Menuju konten utama
Miroso

Hikayat Daun Patat yang Membuat Doclang jadi Sempurna

Daun patat membuat lontong lebih lembut, moist, tapi tetap montok padat berisi.

Hikayat Daun Patat yang Membuat Doclang jadi Sempurna
Header Miroso Daun Patat dan kesempurnaan doclang. tirto.id/Tino

tirto.id - Suatu pagi di hari Minggu yang dinobatkan sebagai hari malas masak nasional, saya dan istri memutuskan memanggil tukang doclang yang kebetulan lewat di depan rumah. Doclang adalah makanan otentik Bogor berupa irisan lontong, tahu kuning goreng, kentang rebus, dan kerupuk yang diguyur bumbu kacang kental dan kecap manis. Beberapa penjual melengkapinya dengan irisan telur rebus untuk versi mewahnya. Sederhana, tapi justru disitu jebakannya.

The devil is in the details. Lontong yang dipakai si mamang tak berbungkus daun patat (Phrynium capitatum) dan malah dikemas dengan plastik. Gara-gara plastik setitik, rusak doclang sebelanga. Untuk alasan kepatutan kami tetap membayar doclang dan memakannya, meski dengan rasa masygul dan menimbulkan syak wasangka: apakah si mamang hari itu sedang kehabisan daun patat untuk bungkus lontong atau dia memang cukup punya nyali menista salah satu dasar penting dalam konstitusi berdirinya doclang.

Persoalan detail ini memang mengesalkan dan seringkali membuat perdebatan tidak perlu yang mengganggu stabilitas dalam negeri. Seperti mendadak membatalkan rencana makan di suatu warung bakmi Jawa dekat rumah hanya karena dimasak dengan kompor gas alih-alih anglo. Tapi justru detail-detail ini punya signifikansi penting. Termasuk perkara daun patat.

Merujuk data Global Biodiversity Information Facility, daun patat tersebar mulai dari Indonesia, Semenanjung Malaya, Indochina, hingga wilayah selatan Tiongkok. Sementara dalam penelitian Tynsong dan Tiwari yang dipublikasikan Indian Journal of Natural Products and Resources (2011) daun patat juga ditemukan di India dan Sri Lanka. Penelitian itu juga menyebut tumbuhan famili Marantaceae itu dikenal dengan sebutan Patta dalam bahasa Hindi. Mungkinkah sebutan itu berasal dari sana?

Di Indonesia, daun patat dapat ditemui di Sumatera, Jawa, sampai Kalimantan. Penggunaan daun patat, merujuk pada penelitian Achmad Badar (2006) dari Institut Pertanian Bogor, kerap dipakai sebagai kemasan makanan seperti toge goreng, daging segar, juga lontong karena diketahui memiliki lapisan air yang berguna sebagai penahan air. Fungsi daun patat juga lebih dilihat dari aspek estetikanya.

Temuan ini serupa dengan penggunaan daun patat di wilayah Guangdong, Guangxi, serta Yunan di Tiongkok yang menggunakan daun patat untuk bungkus zongzi, atau dikenal juga dengan sebutan bakcang, menyebut makanan tradisional Tiongkok berbahan baku beras ketan yang dibungkus dengan daun.

Selain sebagai pembungkus, daun patat juga diyakini memberikan perbedaan signifikan. Lontong berbungkus daun patat lebih lembut, moist, namun tetap montok padat berisi. Pun kelirnya juga lebih cantik dengan gurat tipis kehijauan, tidak monoton putih pucat yang membosankan.

Untuk simple food yang tidak terlalu memperdulikan faktor presentasi seperti doclang ini, lapisan-lapisan detil ini berperan krusial. Seperti nasi jamblang akan menjadi nasi rames biasa jika pembungkus nasinya tidak menggunakan daun jati yang diyakini memberikan rasa dan aroma khas buat hidangan kebanggaan warga Cirebon itu. Atau nasi pindang Kudus dan nasi gandul Pati yang akan jadi kembar siam jika saja tidak ada bubuhan daun melinjo.

Beruntung pedagang-pedagang doclang yang mangkal di sekitaran Jalan Veteran yang bersisian dengan Jembatan Merah Bogor masih tetap teguh menggunakan daun patat untuk bungkus lontong. Beberapa pedagang mengeluh mulai sulit mendapatkan daun patat segar yang biasanya dipasok dari wilayah sekitaran kaki gunung Salak, seperti kampung Karacak di kecamatan Leuwiliang yang terletak di sisi barat Bogor.

Toh, meski demikian, berbungkus-bungkus lontong daun patat yang ukurannya bisa satu lengan orang dewasa itu masih terlihat di gerobak mereka. Ada sekitar lima pedagang doclang yang berjualan di salah satu sentra kuliner kaki lima Bogor itu. Mereka berjualan hampir 24 jam dengan waktu buka yang berganti-gantian.

Ada yang mulai dari pagi untuk sarapan para pekerja sampai mereka yang selesai berolahraga ringan. Ada pula yang buka agak tengah hari untuk makan siang, terutama bagi para karyawan toko yang banyak berada di wilayah situ. Beberapa buka hingga dini hari untuk menemani pekerja yang kelaparan setelah berjibaku dengan ruwetnya kehidupan kantor dan berdesakan di kereta listrik, juga mereka yang baru pulang dari rutinitas tebar pesona. Tinggal pilih yang pas di lidah dan di kantong. Rata-rata sepiring doclang dijual dengan harga Rp10 sampai Rp12 ribu jika tidak pakai telur, atau Rp15 ribu jika dengan telur.

Infografik Miroso Daun Patat dan kesempurnaan doclang

Infografik Miroso Daun Patat dan kesempurnaan doclang. tirto.id/Tino

Tapi doclang yang jadi kesukaan saya bukan di dekat jembatan yang sudah ada sejak medio tahun 1800-an. Melainkan satu kilometer lagi ke arah barat, tepatnya di lantai dua Pasar Gunung Batu. Di sebuah kios sempit tempat sebuah warung doclang tanpa nama yang kerap disesaki para pembeli. Warung ini buka pagi, sekitar jam enam dan tiga jam kemudian dagangan mereka biasanya sudah tandas.

Bagaimana tidak, pembelinya bertingkah seperti hari ini adalah hari terakhir mereka dibolehkan makan doclang. Penjualnya, yang saya tahu bernama Pak Pepen, untungnya cekatan sekali menyiapkan pesanan para pembeli. Melihat kelincahan tangan bapak yang saya taksir berusia sekitar 50 tahun ini adalah atraksi tersendiri.

Warung ini punya semua syarat keotentikan doclang. Selain lontong berbungkus daun patat yang padat tapi lembut dan lembab, beliau juga memakai kecap Cap Zebra kecap lokal asli Kota Hujan. Lainnya serupa dengan doclang-doclang lainnya: ada irisan tahu kuning goreng, kentang rebus, kerupuk, juga ada tambahan telur rebus untuk yang ingin lebih lux.

Bumbu kacangnya menurut saya terpujikan. Bumbunya kental, halus, dan resik. Kacang tanah yang jadi bahan dasar disangrai tidak kelewat gosong, yang kerap kali menyisakan rasa pahit yang tidak nyaman di lidah dan tenggorokan.

Sebelum pandemi yang mengubah kebiasaan banyak hal, hampir seminggu sekali di akhir pekan saya menyambangi warung doclang ini sekalian mengantar istri buat berbelanja kebutuhan dapur. Jika warung tidak terlampau ramai kami biasa makan di tempat, tapi lebih sering memesan untuk untuk dibawa pulang sambil membeli beberapa jajanan pasar seperti kue ape atau pukis untuk anak di rumah.

Setelah semua daftar belanja sudah terpenuhi dan sarapan sudah dibeli, saatnya untuk pulang sembari membayangkan makan doclang, ditutup dengan mengudap kue ape, dan menyesap satu cangkir kopi Liong Bulan kental. Motor bebek tua melaju perlahan membelah pinggiran Bogor yang makin hari makin padat. Sangat pas ditemani "Sunday Morning" dari Maroon 5.

Driving slow on Sunday morning, well I never want to leave...

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Fakhri Zakaria

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Fakhri Zakaria
Editor: Nuran Wibisono