tirto.id - Dalam acara peringatan ulang tahun Ajip Rosidi yang ke-50 pada 1988, panitia membagikan buku berjudul Ajip Rosidi Setengah Abad yang berisi kumpulan tulisan para sahabat Ajip. Pada kesempatan tersebut, Ajip juga membagikan buku bertajuk Hurip Waras! yang isinya berupa dua memoar yang ditulis dalam bahasa Sunda. Pertama, tentang perjalanan hidup Ajip memasuki dunia sastra, dan kedua tentang Kongres Pemuda Sunda yang digagas olehnya.
Acara yang digelar secara sederhana itu bagi Ajip terasa penuh keakraban dan mengharukan. Baginya, gelaran tersebut merupakan bentuk penghargaan sebagian masyarakat kepada dirinya, terutama bagi karya-karyanya.
Namun, pada saat itu pula Ajip bertanya-tanya dalam batin. “Tetapi apa sebenarnya yang telah kubuat? Rasanya tidak ada. Atau kalaupun ada, tidak banyak,” tulisnya dalam Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008).
“Apa artinya karyaku bagi perkembangan bahasa dan sastra? Aku tahu diri, karyaku tidak istimewa. Mungkin kritik dan esaiku ada yang penting, tetapi rasanya kurang mendalam, karena keterbatasan visi dan ilmuku juga,” ia terus bertanya-tanya.
Di tengah rentetan pertanyaan itu, ia menganggap bahwa perkembangan bahasa dan sastra Indonesia, juga bahasa daerah, kian memprihatinkan. Menurutnya, pemerintah tidak menganggap penting buku, sastra, dan tak peduli terhadap budaya gemar membaca.
“Seakan sengaja membiarkan rakyat tetap bodoh,” imbuhnya.
Ajip terutama menyoroti kondisi bahasa daerah yang menurutnya kian terpinggirkan. Karena bahasa ibunya adalah bahasa Sunda, maka ia pun mencatat sejumlah kondisi yang tengah dihadapi oleh bahasa Sunda.
Dalam catatannya, pada 1988 sudah tidak ada koran yang terbit dalam bahasa Sunda, yang ada hanya dua-tiga majalah yang tirasnya sangat terbatas. Para penulis yang membuat karya dalam bahasa Sunda kerap tak mendapat imbalan. Jika pun mendapat honorarium, jumlahnya amat sedikit, lebih rendah daripada kalau si penulis membuat karyanya dalam bahasa Indonesia. Padahal, para penulis tersebut mengakui bahwa menulis dalam bahasa Sunda jauh lebih sulit daripada menulis dalam bahasa Indonesia.
“Tetapi aku lihat ada saja yang muda-muda yang menulis dalam bahasa Sunda. Mengapa? Gejala ini tidak aku mengerti. Tetapi kenyataan ini amat mengharukan,” tulis Ajip.
Ia kemudian berpikir untuk memberikan hadiah kepada para penulis muda itu sebagai bentuk perhatian terhadap karya mereka. Ajip berharap hadiah tersebut mampu menjadi dorongan bagi para penulis muda untuk terus menulis dalam bahasa Sunda. Ia memilih nama “Rancagé” yang diambil dari bahasa Sunda, yang artinya “aktif-kreatif”.
Sejak awal ia berpikir bahwa jumlah hadiah bukan hal yang utama. Selain karena keterbatasan dana, ia juga berpikir bahwa perhatian lebih penting daripada jumlah hadiah yang diterima. Maka ia putuskan setiap tahun hanya ditetapkan satu peraih hadiah, dengan jumlah yang diterima sebesar satu juta rupiah.
Pertimbangan penetapan satu peraih hadiah setiap tahun adalah agar jumlah uang yang diterima tidak terbagi-bagi sehingga jumlahnya akan semakin kecil. Meski demikian, uang sebesar itu pada tahun 1988 dinilai cukup besar, karena jika dibandingkan dengan honorarium penulis dalam bahasa Sunda (jika beruntung) jumlahnya hanya belasan ribu rupiah.
“Dan yang penting, jumlah itulah yang bisa kusisihkan dari gajiku di Jepang,” tulis mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta tersebut.
Dari Sastra Sunda sampai Sastra Banjar
Setahun setelah gagasan tersebut tercetus, edisi pertama Hadiah Sastra Rancage langsung digelar pada 1989. Yus Rusyana, pengarang kumpulan cerpen Jajatén Ninggang Papastén, menerima hadiah tersebut.
Dari awal, Ajip Rosidi membatasi hanya karya yang berbentuk buku yang berhak menerima hadiah ini. Jika karya yang dimuat di dalam majalah atau tabloid diikutsertakan, ia yakin pemberian hadiah tersebut akan sukar dilaksanakan karena karya yang dipilih jadi membengkak dan keberadaannya kerap tercecer.
Tahun berikutnya, ia berpikiran untuk memberikan juga hadiah tersebut kepada orang atau lembaga yang berjasa dalam pemeliharaan, pembinaan, dan pengembangan bahasa dan sastra Sunda. Dari segi pendanaan ternyata Ajip merasa berat jika harus menyediakan dana sebesar 2 juta rupiah setiap tahun.
Untuk menambal kekurangan tersebut, ia mendatangi H.I. Martalogawa atau yang biasa ia panggil Kang Adang. Martalogawa menyanggupi membantu penyediaan dana tersebut dengan satu syarat: namanya tak mau disebut-sebut sebagai pendonor.
Maka mulai 1990, Hadiah Sastra Rancagé diberikan juga kepada orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra Sunda. Penerima pertamanya yaitu Mohamad Koerdi alias Sjarif Amin, wartawan senior yang pernah aktif di koran Sipatahoenan dan penulis beberapa memoar tentang Kota Bandung dalam bahasa Sunda.
Pada 1993, Ajip Rosidi dan beberapa koleganya mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancagé. Di tahun yang sama, selain diberikan kepada sastrawan yang menulis karyanya dalam bahasa Sunda dan kepada orang yang dinilai berjasa dalam mengembangkan bahasa dan sastra Sunda, pemberian hadiah ini diperluas dengan kehadiran Hadiah Samsudi, yakni penghargaan yang khusus diberikan kepada pengarang yang menulis cerita anak-anak dalam bahasa Sunda.
Samsudi adalah pengarang Sunda yang kerap menulis cerita anak-anak seperti Carita Budak Teuneung, Carita Budak Minggat, Carita Si Dirun, Jatining Sobat, Babalik Pikir, dan lain-lain. Ia meninggal dunia pada 1987 dan hadiah ini adalah semacam tribute untuknya.
Setahun setelah mendirikan yayasan, hadiah ini diperluas dengan diberikan juga kepada sastrawan dan orang yang berjasa dalam mengembangkan sastra Jawa. Pada 1998, sastra Bali mulai diikutsertakan. Sepuluh tahun kemudian giliran sastra Lampung bergabung.
Pengarang dalam sastra Batak mulai diberi hadiah pada 2015, dan penulis dalam sastra Banjar menyusul tahun berikutnya. Sampai 2018, tercatat ada 6 bahasa daerah yang diberikan Hadiah Sastra Rancagé. Mulai tahun 2020 ditambah dengan memberikan hadiah kepada sastrawan yang menulis karya dalam bahasa Madura.
Bertahan dalam Keterbatasan
Tahun ini, sepeninggal Ajip Rosidi pada 29 Juli 2020, tepat hari ini setahun lalu, Hadiah Sastra Rancage kembali diberikan kepada sejumlah pengarang yang menulis dalam bahasa daerah. Kini jumlah hadiah yang diterima setiap pemenang sebesar 7,5 juta rupiah. Mungkin ini angka yang sedikit jika dibandingkan dengan penghargaan-penghargaan lain yang serupa. Namun, seperti kata Ajip ketika menggagas pemberian hadiah ini: jumlah bukan hal yang utama, melainkan perhatian dan penghargaannya.
Seperti diungkapkan Hawe Setiawan—waktu menjadi pengurus Yayasan Kebudayaan Rancagé—dalam majalah Surah edisi April-Mei 2013, dana untuk mendukung pemberian hadiah ini terutama berasal dari sumbangan individu yang duduk dalam susunan kepengurusan yayasan atau mereka yang bersimpati pada kegiatannya.
“Kadang-kadang, ada juga lembaga swasta di Indonesia yang ikut menyumbangkan dana untuk kegiatan yayasan ini,” imbuhnya.
Sebagai satu-satunya hadiah sastra untuk buku berbahasa daerah, Hadiah Sastra Rancagé kiranya masih berjalan dalam setapaknya yang sederhana. Tapi, ia mencoba bertahan di tengah kurang populernya karya-karya dalam bahasa daerah.
Seperti judul buku karya Yus Rusyana, pemenang edisi pertama, Jajatén Ninggang Papastén, yang berarti “keberanian berhadapan dengan takdir”, barangkali seperti itulah nasib Rancagé sampai saat ini. Tahun depan dan tahun-tahun berikutnya kita tidak tahu akan seperti apa takdir mengiringi ikhtiar melestarikan bahasa daerah itu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 2 Oktober 2018. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan