tirto.id - Konser “Astroworld Festival” Travis Scott; duka sepak bola Kanjuruhan; hingga perayaan Halloween di Itaewon adalah sederet tragedi akibat crowd crush. Orang-orang meregang nyawa karena terhimpit dan berdesakan.
Crowd crush merupakan kondisi ketika orang berdesakan dalam ruang terbatas dan melakukan aksi dorong sehingga sebagian orang jatuh seperti “efek domino”. Sulit bagi mereka untuk bangun kembali. Semakin besar kerumunan, semakin kuat efek crowd crush.
“Saat orang berjuang untuk bangun, lengan dan kaki akan terpelintir. Pasokan darah mulai berkurang ke otak, paru-paru juga tidak punya cukup ruang untuk mengembang, sehingga sulit bernapas,” terang Keith Still, seorang profesor dari Universitas Suffolk di Inggris yang mendalami tentang ilmu massa, seperti dikutip dari NPR.
Ketika kadar oksigen berkurang pada 30-180 detik pertama, tubuh kehilangan kesadaran. Satu menit berikutnya sel otak mulai rusak, menuju 3 menit kerusakan pada otak semakin luas dan parah. Kemudian, ketika masalah kekurangan oksigen berlanjut pada menit ke-10, tubuh masih hidup, tapi otak sudah rusak permanen.
Kehilangan oksigen pada tubuh hingga 15 menit membikin kematian.
“Sekitar enam menit Anda akan mengalami kegagalan napas yang menjadi penyebab umum mati lemas,” tambah Still.
Untuk mencegah berada dalam kondisi crowd crush, kita bisa memprediksi “kepadatan” manusia dengan rumus sederhana: Setiap satu orang butuh area bernapas seluas 50x30 cm.
Still (2019) dalam paparan bertajuk “Crowd Science and Crowd Counting” menjelaskan lebih lanjut mengenai rumus ini. Ia mengadopsi panduan keselamatan dari UK Guide to Safety at Sports Grounds dengan mengasumsikan kepadatan rapat dan baris yang teratur.
Jika dikonversi dalam satuan luas area, setiap satu meter persegi maksimal berisi 4-5 orang.
Sebagai contoh, mari hitung kapasitas maksimum untuk area gang di Itaewon, Korea Selatan. Lebar gang hanya empat meter dengan panjang 45 meter. Maka luasan area insiden kematian lebih dari 150 orang ini mencapai 180 meter persegi.
Menggunakan rumus tadi, seharusnya kapasitas maksimum gang tersebut hanya sampai 900 orang. Namun pada malam tragedi, gang Itaewon dipadati oleh lebih dari 100 ribu orang.
Darurat Pertolongan Pertama
Ketika ada rekan, saudara, atau orang sekitar yang tiba-tiba tak sadarkan diri, apa yang harus Anda lakukan?
Bercermin pada kasus yang sudah-sudah, pergelangan lengan orang itu akan ditepuk-tepuk, pipinya ditampar, bahkan muaknya dicipratkan air.
Cara tersebut tak efektif menolong korban henti jantung. Henti jantung juga menjadi penyebab utama kasus kematian lemas akibat crowd crush. Pada kasus henti jantung, kematian itu mendadak tanpa gejala apa pun sebelumnya.
Pada tragedi Itaewon kemarin, kita melihat banyak warga sipil memberikan pertolongan pertama pada korban, bukan hanya petugas medis.
Masyarakat Korea Selatan mempelajari cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung-paru-usaha untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan sirkulasi akibat denyut jantung berhenti mendadak di sekolah-sekolah. Itu pun banyak korban tak selamat.
Di Amerika Serikat, negara yang notabene melek pertolongan pertama pun hanya mampu menolong 17 persen korban henti jantung. Lalu bagaimana nasib korban henti jantung di Indonesia?
“Sering kali korban henti jantung gagal diselamatkan di Indonesia karena minimnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat awam dalam memberikan CPR,” M. Fadil, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah RS Pondok Indah, mengungkap kondisi korban henti jantung di Indonesia.
Orang di sekitar korban yang seharusnya bisa jadi penolong memilih menunggu tim medis datang. Fakta ini pernah diungkap oleh Unit Ambulans Gawat Darurat (AGD) dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam artikel Tirto terdahulu.
Setiap bulan AGD menerima 3.500 telepon untuk menangani kondisi gawat darurat. Sebanyak 10 persennya atau 350 panggilan merupakan permintaan pertolongan jantung kritis.
Henti jantung menyebabkan 50 persen kematian pada korban. Jika berhasil selamat, kualitas hidup menurun karena kerusakan pada otak.
Namun sejatinya kematian atau pun kerusakan organ akibat henti jantung bisa dicegah.
Fadil mengatakan, dua menit pertama setelah korban mengalami henti jantung adalah waktu emas mencegah kerusakan otak. Kerusakan otak akibat hipoksia (kekurangan oksigen) akan mulai terjadi setelah 2 menit.
Periode 7 menit setelahnya merupakan waktu menyelamatkan nyawa korban. Setiap 1 menit terlewat, korban kehilangan 10 persen kesempatan hidup.
“Semua orang termasuk non-nakes (tenaga kesehatan) seharusnya bisa memberikan CPR. Sayangnya pelatihan CPR di Indonesia hanya diwajibkan pada tenaga kesehatan saja,” lanjut Fadil.
Harapan hidup korban henti jantung akan meningkat ketika orang di sekitar korban melek pertolongan pertama. Henti jantung dapat dikenali dengan cara melakukan cek respons pasien, tepuk pundak. Jika tidak ada respons maka cek nadi, lakukan CPR, dan segera panggil bantuan.
“CPR dapat memberikan bantuan hidup dasar pada penderita henti jantung,” kata Fadil.
Ia memaparkan tahap-tahap untuk melakukan CPR, dimulai dari melihat situasi dan kondisi sekitar. Pastikan keamanan diri, korban, dan masyarakat sekitar terjamin agar si penolong tidak terkena bahaya dan malah ikut menjadi korban.
Selanjutnya, jika korban tak merespons tepukan pundak, minta bantuan orang sekitar untuk memanggil ambulans, mengambil P3K, dan AED (automated external defibrillator). Sementara menunggu bantuan datang, lakukan pengecekan pada napas korban. Caranya dengan mengamati pergerakan dada selama 10 detik.
Jika dada terlihat tak bergerak, tengadahkan kepala korban dan lakukan CPR dengan menekan bagian tengah dada sebanyak 30 kali dengan cepat, kira-kira 2 kali tekanan dalam 1 detik. Kedalaman penekanan kira-kira 5 sampai 6 cm atau setengah tebal badan korban.
“Lakukan dengan frekuensi 100-120 kali per menit selama 2 menit di tulang dada setengah bagian bawah,” papar Fadil.
Setelah AED datang, jantung bisa dipacu ringan dengan listrik. CPR tetap dilakukan, diselingi pacuan listrik dari AED hingga jantung kembali berfungsi normal. Setelah kondisi stabil, tindakan medis lanjutan bisa dilakukan di rumah sakit terdekat.
Pengetahuan dapat menyelamatkan nyawa. Dan itu semakin terasa urgensinya saat ini.
Editor: Rio Apinino