tirto.id - Pencabutan sanksi atas Iran langsung membuat harga minyak mentah dunia menukik tajam di bawah level psikologis USD 30 per barel pada medio Januari 2016. Hingga memasuki Februari, harga masih bertahan rendah di kisaran USD 30 per barel. Harga minyak diprediksi sulit untuk pulih di tengah meningkatnya pasokan setelah pencabutan sanksi atas Iran. Kondisi itu diperparah dengan lesunya perekonomian dunia sehingga mengurangi permintaan.
Harga minyak yang tak kunjung bangkit dari level terendahnya membuat negara-negara eksportir minyak pusing tujuh keliling. Mereka yang mengandalkan pendapatannya dari berjualan minyak dipastikan harus melakukan serangkaian upaya agar roda perekonomiannya tetap berjalan.
Sebagian besar negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC kini sedang merasakan derita yang cukup dalam. Defisit anggaran membengkak, nilai tukar jatuh, proyek-proyek infrastruktur terhenti, hingga yang terburuk mereka harus mencari utangan dan terancam gagal bayar utang. Derita paling ringan dialami oleh Indonesia yang baru saja mengaktifkan lagi keanggotaannya di OPEC. Indonesia yang notabene net oil importir justru lebih banyak diuntungkan dari rendahnya harga minyak.
Bagaimana peta kekuatan negara-negara OPEC saat ini?
Runtuhnya Harga Minyak
Harga minyak mentah dunia menembus titik terendahnya dalam 13 tahun terakhir pada awal perdagangan Senin, 18 Januari 2016. Harga minyak internasional Brent sempat turun menjadi USD 27,67 per barel, yang merupakan level terendah sejak tahun 2003. Harga kemudian sedikit membaik ke USD 28,25 per barel, yang berarti turun 2 persen dari penutupan perdagangan Jumat (15/1/2016).
Harga minyak turun di bawah level psikologis USD 30 per barel setelah sanksi atas Iran dicabut. Pencabutan sanksi membuat Iran bisa menggenjot lagi produksinya yang sempat tertahan bertahun-tahun. Dengan tambahan produksi dari Iran, pasokan minyak yang kini sudah berlimpah akan semakin bertambah.
“Pencabutan sanksi Iran memberikan tekanan turun pada minyak dan komoditas secara lebih luas dalam jangka pendek,” jelas ANZ dalam analisisnya.
Dalam dua tahun terakhir, harga minyak mengalami fase pergerakan yang sangat fluktuatif. Harga minyak mencapai level tertingginya sepanjang sejarah pada Juli 2008 ketika menembus USD 150 per barel. Setelah itu, harga mulai melandai sebelum akhirnya mencapai level tertingginya lagi di USD 107 per barel pada Juni 2014.
Usai menembus rekor tertinggi, harga minyak secara perlahan beringsut mundur. Memasuki tahun 2015, penurunan harga minyak semakin parah. Hingga akhir 2015 di bawah USD 40 per barel, yang merupakan level terendah sejak 2009. Bank Dunia mencatat harga minyak merosot hingga 47 persen pada tahun 2015. Penurunan harga minyak berlanjut hingga 2016. Selama Januari 2016, harga minyak tercatat sudah turun hingga 25 persen, yang merupakan penurunan terbesar sejak krisis finansial. Diperkirakan harga akan kembali turun secara rata-rata hingga 27 persen pada 2016.
Energy Information Administration (EIA) memperkirakan harga minyak WTI pada tahun 2016 hanya USD 38,54 sebelum membaik jadi USD 47 per barel pada tahun 2017. Sementara minyak Brent diperkirakan sebesar USD 40,15 per barel pada tahun 2016 dan meningkat jadi USD 50 per barel pada 2017.
Penurunan harga minyak dunia yang mulai berlangsung mulai medio tahun 2014, dipicu munculnya booming shale oil di Amerika Serikat (AS). Produksi global tumbuh hingga 1,8 juta barel menjadi 92 juta barel pada tahun 2014. Produksi minyak mentah AS sendiri mencatat kenaikan hingga 1,2 juta barel per hari pada tahun 2014, naik 16 persen dibandingkan tahun 2013. Produksi shale oil AS tercatat melonjak hingga 4 juta barel per hari hanya dalam kurun waktu enam tahun. Total produksi minyak AS mencapai 8,6 juta barel, yang merupakan angka tertinggi dalam 30 tahun.
Pada saat yang sama, perekonomian dunia mulai lesu sebagai imbas dari pelemahan ekonomi Cina dan juga kawasan Eropa. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2015 sebesar 0,2 persen menjadi 3,3 persen. Ini merupakan angka pertumbuhan ekonomi dunia terendah sejak kontraksi pada tahun 2009.
Dunia berlimpah minyak. OPEC sebagai pengendali pasar menolak untuk memangkas kuota produksi. Arab Saudi yang mengontrol OPEC secara tegas menolak mentah-mentah permintaan pemangkasan kuota agar harga bisa pulih.
Saudi Menantang Pasar
Ketika penurunan harga minyak tak kunjung berhenti di tahun 2015, sejumlah negara eksportir minyak sudah mulai cemas. Mereka meminta OPEC memangkas kuota produksinya agar harga kembali stabil. Namun, Arab Saudi yang merupakan motor utama OPEC menolak mentah-mentah permintaan pemangkasan produksi.
Saudi menolak memangkas produksi minyak dengan alasan kontribusi OPEC pada harga tidak besar. Alasannya, negara-negara di luar OPEC dianggap lebih bertanggung jawab dalam hal stabilitas harga minyak. Ketika harga minyak tak kunjung membaik, Arab Saudi dengan angkuh mengatakan mereka akan tetap memompa minyak pada harga berapapun. Sikap Saudi ini dimungkinkan karena biaya produksi minyaknya hanya USD 4-5 per barel.
Pada pertemuan November 2015, OPEC memutuskan untuk mempertahankan produksinya di level 31,5 juta barel per hari. Hasil OPEC itu sepertinya menegaskan keinginan Arab Saudi untuk melakukan stabilitasasi pasar tanpa memangkas produksi. OPEC memilih bertahan pada harga rendah untuk menekan tingkat produksi shale oil di AS.
Strategi Saudi dengan membiarkan harga minyak turun memang berdampak pada produksi minyak AS. Berdasarkan data dari Baker Hughes, jumlah rig yang beroperasi di AS turun dari 1.925 menjadi hanya 771. Tak hanya itu, diperkirakan sekitar 20 perusahaan minyak di AS gulung tikar karena biaya produksi lebih tinggi dari harga. Produksi shale oil AS memang berkurang. Sayangnya, harga ternyata semakin turun hingga di luar dugaan. Saudi bahkan menyebut harga minyak yang sudah mencapai level USD 30 sebagai hal yang irasional.
“Harga minyak tidak rasional. Saya merasa bahwa pasar sudah melampaui batas rendah dan tidak dapat dicegah lagi harga akan naik,” ujar Khalid al-Falih, chairman Saudi Aramco dalam pernyataannya saat World Economic Forum di Swiss pada Januari 2016.
Derita OPEC
Wajar saja jika Saudi mulai cemas dengan harga minyak yang tak kunjung pulih. Harga minyak yang rendah membuat Saudi kehilangan mata pencaharian utamanya. Saudi bahkan terpaksa menerbitkan surat utang untuk membantu mendanai anggarannya. Untuk pertama kalinya setelah delapan tahun, Saudi menerbitkan surat utang dengan jangka waktu 12 bulan. Hingga tahun 2015 berhasil mendapatkan pendanaan hingga USD 10 miliar. Saudi juga menaikkan harga BBM, listrik dan air, serta berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Saudi bukan satu-satunya negara OPEC yang harus mengeluarkan jurus-jurusnya untuk bertahan menghadapi defisit anggaran akibat rendahnya harga minyak. Berikut aneka jurus yang dikeluarkan negara-negara OPEC dalam menghadapi kejatuhan harga minyak.
Aljazair:
Minyak memberikan sumbangan hingga 60 persen pendapatan negara. Ketika harga turun tidak terkendali, pemerintah Aljazair harus berhemat. Pada 2016, anggaran belanja dipangkas 9 persen. Untuk menambah pemasukan, pemerintah Aljazair menaikkan harga BBM, air, listrik dan PPN untuk sejumlah produk antara 7 – 17 persen. Sejumlah proyek dibekukan untuk menghemat anggaran. Namun, sebagian proyek tetap dijalankan dengan bantuan negara asing. Aljazair melirik Cina untuk mendanai sejumlah proyek infrastruktur, termasuk untuk pelabuhan baru senilai USD 3,2 miliar.
Angola
Harga minyak jatuh menyebabkan mata uang Angola, kwanza kehilangan nilainya hingga 35 persen pada tahun 2015. Pemerintah mengambil serangkaian kebijakan untuk menghadapi krisis yang diakibatkan anjloknya harga minyak. Kebijakan yang diambil antara lain berkaitan dengan pajak, kebijakan moneter, perdagangan luar negeri, dan sektor riil untuk mengurangi dampak kekurangan valas pada perekonomian nasional. Pemerintah Angola juga mengontrol membengkaknya defisit dan posisi utang untuk pemulihan ekonomi, meningkatkan pembiayaan dan memperbaiki efektivitas investasi swasta, mengadopsi kebijakan dan insentif untuk mendorong ekspor dalam jangka pendek.
Ekuador
Dengan biaya produksi USD 39 per barel, Ekuador mengalami kerugian manakala harga turun di bawah USD 30. Kerugian ini sangat menekan Ekuador yang i USD 39 per barel. Ini berarti Ekuador tekor saat memroduksi minyak. Padahal, negara tersebut menggantungkan lebih dari 40 persen ekspornya dari minyak. Presiden Rafael Correa memperkirakan pada tahun 2015 terjadi penurunan pendapatan ekspor hingga 50 persen, atau sebesar USD 7 miliar. Ekuador terpaksa memangkas eksplorasi dan produksi.
Iran
Turunnya harga minyak memberikan efek cukup besar bagi Iran yang menggantungkan pendapatannya dari minyak. Wakil Presiden Iran Eshaq Jangahiri mengakui, harga minyak rendah akan memberikan masalah bagi Iran karena impor, ekspor, investasi serta proyek-proyek industri dibangun dari pendapatan minyak. Turunnya harga minyak juga dikhawatirkan menyurutkan minat investasi. Padahal, Iran sedang butuh investasi besar setelah pencabutan sanksi. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Iran akan melambat menjadi 1,9 persen pada tahun 2015 dari 3 persen di tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi Iran akan membaik menjadi 5,8 persen pada tahun 2016 dan 6,7 persen di tahun 2017, setelah sanksi ekonomi dicabut. Produksi minyak juga diharapkan meningkat menjadi 3,6 juta barel pada tahun 2016 dan 4,2 juta barel pada tahun 2017.
Irak
Irak memangkas belanjanya menjadi 105 triliun dinar (USD 88 miliar) pada tahun 2016, lebih rendah 12 persen dari tahun 2015. Anggaran itu tidak memberikan ruang untuk investasi. Pemerintah Irak juga mengeluarkan kebijakan, termasuk upah sektor publik. Baghdad mencoba untuk menjual surat utang hingga USD 6 miliar. Ini merupakan yang pertama kalinya sejak 9 tahun, untuk mendanai defisit anggaran. Irak juga minta bantuan ke IMF. Tahun 2015, Irak mendapatkan pendanaan USD 1,24 miliar dan bisa mendapatkan lagi pinjaman jika dapat mengurangi defisit di bawah program yang dipantau IMF. Irak juga menjual surat utang internasional. IMF memperkirakan defisit anggarannya menyempit dari 23,1 persen menjadi 17,7 persen. Syaratnya, Irak menaati program IMF.
Kuwait:
Kuwait mulai bersiap menghadapi kesulitan ekonomi dengan mengeluarkan kebijakan untuk pemangkasan subsidi energi dan harga pangan. Kebijakan tersebut diambil dengan tetap memperhatikan kebutuhan dasar warga Kuwait. Parlemen Kuwait sebelumnya menyepakati defisit sebesar USD 27 miliar, atau hampir setengah dari belanja karena rendahnya harga minyak. Anggaran mengasumsikan harga minyak USD 45 per barel. Pemerintah juga berniat mengenakan pajak korporasi untuk perusahaan lokal.
Libya
Libya diperkirakan mengalami defisit anggaran hingga 52 persen PDB. Perekonomian Libya juga diperkirakan mengalami kontraksi hingga 24 persen pada tahun 2014, setelah turun hingga 13,6 persen pada tahun 2013. Salah satu pemicunya adalah turunnya produksi minyak menjadi hanya 0,5 juta barel per hari pada tahun 2014, dari sebelumnya 1 juta barel per hari. Bank Dunia memrediksi ekonomi Libya minus 5,2 persen pada tahun 2016, sebelum membaik jadi 35,7 persen pada tahun 2016.
Nigeria:
Nigeria pada tahun 2015 mengurangi belanja hingga 23 persen sehingga defisit bisa berkurang menjadi hanya 1,6 persen dari PDB. Nigeria mencari utangan untuk mendanai belanja guna mendorong pertumbuhan.
Qatar:
Qatar harus memangkas belanja hingga 7 persen menjadi USD 56 miliar pada tahun 2016. Pendapatan diperkirakan turun hingga sepertiga, jika harga minyak secara rata-rata USD 48 per barel. Pertumbuhan diperkirakan melambat ke 4,5 persen dari sebelumnya 4, persen. Defisit anggaran diperkirakan mencapai 2,1 persen setelah sempat surplus 1,7 persen tahun 2015.
Uni Emirat Arab
Uni Emirat Arab mencabut subsidi BBM untuk transportasi, menaikkan tarif air dan listrik hingga 170 persen dan 40 persen guna mengatasi kurangnya pemasukan akibat turunnya harga minyak. Beberapa perusahaan seperti Etihad Rail mengurangi karyawan. Pertumbuhan diperkirakan stabil di 3 persen. UEA diperkirakan mengalami defisit anggaran sebesar 2,1 persen.
Venezuela
Anjloknya harga minyak merupakan malapetakan bagi Venezuela yang menggantungkan sebagian besar pendapatannya dari minyak. Ditambah ancaman tingginya inflasi, Venezuela kini di ambang gagal bayar utang. Pada 15 Januari 2016, Presiden Venezuela Nicolas Maduro mendeklarasikan “Darurat ekonomi”. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Venezuela minus 7 persen pada tahun 2015.
Indonesia
Indonesia mungkin menjadi satu-satunya negara OPEC yang justru diuntungkan dengan turunnya harga minyak. Dengan turunnya harga minyak, proses pencabutan subsidi BBM yang bernilai ratusan triliun bisa dilakukan secara mudah oleh pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Pada awal 2015, pemerintahan baru Jokowi – JK memberlakukan mekanisme baru harga BBM tanpa subsidi. Proses pencabutan subsidi berjalan dengan mulus karena harga BBM yang dijual bisa tetap rendah meski tanpa subsidi. Masalah subsidi ini sebelumnya sangat membebani anggaran pemerintah karena nilainya sangat besar. Pada APBN 2014 saja, nilai subsidi BBM mencapai Rp 230 triliun. Sayangnya, subsidi tersebut justru banyak dinikmati oleh masyarakat mampu.
Meski demikian, pemerintah Indonesia mulai waspada dengan harga minyak yang terus turun. Ini dikarenakan turunnya harga minyak turut menyeret turunnya harga komoditas. Padahal, komoditas merupakan salah satu andalan pendapatan ekspor.
Pemerintah Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen pada tahun 2016. Target itu lebih tinggi dari capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 yang hanya 4,79 persen. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 tersebut merupakan yang terendah dalam enam tahun terakhir.