tirto.id - Kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dipicu oleh pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab belum tutup buku ketika kejadian serupa berulang di tempat lain. Muncul lagi kerumunan, kali ini di haul ke-62 Syekh Abdul Qadir Jaelani di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (29/11/2020) kemarin.
Sama seperti acara-acara Rizieq, dalam haul ini kerumunan tak terbendung. Tak ada jaga jarak. Terlihat dari video yang diunggah oleh akun Youtube Isteq Production.
Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar mengklaim bersama TNI-Polri telah berupaya mencegah kerumunan, misalnya dengan meminta panitia menunda acara. "Kami panggil dan jelaskan kalau saat ini wilayah Kabupaten Tangerang masih di dalam zona oranye COVID-19. Lalu, kami minta tunda," kata Zaki melalui keterangan tertulis, Senin (30/11/2020)
"Di sana sempat terjadi [adu] argumentasi hingga muncul dua opsi, ditunda acaranya atau dibatasi," yaitu hanya mengundang orang-orang di lingkungan santri, keluarga, serta VVIP saja, Zaki menambahkan.
Opsi itu disampaikan oleh Satgas COVID-19 di rumah dinas Gubernur Banten pada 18 November. Hadir pula Kapolda Banten. Sehari kemudian, Satgas kembali menggelar rapat yang juga dihadiri panitia. Di hari itulah panitia memilih opsi kedua, maksimal mendatangkan 1.500 jemaah.
Setelah itu baik pemerintah daerah dan polisi membuat rencana antisipasi lanjutan. Polisi misalnya membuat skema penyekatan di 12 titik untuk menghalau massa yang memaksa hadir. Tapi toh semua itu gagal. Zaki mengakui ini. "Kami sudah melakukan upaya-upaya, dan nyatanya tidak [berhasil] membendung [massa]."
Kapolresta Tangerang Ade Ary Syam Indradi, yang juga berstatus anggota Satgas Kabupaten Tangerang, mengatakan bahkan saat hari acara pun ia berupaya menegakkan protokol kesehatan seperti membubarkan kerumunan. Setelah ini, karena toh yang datang jauh lebih banyak ketimbang kesepakatan, dia bilang kepolisian "akan memanggil beberapa orang untuk dimintai keterangan."
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebetulnya telah memperingati para kepala daerah agar jangan ada lagi kerumunan. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) bahkan mengutip regulasi yang menyebut kepala daerah dapat diberhentikan jika melakukan hal-hal yang tak sesuai undang-undang. Dan kerumunan di masa pandemi adalah pelanggaran berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Gubernur Banten Wahidin Halim mengaku tak ambil pusing dengan instruksi tersebut. "Kami sesuai aturan yang bisa kami lakukan. Tapi, kan, kemampuan kami terbatas terhadap massa yang begitu banyak," katanya kepada wartawan, Senin.
Menurutnya, kerumunan tak terhindarkan karena "sudah kebiasaan". "Diizinkan tidak diizinkan, orang tetap datang," katanya. Selain itu juga karena Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri memang memiliki banyak pengikut. "Saking cintanya pada Syekh Abdul Qodir Jaelani, mereka datang tanpa bisa disekat."
Wahidin mengaku tak hadir dalam acara itu meski beredar foto yang menyerupai dirinya. Dia bilang itu adalah foto tahun-tahun sebelumnya. "Kalau saya hadir, berarti saya menyalahi protokol. Emang Anies (Gubernur DKI Jakarta), hadir," sindir politikus dari Partai Demokrat itu.
Harus Tegas
Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Mouhammad Bigwanto mengatakan acara-acara seperti ini hanya akan membuat Indonesia terus mencetak rekor penambahan kasus positif. Oleh karena itu acara tersebut seharusnya dihindari, tak bisa sekadar menerapkan protokol kesehatan.
"Dalam kerumunan yang padat, masker saja tidak akan cukup. Selain itu ketika muncul kasus, akan menyulitkan petugas untuk tracing contact, karena satu sama lain mungkin tidak begitu mengenali dan mereka kontak langsung selama berkerumun," jelas Bigwanto kepada reporter Tirto, Senin. "Tentunya, buktinya sudah banyak," tambahnya.
Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19, hingga 22 November, terdapat banyak klaster penyebaran COVID-19 dari kegiatan keagamaan dan pondok pesantren.
Klaster GBIP Sinode di Bogor, Jawa Barat, pada 26-29 Februari yang dihadiri 685 peserta memicu 24 kasus di 5 Provinsi. Lalu klaster Gereja Bethel Lembang pada 3-5 Maret 2020 yang dihadiri 637 peserta yang memicu 226 kasus. Selanjutnya klaster Ijtima Ulama di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 19-22 Maret yang dihadiri 8.761 peserta dan memicu 1.248 kasus yang tersebar di 20 provinsi. Ada pula klaster Pondok Pesantren Temboro, Jawa Timur, yang mengakibatkan 193 kasus di 6 provinsi dan 1 kasus di Malaysia.
Di DKI Jakarta, terdapat 17 klaster rumah ibadah dan kegiatan keagamaan dengan 236 kasus. Terdiri dari gereja 4 klaster dengan 41 kasus; masjid 6 klaster dengan 126 kasus; dan tahlilan/takziah 7 klaster dengan 69 kasus.
Ditemukan pula empat klaster dari asrama pendeta dengan 155 kasus dan pesantren empat klaster dengan 359 kasus.
Bigwanto meminta Polda Banten tak segan memberikan sanksi sesuai aturan yang berlaku seandainya penyelenggara terbukti menyalahi protokol kesehatan.
Sementara bagi pusat, dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan Kapolri Idham Azis, disarankan memanggil Pemprov Banten dan Polda Banten dan memberikan mereka peringatan.
Bigwanto bahkan memberikan contoh kasus kerumunan di DKI dan Megamendung yang dipicu Rizieq. Karena kerumunan Rizieq, Kapolda Jawa Barat dan Kapolda Metro Jaya dicopot. Anies juga mencopot Wali Kota Jakarta Pusat dan Kadin LHK.
"Harusnya tidak dibedakan dengan apa yang terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Saya harap Kapolri bisa lebih tegas kepada semua bawahannya," katanya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino