Menuju konten utama

Halloween yang Tak Lagi Sakral dan Seram

Bukannya membikin takut, Halloween masa kini dirayakan dengan kostum aneh, heboh, atau seksi.

Halloween yang Tak Lagi Sakral dan Seram
Seorang perempuan dengan riasan wajah unik ikut meramaikan gelaran perayaan Halloween di bilangan Kemang, Jakarta, Sabtu (28/10/2017).tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Seorang perempuan berhijab mengunggah selfinya di Instagram. Pada sebelah pipinya, terlihat luka bakar yang mencuatkan kesan mengerikan. Di foto lain, seorang laki-laki tampak serupa zombi dengan pupil kecil, bekas luka, dan noda darah pada wajah dan lehernya. Lebih membikin bergidik, pada sebelah matanya tertanam sebuah kaleng minuman.

Masih dari platform media sosial yang sama, dua bocah berpose mengenakan kostum penyihir perempuan dan kostum labu Jack O’ Lantern. Semua ini dapat ditemukan ketika Anda mencari tagar #halloweenIndonesia di Instagram.

Di Jakarta, sejumlah pesta kostum digelar dengan mengusung tema Halloween. The Safe House di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, misalnya, menggelar program "Time After Time: Bloody Promnight" pada Sabtu (28/10) malam kemarin.

Sekumpulan anak muda mengenakan macam-macam kostum mulai dari yang mengerikan hingga yang eksentrik meski tidak sejalan dengan tema. Ada yang memilih kostum bertema Pengabdi Setan, berdandan ala malaikat, mencontek gaya Jin Kura-Kura dari Dragon Ball, sampai memakai seragam sekolah yang dicoret-coret. Pesta kostum serupa juga diadakan di Ecology, Kemang, Jakarta Selatan.

Baca juga:Joko Anwar dan Polesan Film Pengabdi Setan

Sederet perayaan Halloween pun dibuat dengan menyasar anak-anak. Selain menggelar pesta untuk anak muda pada Sabtu malam, Ecology juga mengadakan Halloween Brunch pada Minggu (29/10) siang. Para pemilik anjing pun sempat berkesempatan unjuk gaya peliharaan mereka pada perayaan Halloween ini. Pada 2015 silam, Lippo Mall Kemang menggelar acara Dog’s Halloween Party sepanjang 30 Oktober hingga 1 November.

Awal Mula Perayaan Halloween

Acara yang dihelat pada pengujung Oktober ini jelas bukan tradisi daerah nusantara. Tradisi dan folklor Halloween dapat ditelusuri dari budaya Celtic, Romawi kuno, serta Katolik. Bangsa Celt merayakan festival orang-orang mati yang dinamakan Samhain—artinya “akhir musim panas”—pada Zaman Besi.

Pada masa ini, bangsa Celt percaya bahwa arwah-arwah akan keluar, termasuk arwah penyihir dan setan. Untuk menenangkan arwah dan setan tersebut, mereka menyajikan makanan dan minuman yang merupakan hasil panen mereka sebelum musim dingin tiba.

Bukan hanya bangsa Celt dan Gaul saja yang memiliki tradisi merayakan hasil bumi. Orang-orang Romawi kuno juga merayakan festival Pomona—dewi buah dan taman—pada kisaran tanggal 1 November.

Mulai abad ke-9, orang-orang Katolik di Inggris menjadikan 1 November sebagai hari peringatan santo-santa. Satu malam sebelum perayaan ini diperingati sebagai All Hallows Even, cikal bakal istilah Halloween. All Hallows Even diikuti dengan praktik pengusiran roh dan penghormatan kepada orang-orang mati di berbagai negara Eropa. Mereka percaya bahwa api bisa mengusir roh jahat, maka api unggun pun dibuat di pemakaman.

Di samping itu, mereka juga mengadakan pertunjukan dan prosesi yang di dalamnya terdapat pemberian hadiah atau uang. Inilah yang kemudian diteruskan dalam tradisi “tricks or treats” pada era modern di negara-negara Barat.

Di Country Cork, Irlandia, orang-orang datang dari rumah ke rumah dan mengikuti satu orang yang menutupi tubuhnya dengan kain putih dan menenteng kepala kuda. Sementara di Wales, bocah laki-laki dan perempuan memakai pakaian dari lawan gendernya saat menghampiri rumah-rumah pada All Hallows Even. Imigran-imigran dari Irlandia dan Inggris lantas membawa tradisi ini ke tanah Amerika Serikat, tempat Halloween menjadi salah satu perayaan populer di samping Natal dan Thanksgiving.

