Menuju konten utama

Helicopter Parenting & Pengaruhnya pada Kesehatan Mental Anak

Helicopter parenting adalah sebutan populer untuk orangtua yang memperhatikan berbagai aspek kehidupan anak secara berlebihan.

Helicopter Parenting & Pengaruhnya pada Kesehatan Mental Anak
Ilustrasi helicopter parenting. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Helicopter parenting merupakan sebutan populer untuk orangtua yang berlebihan dalam memperhatikan berbagai aspek kehidupan anak.

Kata “Helicopter” menurut laman Parentologydiartikan sebagai orangtua yang selalu “terbang di atas kepala anak” dan mengawasi setiap tindakan anak.

Istilah ini mulai digunakan pada tahun 2000 ketika berbagai perguruan tinggi di Amerika mendapatkan banyak keluhan dari orangtua mahasiswanya.

Para orang tua kala itu mengeluhkan nilai anak-anaknya kepada profesor di perguruan tinggi.

Helicopter parenting bertindak sebagai asisten pribadi pada anak-anak, seperti menyiapkan seluruh peralatan sekolah, mengerjakan tugas prakarya, hingga mengantarkan peralatan sekolah yang tertinggal.

Pada jangka panjang, anak-anak yang diasuh helicopter parenting memiliki lebih sedikit keunggulan kompetitif ketika tumbuh dewasa.

Amy Morin, seorang pakar psikologi sekaligus penulis Wall Street Journal mengatakan, anak-anak yang memiliki helicopter parenting akan menghadapi berbagai masalah ketika dewasa.

Dalam artikelnya yang dipublikasikan oleh Morin dalam Psychology Today, menyebutkan, setidaknya ada lima masalah yang akan dialami oleh anak-anak yang diasuh dengan helicopter parenting.

1. Bermasalah dengan kesehatan

Studi yang dilakukan oleh Florida State University mengungkapkan, anak-anak yang diasuh oleh helicopter parenting cenderung memiliki masalah kesehatan ketika dewasa.

Hal ini karena selama hidupnya, orangtualah yang mengatur kapan anak-anak harus tidur, berolahraga, bahkan makanan apa yang harus mereka makan.

Studi ini bahkan menunjukkan bahwa dengan tidak adanya pengingat yang konstan dari orangtua, anak-anak helikopter tidak peduli dengan tubuh mereka.

2. Merasa berhak atas semua kemudahan

Pada pengasuhan, helicopter parenting cenderung berpikir bahwa anak-anaknya adalah pusat alam semesta.

Helicopter parenting akan selalu memberikan berbagai kemudahan untuk anak-anak. Kemudahan-kemudahan ini akhirnya tertanam pada diri anak sebagai sesuatu yang memang pantas ia terima.

Gagasan ini tidak mudah hilang, justru terbawa hingga anak helikopter berusia 18 tahun. Hal inilah mengapa anak-anak helikopter selalu menganggap bahwa ia pantas menuntut berbagai kemudahan dari orang lain.

3. Kesulitan mengatur emosi

Helicopter parenting cenderung menjadi penjaga anaknya dari apapun, termasuk emosi. Jika anaknya sedih, orangtua akan menenangkan mereka. Begitu pula ketika anak merasa kesal ataupun marah.

Kecenderungan ini membuat anak-anak helikopter tumbuh tanpa tau bagaimana mengatur emosi, karena orangtua yang melakukannya untuk mereka.

Pada studi yang dilakukan oleh University of Mary Washington menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki helicopter parenting cenderung mengalami depresi dan merasa tidak puas dengan kehidupan secara keseluruhan.

4. Bergantung pada obat-obatan

Anak-anak helikopter tidak terbiasa dalam menoleransi perasaan tidak nyaman. Ini karena orangtua yang melindungi anaknya dari rasa sakit dan mencegahnya berurusan dengan kesulitan.

Obat-obatan adalah salah satu cara di mana anak-anak helikopter mengatasi rasa sakit dengan cepat. Para ilmuwan mengatakan bahwa kebanyakan anak-anak helikopter cenderung mengonsumsi obat untuk anxiety, depresi, dan pil pereda rasa sakit.

5. Anak kesulitan mengatur diri sendiri

Karena pengaruh orangtua yang begitu besar dalam kehidupannya, anak-anak yang diasuh dengan helicopter parenting akan mengalami kesulitan untuk mandiri.

Lingkungan sudah terbiasa terstruktur dan diatur oleh asisten pribadinya, yakni orangtua. Anak-anak helikopter tidak diberi kesempatan untuk mengelola diri sendiri yang menyebabkannya tidak memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri.

Tidak sedikit kasus di mana anak-anak helikopter tumbuh dengan sifat menunda-nunda, kurang inisiatif, dan kurang motivasi.

Baca juga artikel terkait PARENTING atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Yonada Nancy
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Dhita Koesno