tirto.id - PT Pertamina (Persero) diprediksi akan menaikkan kembali harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi setelah per Sabtu (24/2/2018) telah melakukan penyesuaian harga.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, harga BBM non-subsidi berpeluang naik lagi karena dipengaruhi cadangan minyak di pasar yang semakin menipis.
"Kalau OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries/Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) enggak menaikkan produksinya, maka saya kira harganya bisa bergerak naik, karena OPEC mematok produksi minyaknya enggak naik," ujar Fabby kepada Tirto, Minggu (25/2/2018).
OPEC sepakat memotong pasokannya sebesar 1,8 juta barel per hari guna mendorong harga minyak negara-negara produsen. Kesepakatan tersebut berlaku hanya hingga Maret 2018. Desember tahun lalu, OPEC sepakat memperpanjang pemangkasan produksi minyak hingga akhir 2018. Seiring keputusan tersebut, harga minyak dunia pun bakal ikut terpengaruh.
Berdasarkan publikasi IEA (International Energy Agency) di Januari 2018, produksi minyak mentah dari negara-negara OPEC pada Desember 2017 mengalami penurunan dibandingkan dengan November 2017 sebesar 0.06 juta bph, dari 39,18 juta bph menjadi 39,12 juta bph.
Sedangkan produksi minyak mentah dari negara-negara non-OPEC pada Desember 2017 mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan November 2017 sebesar 0.35 juta bph, dari 58,95 juta bph menjadi 58,60 juta bph.
Kemudian, acuan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price atau ICP) per 4 Januari 2018 sebesar USD 65,59/barel, naik sebesar USD 4,69/barel dari semula USD 60,90/barel pada Desember 2017.
Peningkatan rata-rata minyak mentah Indonesia tersebut, sesuai dengan perkembangan harga rata-rata minyak mentah utama di pasar internasional. Harga minyak mentah dunia saat ini ada di kisaran USD 60-65 per barel.
Melihat tren produksi dan harga minyak mentah dunia saat ini, Fabby menyebutkan, ada kemungkinan harga minyak mentah dunia ini dapat sampai menyentuh level USD 80 per barel.
"Kalau saya lihat beberapa perkiraan trennya naik, bahkan sampai pertengahan tahun ini mungkin Juli-Agustus (2018) USD 80/barel. Kalau sekarang kan rata-ratanya USD 60-an per barel,” kata dia.
Fabby berharap, OPEC akan menaikkan produksinya dan permintaan minyak di Asia dapat lebih turun dalam beberapa bulan kemudian.
"Saya lihat cadangan minyak di pasar semakin berkurang dibanding produksinya, tapi kalau OPEC menambah bisa turun lagi harganya, kemudian permintaan minyak turun setelah musim dingin ini. Jadi, kira-kira kita tunggu sampai April," ungkap Fabby.
Hingga April 2018, Fabby memperkirakan harga minyak dunia hanya akan bertengger di kisaran USD 60-65 per barel. Ia juga menjelaskan bahwa faktor naiknya harga minyak dunia adalah produksi, permintaan, selain faktor cuaca, dan perbaikan kilang.
"Faktornya enggak cuma karena produksi dan konsumsi saja. Tapi kadang masalah logistik, ada perbaikan kilang dimana itu juga menentukan karena musim dingin permintaan tinggi dan produksi cenderung turun," paparnya.
Merespons kenaikan harga minyak dunia tersebut, Pertamina telah menetapkan harga baru jenis BBM non-subsidi yang berlaku mulai Sabtu, 24 Februari 2018 pukul 00.00 waktu setempat. Jenis BBM tersebut meliputi: Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.
"Evaluasi harga jual BBM jenis umum atau BBM non penugasan ini dilakukan secara periodik. Jika harga minyak dunia bergerak naik, maka harga jual BBM hingga ke konsumen harus mengalami penyesuaian. Kondisi yang sebaliknya juga bisa terjadi," jelas Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Adiatma Sardjito, melalui siaran persnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz