tirto.id - “Senjata itu perkara kecil bagi satu gerakan kemerdekaan. Jika kemerdekaan tidak jua dimiliki Aceh, maka bukan karena senjata tapi sebab orang Aceh tidak paham sejarah mereka” (Hasan Tiro, ca. 1986).
Sebelum Soeharto jatuh, Teungku (Tgk) Hasan Muhammad di Tiro adalah nama tanpa wajah bagi kebanyakan anak muda di Aceh. Dia hidup dalam bayang dan gumam orang dewasa ketika berbisik tentang mereka yang diburu pemerintah karena terlibat Aceh Merdeka (AM).
Di Banda Aceh akhir tahun 1990-an yang relatif tak terkena dampak operasi militer, saya tidak menemukan seorang pun yang menyimpan gambar atau pernah bertemu Hasan Tiro. Sensor ketat Orde Baru juga tidak memberi celah bagi kami, untuk memahami skala kejahatan kemanusiaan yang dilancarkan militer Indonesia untuk menumpas pengikut Tiro selama satu dekade (1988-1998).
Reformasi 1998 dan kekacauan di pusat kekuasaan pertama kali membongkar blokade tersebut. Biro Penerangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sayap propaganda dari organisasi perjuangan yang dibidani Hasan Tiro, jeli memanfaatkan melemahnya represi militer Indonesia di Aceh. Mereka gencar melakukan kegiatan yang kerap disebut sebagai “Dakwah Aceh Merdeka.”
Dari corong-corong meunasah (surau) dan selebaran ke media, Biro menggalang dukungan rakyat Aceh dan masyarakat internasional. Terungkapnya sejumlah fakta kejahatan kemanusiaan selama operasi militer membuat GAM makin cepat memperoleh tempat di hati rakyat. Tahun 2000, nyaris semua orang Aceh ingin merdeka.
Jakarta berupaya dengan pelbagai cara untuk meredam GAM. Tawaran otonomi khusus, Syariat Islam, hingga meyakinkan rakyat bahwa GAM tak lebih dari kumpulan penjahat. Juga dengan rumor Hasan Tiro sudah wafat. Di kemudian hari saya membaca, sejak 1979 sedikitnya empat kali Pemerintah Indonesia menyatakan kematiannya (N. Patria, 2010).
Namun nama Hasan Tiro punya tuah unik. Setiap kali diumumkan mati ia berbalik hidup dalam kepala orang Aceh. Layaknya seorang imam yang menghilang, mereka percaya dia akan pulang. Biro Penerangan mungkin sayap perjuangan GAM paling mengesankan dalam menghidupkan imajinasi tentang Wali, begitu orang gerakan menyebut Hasan Tiro.
Kepulangan Hasan Tiro dan kemerdekaan, dalam mantra GAM, bertautan. Jedanya sangat dekat, hanya sepanjang nyala sebatang rokok. Biro terdengar juga berhasil menggerakkan orang membersihkan pantai dan membabat padang semak di beberapa tempat. Rakyat harus bersiap jika sewaktu-waktu Wali mendarat, dengan kapal selam atau pesawat.
Meski tak pernah terbuka mendukung GAM, gerakan mahasiswa Aceh setelah reformasi mulai mengutip Hasan Tiro sebagai rujukan. Keberhasilan aktivis mahasiswa mengumpulkan jutaan orang menuntut referendum di halaman Mesjid Raya Baiturrahman pada November 1999, selain memunculkan harapan juga rasa waswas. Jika referendum terlaksana dan Aceh merdeka, bagimana selanjutnya? Tidak ada yang punya konsep kemerdekaan Aceh selain Hasan Tiro. Tapi orangnya belum pulang. Referendum tidak jadi, namun orang terus menunggu wali kembali.
Saya ingat menjelang Darurat Militer diterapkan di Aceh tahun 2003, beberapa teman aktivis mahasiwa memperoleh kopian The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, catatan harian yang ditulis Hasan Tiro dalam bahasa Inggris. Namun saat itu kebanyakan kami tidak mengerti bahasa asing, jadi hanya mengeja dan menyimpan salinan diari itu seperti kitab yang tidak diketahui artinya.
Beberapa tahun kemudian, baru ada satu bundel terjemahan dalam bahasa Indonesia (setahu saya belum pernah diterbitkan). Teknologi informasi juga memukul mundur upaya Pemerintah RI mematikan Hasan Tiro. Seiring meningkatnya dukungan luar terhadap perjuangan Aceh, foto-foto dan rekaman suara Hasan Tiro menembus barikade militer dan dengan cepat berpindah tangan. Suaranya tidak menggelegar. Ia bicara cepat dengan kalimat teratur dan tajam.
Dari gambar-gambar yang beredar, Hasan Tiro berperawakan kecil. Ia selalu berpakaian necis dengan rambut klimis, jas dan kacamata yang lazim dipakai orang-orang terpelajar di Amerika dan Eropa. Bersama teman, saya kerap menatap fotonya lekat-lekat. Kami menebak-nebak kenapa ia mau memberontak. Hasan Tiro bukan tipikal singa podium seperti kebanyakan imaji penggerak revolusi yang disablon di kaos-kaos demonstran waktu itu, juga bukan sosok dengan kharisma pemuka agama seperti Tgk Daud Beureueh (Abu Beureueh), pemimpin pemberontakan Aceh sebelumnya.
Kesadaran Sejarah Aceh
Daud Beureueh punya peran dalam membentuk Hasan Tiro muda. Hasan bin Muhammad Hasan yang lahir di Kampung Tiro, pedalaman Pidie, pada 25 September 1925 terdaftar sebagai salah seorang murid cemerlang di madrasah modern yang didirikan Daud Beureueh tahun 1939 (El Ibrahimy, 1982). Madrasah itu punya andil menjadikan Hasan Tiro muda seorang nasionalis.
Tahun 1946 bersama sejumlah rekan ia berangkat kuliah ke Yogyakarta. Jejaring nasionalis di Yogyakarta mendekatkannya dengan Wakil Perdana Menteri RI Syafruddin Prawiranegara. Hasan Tiro turut menemani Syafruddin Prawiranegara menyelinap ke Aceh untuk mempersiapkan pemerintahan darurat Indonesia setelah agresi militer Belanda II pada Desember 1948.
Atas rekomendasi Syafruddin Prawiranegara, Hasan Tiro mendapat beasiswa belajar ke Columbia University, Amerika Serikat, pada tahun 1950. Di tahun yang sama hubungan Jakarta-Aceh mulai memburuk. Sukarno tiba-tiba menghapus Provinsi Aceh dari peta. Jabatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dibekukan. Gelagat Sukarno itu dipandang oleh mayoritas orang Aceh sebagai pengkhinatan. Karena kecewa, Daud Beureueh dan pengikutnya menyeberang ke bawah komando DI/TII dan memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pada September 1953.
Korespondensi Hasan Tiro di New York dengan Daud Beureueh di pergunungan Aceh berlanjut di tengah pergolakan DI/TII. Posisi Hasan Tiro di luar dianggap strategis untuk menyuplai logistik perang melawan Jakarta. Berkilo-kilo emas dan uang untuk membeli senjata dikirim kepada Hasan Tiro melalui Singapura (M. Hamzah, 2014). Murka Hasan Tiro terhadap Jakarta memuncak setelah menerima berita pembunuhan massal oleh “Tentara Pancasila”, istilah lokal untuk TNI, di kawasan Pulot dan Cot Jeumpa, Aceh Besar.
Peristiwa yang menewaskan 99 orang termasuk perempuan dan anak-anak di awal tahun 1955 itu menggerakkan Tiro berkampanye di PBB. Di sana ia berpidato tentang proyek genosida Indonesia di Aceh. DI/TII mengangkatnya sebagai menteri luar negeri sekaligus duta besar untuk PBB. Hasan Tiro menjadi suara sumbang bagi republik yang belum berdiri.
Tahun 1958 dia menulis satu risalah berjudul Demokrasi untuk Indonesia, menawarkan format federasi bagi Indonesia yang majemuk. Menurutnya, jika negara kesatuan hanya satu-satunya pilihan bagi Indonesia, maka dominasi Jawa adalah keniscayaan. Aksi-aksi politik Hasan Tiro di luar negeri membuat Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo gerah dan membekukan paspornya.
Meski menyokong gerakan Darul Islam, dia sebenarnya memendam kekecewaan terhadap Daud Beureueh. Bagi Hasan Tiro, Daud Beureueh terlalu terpaku dengan gagasan Indonesia. Keputusan bergabung dengan DI/TII dinilainya sebagai kesalahan susulan Beureueh yang masih percaya Indonesia. Dengan gerakan itu, ia hanya ingin mengislamkan Indonesia.
Setidaknya dua kali Hasan Tiro menyeru kepada Daud Beureueh untuk memproklamasikan kemerdekaan Aceh melalui gerakan mandiri yang tidak ada sangkut pautnya dengan Indonesia. Namun Daud Beureueh tidak mengindahkan ajakan tersebut. Menurutnya, kekeliruan tahun 1945 bergabung dengan Indonesia tidak kunjung ditebusnya. Meski kecewa, Hasan Tiro menunggu waktu yang tepat. Ia tidak ingin merebut (Tiro memakai kata “meuseunoh”) tampuk kepemimpinan Aceh dari Daud Beureueh.
Selain Indonesia, Hasan Tiro juga membuang kata Islam dari nama gerakan barunya. Dua hal yang mungkin menurutnya tidak bisa lekang dari kepala Daud Beureueh. Kepentingan nasional Aceh dan kepentingan nasional Indonesia baginya berbeda seperti siang dan malam. Islam? Bagi Hasan Tiro adalah pertanyaan bodoh dan mendiskreditkan ketika ada yang bertanya komitmen orang Aceh terhadap Islam.
Manusia Aceh, dalam konsepsi Hasan Tiro, tidak bisa dipisahkan dari Islam. Lakab dan simbolisasi Islam dalam gerakan, baginya hanya menunjukkan kepercayaan diri yang jatuh di hadapan keyakinan sendiri. Alasan ini yang mendorong Hasan Tiro dan pengikutnya di pengasingan menolak mentah-mentah opsi Syariat Islam yang ditawarkan Jakarta pada tahun 1999.
Dalam upaya memperoleh dukungan dunia Islam, tahun 1980-an Hasan Tiro sebenarnya cukup gencar menggunakan Islam sebagai tali pengikat dukungan negara-negara di Timur Tengah dan Turki. Namun ia tidak kunjung memperoleh yang diharapkan dari negara-negara mayoritas Muslim itu.
Gagasannya untuk menepis Indonesia semakin mengerucut setelah menulis Masa Depan Politik Dunia Melayu (1965). Risalah ini mungkin pikiran dan tulisan terakhirnya dalam bahasa Indonesia. Tahun 1968, Hasan Tiro menerbitkan buku berbahasa Aceh dengan judul Acheh Bak Mata Donja (Aceh di Mata Dunia). Buku kecil ini berisi kliping dan analisis atas berita media internasional The New York Times abad ke-19 terkait Perang Aceh melawan Belanda.
Bagi Hasan Tiro, sebelum Indonesia lahir, Aceh sudah memperoleh pengakuan dunia. Kecelakaan sejarah menjerumuskan Aceh menjadi bagian Indonesia. Untuk itu kata revolusi baginya tidak penting. Tidak ada kondisi baru yang perlu dicita-citakan, cukup meletakkan segala keagungan masa lalu Aceh kembali pada tempatnya. Baginya, sejarah adalah kunci nasionalisme Aceh. Jika kesadaran sejarah sudah muncul, sedikit sekali tenaga yang dibutuhkan untuk berperang. Kerangka pentingnya kesadaran sejarah dia pakai dalam menulis diari The Price of Freedom.
Bagi Hasan Tiro, yang paling penting adalah mendedahkan alasan kenapa ia pulang ke Aceh dan mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Nasionalisme baginya adalah paggilan sejarah yang sudah ia dengar dan rasakan sejak kecil. Nasionalisme juga membutuhkan pengorbanan. Untuk itu ia terjun dari segala kenyamanan pencakar langit Manhattan, meninggalkan kemewahan hidupnya sebagai pebisnis, keluarga bahagia, sejawat dari kalangan elite. Ia “dirasuki” arwah masa kecilnya.
Gerilya, Memimpin dari Jauh, dan Jalan Damai
Hasan Tiro lahir dari keluarga pejuang Aceh. Dari ibu, Pocut Fatimah, ia memiliki pertalian keturunan dengan Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman. Tgk Tiro senior adalah mujahidin yang paling menyulitkan Belanda selama upaya mereka menduduki Aceh. Ketika Kutaraja jatuh dan Sultan Aceh meninggal, Tgk Tiro dinobatkan sebagai Wali Negara karena putra mahkota Aceh ketika itu masih belum balig.
Amanah perwalian kekuasaan yang diemban keluarga Tiro ini menurut Hasan tidak pernah dicabut oleh Kesultanan Aceh. Oleh karena itu, gelar Wali Negara ditulisnya di bawah deklarasi kemerdekaan Aceh. Ia menjadi wali, sebagai penerus amanah. Ada juga tafsir konsep wali yang dibawa Hasan Tiro terinspirasi dari Khomeini yang saat itu sudah mulai menyita perhatian dunia karena menyerukan Revolusi Islam bagi Iran dari pengasingannya di Paris.
Selama gerilya tahun 1976-1979 di Aceh, Hasan Tiro juga menulis satu naskah opera berbahasa Inggris dengan judul The Drama of Achehnese History (1979). Drama delapan babak setebal 86 halaman itu berisi rekonstruksi perang Aceh melawan Belanda. Lakon ditutup dengan lompatan 65 tahun ke peran Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka.
Meski mengambil latar Aceh, cukup membingungkan bagi pembaca kritis karena pilihan simfoni yang dipakai untuk mengiringi lakon Drama Aceh tersebut. Komposisi dari Mozart, Vivaldi, Beethoven, Theodorakis, Smetana, Charpentier dan komposer-komposer lain yang disebut Hasan Tiro adalah gema yang mungkin bukan bunyi dan tidak akan dimengerti orang Aceh.
Sejumlah petani tercatat sebagai penyokong pertama pikiran Hasan Tiro. Apa Gani, Keuchik Uma dan Pawang Rasyid dari kalangan itu yang dikenang membopong dan meletuskan 7 pucuk bedil jenis Lee-Enfield sebagai salvo perlawanan terhadap Indonesia. Kaum terpelajar Aceh, dokter, dan teknokrat, berada di saf kedua yang menyatakan tertarik bergabung dalam gagasan kemerdekaan Hasan Tiro. Mereka mengisi kabinet pertama National Liberation Front of Acheh-Sumatra (NLFAS), nama resmi GAM ketika pertama kali dideklarasikan.
Warsa 1979 menjadi tahun puncak bagi kegiatan gerilya Hasan Tiro di Aceh. Intesitas pengejaran yang dilakukan terhadapnya meningkat. Beberapa pembantunya tertangkap dan dieksekusi. Hasan Tiro melarikan diri ke Singapura memakai perahu. Setelah itu dia tidak pernah kembali ke Aceh dan memimpin perjuangan dari pengasingan di Amerika Serikat. Antropolog James Siegel menduga Hasan Tiro awalnya punya hubungan baik dengan CIA. Namun setelah ia memanfaatkan keleluasaan yang ditawarkan pemimpin Libya Muammar Kadafi, termasuk menyediakan kamp pelatihan bagi gerilyawan GAM tahun 1986-1988, Hasan Tiro tidak pernah kembali ke AS.
Ia memilih bermukim di Swedia, memimpin perjuangan dari Eropa. Hasan Tiro rajin berkeliling menggalang dukungan. Ia menulis pamflet, berceramah, dan menyurati figur-figur yang potensial menjadi sekutunya. Kabinet perjuangan dan pengikutnya tersebar di Amerika, Eropa, dan beberapa negara tetangga Indonesia.
Setelah didera stroke dan kondisi fisik yang kian renta, Hasan Tiro memutuskan merekam ceramah-ceramah perjuangannya. Suara itulah yang terdengar di Aceh pada awal tahun 2000-an. Dalam rekaman tersebut ia konsisten berbicara keagungan sejarah Aceh. Amanatnya terkait program Aceh Merdeka juga konsisten: meletakkan Aceh pada cetak sejarahnya, pendidikan gratis, jaminan tempat tinggal, dan kesehatan bagi semua orang Aceh tanpa terkecuali, harus diwujudkan.
Ia meminta pejuang GAM bukan hanya memanggul senjata, tapi juga menjadi juru pendidik bagi rakyat Aceh. Namun setelah GAM generasi pertama, sulit bagi harapan itu terwujud di lapangan. Ada masalah dalam transformasi gagasan dan ideologi GAM yang semakin terasa setelah tubuh dan ingatan Hasan Tiro melemah. Sayap organisasi pecah di pengasingan, namun tidak terlalu berpengaruh di Aceh karena haluan perjuangan semakin didominasi oleh senjata hingga GAM akhirnya bubar. Yang terakhir ini sedianya haluan terkecil yang diinginkan Hasan Tiro. Menurutnya, senjata dibutuhkan ketika kesadaran sejarah tidak kunjung merata.
Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh tahun 2004 mempercepat negosiasi perdamaian yang sudah diinisiasi beberapa kali sebelumnya. Aceh dan Indonesia menandatangani kesepakatan damai di Helsinki 15 Agustus 2005. Perdamaian juga memulihkan status politik para kombatan. Jakarta menerima mereka kembali sebagai WNI.
11 Oktober 2008 Hasan Tiro pulang ke Aceh. Ia disambut oleh lautan rakyat yang rindu atau ingin tahu sosoknya. Semenjak turun dari pesawat, perjalanan Hasan Tiro ke Mesjid Raya cukup lama terhalang karena orang-orang yang berebut mencium tangannya. Bagi saya dan sejumlah teman yang turut menunggu di bandara, suasana itu seperti ilustrasi dari diari masa kecil Hasan Tiro yang tidak pernah tepat waktu tiba di sekolah karena terhalang orang yang berbaris menyalaminya.
Ada ironi dalam gempita menyambut kepulangan itu. Lautan massa yang menunggunya bicara di bandara dan halaman Mesjid Raya kecewa karena Hasan Tiro tidak mengucap sepatah katapun di hadapan mereka. Hanya lambaian tangan. Pidatonya diwakili. Setelah itu Hasan Tiro dalam ingatan saya tidak pernah bertemu lagi dengan rakyat yang menunggunya.
Hanya beberapa kalangan elite mantan GAM yang memiliki keistimewaan bertemu wali. Kemanapun ia pergi senantiasa dalam kawalan. Rakyat hanya tahu dari berita bahwa dia senang ke waduk dan suka minum coca-cola. Lama-kelamaan rakyat mungkin lupa keberadaan wali yang pernah mereka tunggu. Hingga awal Juni 2010 ia dikabarkan gering.
Pada 3 Juni 2010, tepat hari ini 11 tahun lalu, pemerintah mengumumkan Hasan Tiro wafat di usia 84 tahun. Hari itu juga statusnya sebagai WNI dipulihkan. Seperti kabar kematian sebelumnya, nama Hasan Tiro kembali hidup, dalam diari, bayang, dan gumam yang lebih panjang.
Editor: Irfan Teguh Pribadi