Menuju konten utama

Harun Yahya, Martir bagi Pseudosains dan Anti-Intelektualisme?

Belajar desain interior selama kuliah, tetapi ia dengan gagahnya menyebut teori evolusi sebagai kibul belaka. Inilah Harun Yahya dan segala kontroversi hidupnya yang selalu bersembunyi di balik agama.

Harun Yahya, Martir bagi Pseudosains dan Anti-Intelektualisme?
Harun Yahya. FOTO/harunyahya.com

tirto.id - Harun Yahya alias Adnan Oktar, penulis buku dan penceramah, ditangkap polisi di Istanbul, Turki, pada Rabu (11/7), pagi waktu setempat. Selain dirinya, polisi juga mengejar 234 orang yang diduga sekelompok dengan Oktar.

Anadolu Agency menulis, Adnan Oktar telah masuk dalam daftar buronan kepolisian setempat, menurut sumber yang menolak disebutkan identitasnya. Kelompok yang dipimpin Oktar diduga kuat melakukan sejumlah kejahatan, seperti pelecehan seksual terhadap anak, hubungan seksual dengan anak di bawah umur, penculikan, penahanan anak di bawah umur, pelanggaran terhadap undang-undang perpajakan dan undang-undang anti-teror.

Oktar beserta para pengawal ditangkap polisi di kediamannya. Menurut Hurriyet Daily News, polisi menyita senjata, baju besi pelindung tubuh, dan kendaraan lapis baja dari kediaman Oktar.

Bermasalah dalam Laku dan Pikiran

Selama ini Harun Yahya mendaku ilmuwan. Dengan segala pemikiran dan analisisnya yang uthak-athik-gathuk, ia menolak teori evolusi Charles Darwin yang telah menjadi konsensus ilmuwan sejagat dan menjadi dasar bagi penemuan di bidang kedokteran dan sains pada umumnya yang tak terhitung jumlahnya. Bagi Yahya, teori evolusi Darwin setara dengan sampah serta tak lebih dari penyebab maraknya pembantaian massal, terorisme, dan segala kenestapaan di dunia.

“Umat Muslim pada umumnya tidak menyadari dari mana semua masalah datang. Ini semua datang dari Darwinisme. Ia jadi akar segala penderitaan, kesulitan hidup, dan aksi-aksi kekerasan. Darwinisme adalah salah satu pilar dari filsafat materialis, dan tanpa materialisme tidak akan ada komunisme, fasisme, imperialisme, kapitalisme, amoralitas, dan aksi teror. Ini semua saling terkait, tetapi karena orang tidak tahu tentang itu, mereka pun gagal memahami pentingnya perjuangan intelektual melawan Darwinisme,” katanya kepada wartawan Tehran Times, Kourosh Ziabari.

Tak cuma menyebut teori Darwin sebagai akar dari kesengsaraan di dunia, Yahya juga mengatakan bahwa teori tersebut hanya kibul-kibul belaka. Yahya beranggapan, evolusi tidak benar-benar terjadi. Semua makhluk lahir karena campur tangan Tuhan dan didesain secara khusus berikut fungsinya masing-masing sebagaimana diwahyukan kitab suci.

“Hampir 100 juta fosil telah digali sejauh ini. Semua memperlihatkan bahwa tanaman, hewan, manusia, dan serangga tidak pernah mengalami evolusi sama sekali, dan mereka semua diciptakan dengan cara yang sama oleh Tuhan. Kita dapat melihat fakta ini di setiap fosil yang kita temukan. Tidak ada fosil yang berhasil membuktikan itu [evolusi]. Jika ada yang bisa menunjukkannya, saya akan memberi mereka 10 triliun Lira Turki [Rp4,4 triliun],” paparnya kepada The Guardian.

Argumentasi Yahya tentang kehidupan semesta ini berambisi besar membantah fakta-fakta dan konsensus saintifik di lingkaran ilmuwan. Yahya seolah-olah ingin membuat para ilmuwan—dengan segala latar belakang riset dan penemuannya—nampak seperti amatiran yang baru saja belajar ilmu eksak kemarin sore.

Evolusi, yang baginya “tidak pernah terjadi,” bukanlah satu-satunya kontroversi yang keluar dari mulutnya. Pada 1996, contohnya, ia menerbitkan buku berjudul Holocaust Lies (bisa juga disebut Holocaust Deception) yang mengklaim bahwa peristiwa Holocaust bukanlah pembantaian sebagaimana sejarah dan masyarakat dunia ketahui. Holocaust, dalam imajinasi Yahya, adalah “tewasnya orang-orang Yahudi karena tifus dan kelaparan yang melanda selama perang dengan Jerman.”

Harun Yahya lahir di Ankara pada 1956. Ia mengambil kuliah di jurusan desain interior. Meski tidak lulus, setidaknya masa kuliah berandil besar dalam membentuk gagasan berpikirnya soal anti-evolusi. Pada 1986, masalah hukum menimpa dirinya untuk kali pertama. Ia dituduh pemerintah mempromosikan revolusi teokratis dan oleh karenanya, Yahya divonis penjara selama 19 bulan sebab melanggar hukum sekuler.

Tak lama setelah keluar dari penjara, ia membentuk semacam sekte berisikan orang-orang kelas menengah ke atas Turki. Salah satu lembaga yang lahir dari sektenya ialah Scientific Research Foundation (SRF) atau biasa dikenal dengan Bilim Arastirma Vakfi (BAV), pada 1990. Tujuan BAV: “menciptakan lingkungan yang damai, tenang, dan penuh cinta.”

Tapi pada kenyataannya, tujuan sebenarnya dari BAV adalah kampanye gagasan anti-evolusi milik Yahya, yang menegaskan bahwa alam semesta beserta seluruh isinya diciptakan Tuhan, sesuai ayat Al-Qur’an (pandangan ini kelak didefinisikan sebagai "kreasionisme Islam".)

Pada dasarnya, kreasionisme adalah gagasan yang menitikberatkan pada keyakinan bahwa kehidupan di bumi merupakan hasil dari “tindakan Tuhan” yang sudah tercantum di setiap ayat-ayat kitab suci. Bukan “proses ilmiah,” yang acapkali disebut kreasionis sebagai “mekanisme buta.” Gagasan ini dikembangkan fundamentalis Kristen di Amerika pada abad ke-19.

Salah satu produk turunan kreasionisme adalah lahirnya ‘teori’ Intelligent Design yang menegaskan kompleksitas pada masing-masing organisme adalah bukti bahwa proses evolusi ditentukan oleh sesosok figur supranatural, alih-alih berlangsung menurut seleksi alam.

Bersama BAV, pada 1998 Yahya mulai mengambil langkah-langkah strategis guna menyebarkan ajaran kreasionisme. Mencetak buku (ada sekitar 300 buku yang sudah ia terbitkan), memasang iklan di ratusan situsweb, meluncurkan propaganda, hingga melangsungkan seminar dan kelas-kelas diskusi di sejumlah universitas dalam maupun luar negeri.

Jalur yang diambil Yahya dan gerbong sektenya rupanya tak sekadar persuasif, melainkan juga dengan paksaan. The Guardian melaporkan, Yahya tak ragu menyerang, mengintimidasi, mengancam, memfitnah, serta melecehkan akademisi-akademisi yang mengajarkan teori evolusi Darwin. Ia juga terkadang menggandeng pemerintah Turki untuk menyebarkan gagasannya, misalnya ketika ia menekan pemerintah untuk memblokir situs-situs yang dianggap "menolak gagasannya". Richard Dawkins, ilmuwan tersohor asal Inggris, pernah mengalaminya pada 2008.

Upaya Yahya akhirnya membuahkan hasil. Martin Riexinger dalam “Propagating Islamic Creationism on the Internet” (2008) yang diterbitkan Journal of Law and Technology Universitas Masaryk, Ceko, menerangkan bahwa gagasan kreasionisme Yahya perlahan meluas pengaruhnya di masyarakat Turki. Gagasan pseudosains Yahya pun dimuat di buku-buku sains sekolah dan dirayakan pejabat-pejabat pemerintahan, yang mulai ikut-ikutan vokal mengkritik Darwin.

“Tidak ada perang melawan kaum kreasionis sekarang. Mereka telah memenangkan perang,” kata Umit Sayin, profesor forensik di Universitas Istanbul. “Pada tahun 1998, saya mampu membujuk enam anggota Akademi Sains Turki untuk berbicara menentang gerakan kreasionis. Hari ini, tidak mungkin untuk membujuk siapapun. Mereka takut mereka akan diserang oleh Islamis radikal dan BAV.”

Steve Paulson dalam “Meet Harun Yahya: The Leading Creationist in the Muslim World” yang dimuat di Slate mengatakan keberhasilan kreasionisme di Turki tidak bisa dipisahkan dari politisasi agama. Sekolah-sekolah tinggi di Turki telah mengajarkan evolusi selama beberapa dekade—warisan kampanye Kemal Ataturk untuk mensekulerkan budaya Turki. Kemunculan kreasionisme adalah cara bagi para aktivis Islam-politik macam Yahya untuk menyerang dan menentang gagasan elit sekuler yang memerintah Turki pada zamannya.

Sementara sikap anti-evolusinya perlahan mendatangkan keberhasilan, pamor Yahya sendiri pun turut menjulang. Ia jadi kaya raya akibat penjualan buku serta DVD yang laris manis, diundang ke talkshow, seminar, sampai diskusi, konferensi berskala internasional, sampai terpilih jadi “500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh” versi The Royal Islamic Strategic Studies Centre.

Cakupan gagasannya pun juga meluas. Tak sekadar berbicara anti-evolusi, Yahya juga seringkali membelah opini publik seputar topik pan-Islamisme, nasionalisme Turki, dan nostalgia kejayaan Kekaisaran Ottoman.

Puncak Pencapaian "Ilmiah"

Namun, tak ada yang bikin bangga daripada Yahya tatkala bukunya—Anda yang menganut kreasionisme bisa menyebut buku Yahya ini sebagai magnum opus—berjudul The Atlas of Creation terbit pada 2006. Buku berukuran 18 x 43 cm dan punya tebalan 800 halaman tersebut laku keras di pasaran; dijual di penjuru dunia, dicetak lebih dari sekali, serta diterjemahkan ke berbagai bahasa.

“Ratusan profesor, ilmuwan, mahasiswa, dan publik mengirim e-mail ke situs internet kami ... Kami menerima pesan yang tulus bahwa buku ini berdampak besar pada mereka. Seperti bom atom. Ketika mereka membaca buku itu, mereka langsung memberi tahu orang lain dan terus berlanjut setelahnya. Kekuatan buku ini tiada taranya,” klaim Yahya mengutip The Guardian.

Dalam The Atlas of Creation, Yahya terang-terangan menuding teori evolusi Darwin—diambil dari buku setebal 400 halaman bertajuk The Origin of Species yang disusun atas observasi terhadap 1.529 spesies, 3.907 kulit, 12 katalog ragam spesies, serta penelitian mutakhir mengenai fosil dan perubahan struktur geologi bumi selama 20 tahun di Amerika Selatan, Galapagos, hingga Australia, yang menyimpulkan bahwa spesies berevolusi dan beradaptasi agar bisa bertahan dalam seleksi alam adalah mekanisme utama yang membuat spesies baru terbentuk secara perlahan—sebagai kesesatan belaka sekaligus bertentangan dengan Al-Qur’an.

Sebagaimana ditulis The New York Times, Atlas of Creation membawa perdebatan mengenai evolusi hingga ke arah yang lebih dramatis dibanding sebelumnya.

Bagi para ilmuwan, buku Yahya tak ubahnya seperti pertanda bahwa masa depan sains sedang dipertaruhkan. “Jika Anda pergi ke toko buku, maka Anda akan melihat bahwa buku itu berharga $100,” terang Kenneth R. Miller, ahli biologi di Universitas Brown. “Padahal, biaya [riset evolusi] sendiri sangat besar. Kami bicara jutaan dolar.”

Infografik Harun Yahya

Sedangkan Armand de Ricqles, profesor biologi dan evolusionisme di College de France, mengatakan bahwa ia dan sebagian orang khawatir apabila buku tersebut ditujukan kepada penduduk Muslim Perancis sebagai strategi untuk “mengacaukan” pinggiran kota yang miskin dan didominasi kaum imigran, “di mana populasi besar anak-anak muda yang beragama Islam akan menjadi target ideal untuk propaganda.”

Kendati banyak pertentangan, yang menerima gagasan buku Yahya juga tidak bisa dibilang sedikit. Buku ini bahkan bisa dibilang signifikan dalam mengubah persepsi khalayak ihwal evolusi. Salman Hameed, dalam risetnya yang terbit di majalah Science pada 2008, berjudul “Bracing for Islamic Creationism” menemukan adanya pergeseran pandangan dari negara-negara Muslim soal teori Darwin usai rilisnya Atlas of Creation.

Penelitian Hameed didasarkan pada pertanyaan: “Setuju atau tidak Anda soal teori evolusi Darwin?” Hasilnya, hanya 16% orang Indonesia yang meyakini teori Darwin itu benar, Pakistan sebesar 14%, Mesir cuma 8%, Malaysia tak lebih dari 11%, serta Turki mentok di angka 22%.

Bagaimanapun, tak semua yang dialami Yahya adalah berkah. Pada 2008, ia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dengan dakwaan mengeruk keuntungan pribadi lewat organisasi ilegal. Putusan itu seperti membuka kembali putusan serupa pada delapan tahun silam yang sempat digugurkan oleh pengadilan.

Tuntutan penjara hanyalah satu sekian dari masalah hukum yang harus ia hadapi. Tercatat, Yahya pernah didakwa karena kepemilikan kokain, pelecehan seksual, pemerasan. Ia juga pernah dirujuk ke rumah sakit jiwa akibat dianggap menderita gangguan kepribadian obsesif-kompulsif dan skizofrenia.

Baca juga artikel terkait HARUN YAHYA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Humaniora
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf