tirto.id - “Gus Acep, kalau memakai peci wajah sampeyan mirip sekali dengan Gus Mus ketika muda,” kata Zawawi Imron.
Orang yang dipanggil demikian langsung terkejut. Ada dua alasannya: pertama, tidak pernah ada seseorang memanggilnya dengan embel-embel “gus”. Kedua, orang yang disapa Zawawi saat itu tidak tahu siapa “Gus Mus” yang dimaksud.
Dikisahkan Acep Zamzani Noor dalam esainya menyambut gelar kehormatan Doctor Honoris Causa Kiai Mustofa Bisri di buku Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu (2009: 121-123), puluhan penyair dari penjuru Indonesia saat itu sedang berkumpul di Taman Ismail Marzuki (TIM). Penyair-penyair ini hadir atas undangan Dewan Kesenian Jakarta pada acara Forum Penyair Muda tahun 1987. Di antara penyair yang hadir ada cukup banyak dari kalangan pesantren seperti Ahmad Syubanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Nasruddin Anshory, Zawawi Imron, dan banyak lagi.
Menjawab ketidaktahuan Acep, Zawawi langsung menjelaskan, “Gus Mus itu Kiai Mustofa Bisri, beliau juga suka menulis puisi.”
Mendengar itu, Acep langsung paham siapa sosok yang dimaksud Zawawi. Nama Kiai Mustofa Bisri adalah nama familiar bagi Acep. Bukan hanya karena puisi-puisinya merupakan salah satu puisi favorit Acep, melainkan juga karena paman Acep adalah teman Gus Mus saat sama-sama kuliah di Al-Azhar, Mesir.
Sebelum pertemuannya dengan Zawawi, Acep tidak mengenal nama “Gus Mus” sebelumnya. Tentu saja, karena puisi-puisi Gus Mus memang selalu ditulis dengan nama pengarang: Mustofa Bisri.
“Sejak saat itu pula saya paham bahwa 'gus' merupakan sebutan atau gelar untuk anak kiai; sebutan ini akan tetap melekat meskipun anak kiai tersebut sudah bermetamorfosis menjadi kiai,” tulis Acep.
Para Gus Seumur Hidup
Sebutan "Gus" baru-baru ini kembali jadi perbincangan di media sosial. Tentu saja ini berkaitan dengan Tommy Soeharto yang mendapatkan gelar kehormatan “Gus” oleh Forum Ulama Berkarya (Fuber). Gelar yang disematkan kepada Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya ini disimbolkan dengan peci dan sorban di Hotel Singgasana Surabaya pada Rabu (10/5) silam. Peci dan sorban yang menjadi tanda, bahwa Tommy akan punya embel-embel baru sebelum namanya disebut, yakni “Gus Tommy”.
Sudah mahfum memang, sebutan “Gus” digunakan sebagai embel-embel kehormatan dari seorang putra kiai atau ulama yang memiliki murid atau santri. Terutama jika kiai atau ulama tersebut mengasuh sebuah pondok pesantren. Sebutan yang jika ditarik ke belakang memiliki akar budaya melekat pada terminologi kata “kiai”.
Gelar kiai sendiri merupakan turunan dari asal kata “Ki” dan “Yai” dalam tradisi Jawa yang dimaksudkan sebagai panggilan terhadap sosok yang dituakan di suatu daerah. Sebutan ini pada perkembangannya kemudian bermetamorfosis menjadi “kiai” untuk ulama laki-laki dan “nyai” untuk ulama perempuan.
Sebutan ini juga kemudian jadi begitu lekat pada tokoh agama Islam saja. Meskipun sebenarnya sebutan “ki” sendiri lebih merujuk pada sosok yang dihormati bukan hanya pada ilmu agama, tetapi juga pada ilmu-ilmu yang lain. Paling tidak, kita mengenal nama-nama seperti Ki Joko Bodo, Ki Gendeng Pamungkas, bahkan sampai Ki Hajar Dewantara pada masa lalu.
Seperti halnya panggilan kiai, panggilan "Gus" juga tidak ujug-ujug menjadi kata tanpa asal yang jelas. Selama ini, sudah mahfum bahwa sebutan "Gus" memiliki dimensi sosial yang kental dan disematkan tidak semata-mata hanya karena alasan seorang anak kiai, akan tetapi juga adanya pengakuan kompetensi untuk meneruskan perjuangan sang ayah dalam mendidik agama kepada masyarakat.
Meskipun begitu, tidak berarti "Gus" akan otomatis akan jadi kiai. Beberapa "Gus" malah enggan dipanggil kiai sekalipun sebenarnya sudah layak. Gus Yahya Cholil Staquf misalnya. Mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), lebih familiar dipanggil dengan sebutan “Gus Yahya” daripada “Kiai Yahya”.
Gus Yahya menyebut dalam esainya Sedikit-sedikit Kyaibahwa panggilan seorang "gus" sudah pasti akan berubah menjadi kiai karena—salah satunya—“kepaten bapak” (ditinggal mati ayah). “Begitu ayah saya meninggal, sekelompok orang langsung memanggil saya ‘kiai’, tanpa ‘fit and proper test’ sama sekali,” tulis Gus Yahya.
Lalu kenapa Gus Yahya masih lekat dengan panggilan "gus"? Ia punya penjelasan sendiri soal ini. Penjelasan yang berkaitan dengan jawaban yang muncul dari Gus Mus dan Gus Dur saat Gus Yahya bertanya kepada keduanya.
Menurut Gus Mus, sebutan “Gus” sebenarnya diperuntukkan bagi putra kiai yang merasa dirinya belum pantas disebut kiai. Sedangkan bagi Gus Dur, “Saya sih lebih seneng dipanggil gus. Sebutan kiai terlalu berat buat saya. Kiai itu kan harus kuat tirakat. Makan sedikit, tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit. