tirto.id - Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa, Agung Kuswandono meneybut, harga garam yang anjlok saat ini diakibatkan kualitas rendah, karena kadar natrium klorida (NaCl) dalam garam kurang dari 94 persen.
Padahal, kata Agung, untuk dapat diserap oleh PT Garam (Persero) yang merupakan BUMN, mensyaratkan kualitas minimum ada 94 persen NaCL atau level I (K1).
Pada Juli 2019 ini harga garam petani tambak berkisar Rp300-Rp500 per kilogram. Sedangkan Juni 2019, harga garam Rp800-Rp1.000 per kilogram.
Industri, kata dia, memerlukan ini kualitas garam yang baik. Ia mencontohkan untuk industri garam multinasional saja membutuhkan kadar NaCl 99,9 persen.
"K1 itu saja sudah mepet ke 94 persen. K2-K3 di bawah itu. Saya dengar yang info teriak harga garam anjlok itu di Cirebon. Kualitas garamnya ternyata adalah garam K2-K3," ucap Agung dalam konferensi pers di Gedung Kemenko Kemaritiman, Jumat (12/7/2019).
Agung juga mengatakan, bila kualitas garam di tingkat petani rendah, maka harganya tidak bisa maksimal. Padahal, kata dia, harga garam kualias K1 idealnya Rp1.000 per kg.
Agung juga mengatakan, industri akan kesulitan menyerap garam bila harganya tinggi. Kalau pun garam kualias K2-K3 ingin diserap, menurut dia, adil jika harganya tidak setinggi garam K1.
"Yang diserap perusahaan bisa K1-K3. Kalau K2-K3 ya harganya jauh lebih rendah. Kualitasnya kecil. Tidak bisa dipaksa harga K2-K3 harus tinggi," ucap Agung.
Dalam penjelasannya, Agung menambahkan bahwa saat ini produksi garam nasional mencapai 2,3 juta ton.
Penyerapan oleh PT Garam hanya mencapai 120 ribu ton. Sisanya dilakukan oleh industri pengolahan garam melalui MoU untuk menyerap garam rakyat.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali