihancurkan. Akibatnya, mereka tidak punya cukup waktu untuk mengumpulkan harta benda. Sebagian yang lain menggambarkan bagaimana pasukan keamanan menembaki masyarakat dan membakar bangunan selagi penghuninya masih berada di dalam bangunan tersebut.

Pemerintah Jakarta mengklaim pihaknya sedang berupaya menegakkan ketertiban umum. Memindahkan penghuni yang tidak sah dari lahan milik pribadi maupun tanah negara, atau mengosongkan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur.

Akan tetapi, pada kenyataannya pemerintah menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam melaksanakan penggusuran tersebut. Publik juga kerap kali salah sangka dengan solusi yang ditawarkan, yakni relokasi ke rumah susun (rusun).

Setelah relokasi, warga tidak punya hak milik atas rusun, melainkan hak pakai dan mesti membayar biaya bulanan. Ini merupakan alternatif yang tak sepadan, mengingat sebelum digusur mereka memiliki rumah permanen tanpa harus membayar sewa. Dari 113 penggusuran yang dilakukan, 72 kasus kasus di antaranya tidak memberi solusi apapun bagi warga terdampak.

Berdasarkan riset LBH, penggusuran paksa terbanyak terjadi di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur dengan masing-masing sebanyak 31 kasus, menyusul Jakarta Pusat dengan 23 kasus. Angka penggusuran Jakarta Barat dan Jakarta Selatan ada di bawahnya, masing-masing sebanyak 14 kasus.

Salah satu penggusuran yang diingat publik adalah penggusuran Kampung Pulo. Warga di lokasi ini disebut penghuni liar di atas tanah negara. Melalui riset yang dilakukan oleh Ciliwung Merdeka, sebuah lembaga otonom yang mendampingi warga Kampung Pulo, ditemukan bahwa rata-rata penduduk di Kampung Pulo sudah tinggal di wilayah itu sebelum 1930 atau sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Merujuk pada peraturan pemerintah Pasal 1963 juncto 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan, warga yang mendiami lahan dengan itikad baik selama 30 tahun berhak mendaftarkan kepemilikan lahan kepada negara. Menurut Ciliwung Merdeka, tanah di Kampung ini adalah tanah adat yang dimiliki warga, bahkan sebelum 1930. Dasar kepemilikannya adalah verponding.

Namun, seperti pada kasus-kasus penggusuran lain, pemprov bersikeras dan memindahkan warga ke rumah susun yang telah disediakan. Tentu tanpa mengganti kerugian warga yang kehilangan tanah dan huniannya.

Jika dilihat gambaran secara umum, konflik tanah di Jakarta merupakan bagian gambar besar konflik lahan yang terjadi se-Indonesia. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan, di seluruh Indonesia sepanjang 2015 terjadi 252 kasus konflik agraria.

Kasus-kasus itu mempersoalkan tanah seluas 400.430 hektar dan melibatkan 108.714 keluarga. Korban yang tewas karena konflik ada lima, sedangkan korban luka karena tertembak aparat sebanyak 39 orang. Ada pula korban luka karena sebab lain yakni 124 orang, sedangkan yang ditahan/dikriminalisasi ada 278 orang.

Baca juga artikel terkait JAKARTA atau tulisan lainnya

tirto.id - Hukum
Reporter: Arman Dhani