tirto.id - Pada 1940, sutradara Inggris Thorold Dickinson merilis film ketiganya. Drama yang dibintangi Anton Walbrook dan Diana Wynyard itu mengisahkan tentang seorang psikopat bernama Paul Mallen yang membuat istrinya gila.
Dalam sebuah adegan, Paul menuduh istrinya, Bella Mallen, menyembunyikan gambar yang sebelumnya berada di ruang piano rumah mereka. Padahal bukan Bella yang menyimpan gambar tersebut di balik lemari.
Tak hanya kali itu saja Paul menyalahkan Bella. Ketika mereka sedang menonton pertunjukan piano, Paul kembali menyalahkan Bella atas hilangnya jam di balik jas yang ia kenakan. Bella bersikeras mengatakan tak tahu-menahu di mana jam milik Paul.
Paul pun membuka kantong yang dibawa Bella dan menemukan jam miliknya. Tentu saja Paul menyalahkan Bella.
Perdebatan Paul-Bella tentu saja menyita perhatian, termasuk buat seorang pianis yang geram dengan adu mulut mereka lantaran telah mengganggu suasana pertunjukan. Paul kemudian mengajak Bella keluar dari ruangan dan meminta maaf kepada seluruh pengunjung atas kelakuan istrinya.
Sebelum pertunjukan dimulai, Paul memang berniat membodohi Bella. Saat Bella sedang memperbaiki dandanannya, Paul 'berbaik hati' membawakan kantong milik sang istri. Saat itulah ia melepas jam dan memasukkannya ke dalam kantong.
Film yang diadaptasi dari naskah yang ditulis Patrick Hamilton itu berjudul tersebut diberi judul Gaslight. Dari sanalah lahir istilah yang kini populer: "Gaslighting".
Manusia dengan watak seperti Paul bisa jadi pernah kamu temui di dunia nyata. Mungkin juga, tanpa disadari, kamu kerap berperilaku seperti Paul.
Efeknya tak main-main, sebab secara bertahap sifat ini bisa membuat korban tak percaya diri membedakan kebenaran dan kebohongan. Korban akhirnya memiliki ketergantungan terhadap pelaku, baik dalam hal pemikiran maupun perasaan.
Dalam buku Identifying and Understanding The Narcissistic Personality (2005), Elsa F. Ronningstam mengatakan bahwa pelaku gaslighting punya kepribadian narsisistik dan arogan karena mampu menjatuhkan harga diri korban dan membuat mereka menganggap pelaku sebagai satu-satunya penyemangat dalam hidup.
Dalam sebuah artikel di Psychology Today, terapis pernikahan dan keluarga Karyl McBride mengungkap alasan seorang narsisis menjadi gaslighter. Pemicunya sederhana: sikap tak mau disalahkan.
McBride juga menemukan perilaku gaslighting yang dilakukan untuk menyembunyikan perselingkuhan dari pasangan. Pelaku akan menganggap bahwa korban tengah berhalusinasi.
Bagaimana Gaslighter Melancarkan Aksinya?
Pakar komunikasi Preston Ni mengungkapkan seorang gaslighter mampu mengontrol pikiran dan merusak psikologi korban.
Perilaku ini bisa muncul baik dalam hubungan asmara maupun hubungan profesional melalui intimidasi. Tentu saja untuk memuluskan perilakunya, gaslighter harus melalui tahapan-tahapan yang diawali dengan berbohong.
Kebohongan ini pun makin sering diulang dan mengalami peningkatan saat pelaku gaslighting ditantang. Ketika kebohongan itu menimbulkan korban, gaslighter artinya telah berhasil membentuk hubungan saling ketergantungan.
Gaslighter juga akan memberikan harapan palsu bagi korban. Akhirnya, pelaku bisa mendominasi dan mengontrol hubungan tersebut.
Tentu saja si pelaku akan melakukan penyangkalan, penyesatan, dan kebohongan terus menerus untuk mengguncang kondisi psikologis korban. Petric mengatakan bahwa taktik gaslighting biasa digunakan oleh sosiopat dan narsisis.
Kebohongan yang dilakukan oleh gaslighter pun bukan yang tergolong receh, melainkan kebohongan yang dilakukan dengan cara cerdas, sebab sang pelaku selalu memiliki cara untuk berkelit.
Pelaku gaslighting bisa merusak karier korban. Parahnya, gaslighter akan membuat korban tidak dipercaya oleh lingkungan sosialnya. Pelaku akan merancang kebohongan sehingga dirinyalah yang seakan-akan jadi korban.
Namun, di balik itu, gaslighter akan “bersahabat” dengan korban. Dia akan berpura-pura menjadi orang yang seakan-akan berpihak ke korban supaya bisa mencari kelemahan-kelemahannya.
Ciri-Ciri Gaslighter
Kepandaian gaslighter merusak mental korban tentu membuat kita khawatir. Situs Psychology Today membeberkan beberapa tanda yang bisa menunjukkan apakah kita sedang berhubungan dengan seorang gaslighter.
Yang paling jelas adalah ketika kamu terus-menerus diingatkan akan kesalahan dan kelemahanmu. Gaslighter akan selalu membuatmu merasa serba salah tanpa memberi solusi.
Berhubungan dengan seorang gaslighter akan membuatmu cemas dan serba bimbang. Kamu bahkan bisa saja sampai menganggap diri sendiri tak berguna.
Seorang gaslighter jarang mengakui kelemahannya. Mereka bahkan akan menyerang balik jika disalahkan dan memposisikan diri sebagai korban untuk menutupi kekurangannya. Akibatnya, tak jarang si korban jadi mencela dirinya sendiri.
Ketika menjadi korban gaslighter, kamu akan merasa bergantung pada pelaku secara emosional. Kamu pun akan memaafkan segala perilaku gaslighter, bahkan menyembunyikannya orang lain.
Lalu, bagaimana selanjutnya?
Dalam buku The Gaslight Effect: How to Spot and Survive the Hidden Manipulations Other People Use to Control Your Life (2007), Dr. Robin Stern menyarankan agar kamu meluangkan waktu untuk memikirkan kelanjutan hubunganmu dengan si gaslighter.
Tentu, rasanya berat, akan tetapi sebagaimana disarankan oleh Stern, sebaiknya tinggalkan saja si gaslighter.
Jangan khawatir bagaimana hari-harimu kelak akan berlangsung. Penting diingat, masih ada keluarga dan teman yang peduli.
Dan jika akhirnya memutus hubungan, singkirkan rasa malu, dendam, amarah, dan kesedihan.
Ayo, fokus jalani hidup dengan bahagia!
* Artikel ini pernah tayang ditirto.idpada 23 Februari 2019.Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Windu Jusuf