Rupa-Rupa Kostum Halloween

Meski kini kostum dengan beragam tema jamak dikenakan pada Halloween, mulanya hanya kostum dengan tema tertentu yang dipilih oleh orang-orang yang merayakannya. Pakaian compang-camping atau yang serupa hantu atau penyihir dikenakan supaya mereka bisa mengelabui roh jahat yang berkeliaran pada tanggal 31 Oktober.

Mereka juga membubuhi wajahnya dengan abu supaya roh jahat tidak menghampiri. Dulu di daerah Jerman dan Perancis, orang-orang menggunakan kostum dari kulit dan kepala hewan untuk bisa berhubungan dengan arwah-arwah pada peringatan Halloween.

Menarik untuk melihat tradisi Halloween yang diteruskan ke berbagai negara. Bila dalam perayaan lain di Amerika Serikat seperti Natal, Valentine, atau Paskah yang diangkat adalah sosok-sosok baik—seperti Santa Claus, Cupid, dan kelinci Paskah—, dalam perayaan Halloween, justru sosok-sosok antagonis yang ditonjolkan. Caplow et. al. (1982) yang menulis Middletown Families: Fifty Years of Change and Continuity memandang Halloween sebagai antitesis dari perayaan-perayaan lain di Negeri Paman Sam.

Pada perkembangannya, orang-orang tidak lagi memakai kostum menyeramkan saja saat berpesta atau mendatangi rumah-rumah untuk meminta hadiah. Awal abad 20, pesta topeng kerap dilakukan saat Halloween. Hal-hal yang dianggap eksotis bagi masyarakat Barat pun menjadi inspirasi kostum untuk perayaan ini, contohnya pakaian orang-orang Mesir.

Berbeda dengan tujuan awal untuk mengelabui setan, penggunaan kostum menyeramkan pada perayaan Halloween modern lebih sering dimaksudkan untuk menakut-nakuti atau malah semata untuk mendulang keseruan. Tidak ada lagi pakem pasti yang diterapkan setiap 31 Oktober.

Seiring dengan menyebarnya budaya populer dari berbagai penjuru dunia, utamanya dari Amerika Serikat, tokoh-tokoh yang menginspirasi pemilihan kostum Halloween pun bertambah. National Retail Federation mencatat, tahun ini pakaian bertema tokoh komik DC dan Marvel masuk dalam lima besar pilihan kostum Halloween terpopuler di samping penyihir dan bajak laut. Sementara di kalangan anak-anak, karakter Princess, superhero, dan tokoh-tokoh Star Wars termasuk dalam kostum-kostum yang paling sering dipilih.

Representasi tokoh-tokoh dalam perayaan Halloween di berbagai negara tidak lepas dari tren yang ada di media massa lokal. Karakter Suzanna yang identik dengan setan misalnya, dicantumkan pada poster "Time After Time: Bloody Promnight". Hal-hal yang tak horor sama sekali pun sah-sah saja ditunjukkan dalam pesta kostum Halloween.

Baca juga: Film Horor dan Kegemaran akan Ketakutan

Pakaian seksi ala model-model majalah Playboy sampai kostum Pikachu dan Bugs Bunny bukanlah hal yang tabu untuk dikenakan saat perayaan ini. Pengalaman berdandan habis-habisan atau memakai baju yang eksentrik bukanlah bagian dari keseharian. Maka tak heran bila pesta kostum ini dimanfaatkan sebagian orang untuk unjuk diri dan bersenang-senang.

Infografik Takut

Rogoh Kocek untuk Berpesta Halloween

Popularitas Halloween di Amerika Serikat mendorong perilaku konsumerisme masyarakat. Mulai dari biaya membeli kostum, berdandan, sampai biaya pengadaan makanan atau hadiah rela mereka keluarkan. Tahun 2012, biaya total yang dihabiskan untuk perayaan Halloween di sana diestimasikan sebesar $8 triliun, sementara lima tahun kemudian, angka ini melonjak hingga $9,1 triliun. Rata-rata pada 2017 ini, warga Amerika Serikat menghabiskan $86,13 untuk keperluan Halloween.

Baca juga: Konsumerisme Valentine, Cintaku Mahal di Modal

Bagaimana dengan di Indonesia? Popularitas Halloween boleh dikatakan hanya menyentuh kalangan tertentu saja karena tidak semua tertarik dengan pesta kostum yang digadang-gadang dalam perayaan ini. Untuk bergabung dalam pesta yang digelar The Safe House, pengunjung perlu mengeluarkan Rp100 ribu yang ditukar dengan minuman. Sementara untuk Halloween Brunch, pengunjung dikenakan biaya Rp200 ribu.

Jika kita kembali melihat akar tradisinya, perayaan Halloween kini telah digeser. Halloween bukan lagi tradisi sakral, melainkan perayaan ekspresi diri yang mendatangkan untung berlipat bagi beragam industri.

Baca juga artikel terkait HALLOWEEN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani