tirto.id - Pada 2015, pemerintah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Keputusan ini tentu saja disambut gembira oleh para santri yang belajar di pesantren-pesantren tradisional. Selama ini, terminologi "santri" dan wacana kesantrian kerap diidentikkan dengan pesantren tradisional di Jawa Timur atau Jawa Tengah. Orang-orang kerap melupakan dunia pesantren di Jawa Barat.
Di Tatar Sunda, barangkali tak ada tokoh karikatural yang popularitasnya melebihi si Kabayan. Ia hampir mencakup segala atribut yang kontradiktif: cerdas tapi naif, konyol tapi bijak, sekaligus bloon dan kocak. Bagi sejumlah kalangan, si Kabayan bahkan dianggap sebagai representasi karakter masyarakat Sunda yang agraris dan religius.
Karakteristik macam itu terkait dengan keberadaan pesantren tradisional yang tersebar di hampir seluruh pelosok Jawa Barat, dan pola penyebaran Islam di wilayah yang dulu dikuasai beberapa kerajaan Hindu.
Corak produksi pangan masyarakat Sunda yang mula-mula berladang atau huma memengaruhi pola penyebaran dan penerimaan Islam sebagai agama baru menggantikan Hindu dan Buddha.
Dalam Paradoks Cerita-cerita Si Kabayan (2014), Jakob Sumardjo menulis bahwa kerajaan-kerajaan Sunda yang masyarakatnya hidup dengan berladang dan berpindah-pindah membuat kebudayaan istana hanya berkembang di lingkungan terbatas.
“Tidak mengherankan apabila di kalangan masyarakat Sunda di perdesaan kenangan terhadap zaman kebudayaan Hindunya amat tipis, bahkan tidak mengenal zaman seperti itu. Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak awalnya ada di Sunda. Sunda itu Islam,” tulisnya.
Keadaan ini memudahkan para penyebar agama Islam melakukan penetrasi ke masyarakat dan kemudian menjadi elan yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks seperti itulah si Kabayan ditempatkan sebagai santri yang—dengan segala perilakunya yang mahiwal (aneh)—telah mencapai tingkatan makrifat.
Menurut Acep Zamzam Noor dalam pengantar untuk buku karya Jakob Sumardjo itu, karakter si Kabayan dilekatkan pada tradisi pesantren yang kadang-kadang melahirkan sosok ajengan (kiai), santri, atau anak ajengen yang berperilaku aneh, nyentrik, seenaknya, blak-blakan, dan tindakannya di luar perkiraan banyak orang. Dalam dunia santri, tabiat macam itu dikenal dengan istilah khariqul ‘adah.
“Banyak sekali kiai-kiai yang berperilaku aneh dan nyentrik, yang dalam menjalankan misinya memberikan pencerahan suka memakai logika atau perilaku ala si Kabayan. Bukan hanya untuk urusan dakwah saja, tapi juga ketika harus mengatasi konflik atau mengambil keputusan suatu masalah berat,” tulis Acep.
Cara-cara seperti itu, tambah Acep, kerap dilakukan dalam internal pesantren, dengan masyarakat sekitar, maupun dengan pemerintah sehingga “laukna beunang caina herang” (permasalahan selesai tanpa menimbulkan masalah baru).
Sumber Ilmu dan Alternatif Pendidikan
Bagi sebagian kalangan, permulaan sumber ilmu yang disebarkan di pesantren tradisional di Jawa Barat dipercaya berasal dari Syekh Abdul Muhyi yang menetap di Pamijahan, Tasikmalaya. Penyebar Islam dari Mataram ini memang sosok yang amat dihormati dan sampai hari ini makamnya selalu dibanjiri para peziarah dari pelbagai pelosok Indonesia.
Namun, menurut Iip D. Yahya dalam Ajengan jeung Santrina: Pasantren Salafiyah di Jawa Barat (2008), jika dirunut lebih jauh ada tali yang terputus antara kiai yang memimpin pesantren tradisional hari ini dengan Syekh Abdul Muhyi.
Sebagai contoh ia menyebutkan bahwa K.H. Ilyas Ruhiyat dari pesantren Cipasung, Tasikmalaya, menuntut ilmu dari ayahnya yaitu ajengan Ruhiyat. Sementara ajengan Ruhiyat berguru kepada K.H. Sobandi Cilenga yang menjadi murid K.H. Syuja’i atau dikenal dengan sebutan Mama Kundang. Jalur keilmuan ini, menurut Iip, terhenti sampai Mama Kundang, karena ia tak diketahui berguru kepada siapa.
Di luar jalur keilmuan yang belum sepenuhnya terlacak itu, ada hal yang lebih penting bagi dunia pendidikan orang-orang Sunda. Menurut Iip, pesantren tradisional menjadi alternatif pendidikan tinggi bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi.
Dalam penelusurannya, Iip menemukan sejumlah contoh tentang pesantren tradisional di Jawa Barat yang amat kecil dalam menetapkan biaya pendidikan. Salah satu di antaranya yaitu Pesantren An-Nidzom di Selabintana, Sukabumi, yang sampai 2007 hanya mewajibkan para santri membayar iuran sebesar 5.000-8.000 rupiah per bulan, uang pendaftaran 40.000 rupiah, dan tanpa uang bangunan.
Contoh lain diungkapkan Ahmad Faizal Imron, ajengan dari Pesantren Baitul Arqom, Ciparay, Kabupaten Bandung. Menurut penuturannya seperti dikutip Iip D. Yahya, selama berkelana menuntut ilmu dari pesantren tradisional ke pesantren tradisional lain, setiap bulan ia hanya dipungut biaya 5.000-15.000 rupiah, dan uang pendaftaran yang tak pernah lebih dari 50.000 rupiah.
“Saat komersialisasi merasuki dunia pendidikan, sikap pesantren tradisional tetap istiqomah dan tidak ikut rusak. Meski tak ada bantuan dari pemerintah dan menghindari sikap meminta-minta sumbangan, para pengasuh pesantren tradisional tetap ajeg, mendidik para santri agar dapat menggapai ilmu sampai tingkatan yang paling tinggi,” tambah Iip.
Mata Pencaharian Para Ajengan dan Ragam Panggilan
Jika uang yang dibayarkan para santri begitu kecil, dari mana pesantren tradisional membiayai hidupnya?
Pesantren tradisional rata-rata terletak di perdesaan yang agraris. Biasanya para ajengan mempunyai sawah, kebun, dan hewan ternak yang dikelola sendiri. Hasil produksinya kemudian digunakan untuk menunjang operasional pesantren.
Selain itu, ada pula para ajengan yang mempunyai usaha di bidang perdagangan, menyewakan kios, atau mempunyai kendaraan yang dipakai sebagai sarana angkutan bagi masyarakat.
“Ada juga yang membuka usaha penerbitan buku-buku terjemahan atau karya pribadi,” tambah Iip.
Di luar usaha-usaha tersebut, adakalanya para ajengan juga mendapat bantuan dana dari para orang tua santri yang agak mampu lewat mekanisme sumbangan atau infak. Besaran infak tidak ditetapkan dan bervariasi. Tapi betapa pun besarnya sumbangan, tak membuat para ajengan bersikap pilih kasih terhadap para santri. Semuanya diperlakukan setara.
Dalam kondisi sangat terdesak dan membutuhkan dana, seperti dituturkan seorang ajengan kepada Iip, sumber keuangan itu kerap tak bisa diprediksi datangnya dari mana, dan tanpa diduga-duga. Ia menyebutnya sebagai berkah dari Allah.
“Maka sangat susah untuk menceritakannya. Yang pasti berkah dari Allah yang menolong [kami] dalam kondisi terdesak itu,” ujarnya.
Kehidupan di pesantren tradisional di Jawa Barat juga melahirkan bentuk komunikasi baru dalam wujud sapaan atau panggilan. Di daerah Garut, misalnya, anak ajengan biasa dipanggil “Aceng”, sementara di Tasikmalaya panggilannya “Endang” atau “Adang” atau “Acep”. Penyair Acep Zamzam Noor yang merupakan putra K.H. Ilyas Ruhiyat bisa jadi adalah contoh dari fenomena ini.
Sementara panggilan untuk ajengan di antaranya “Mama”, “Abuya”, “Aang”, dan “Aa”. Dan para santri biasanya dipanggil “Ujang” (santri laki-laki), serta “Nyai” untuk santri perempuan.
Tradisi dan budaya pesantren tradisional di Jawa Barat atau lebih luas lagi di Indonesia tentu berbeda antara yang satu dengan lainnya, sesuai dengan kebiasaan di daerah masing-masing. Namun ada satu ciri khas dari sejumlah pesantren tradisional tersebut. Menurut Mujamil Qomar dalam Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (2005), pesantren tradisional tampil sebagai lembaga pendidikan Islam paling otonom yang tidak bisa diintervensi pihak-pihak luar kecuali atas izin kiai.
Editor: Ivan Aulia Ahsan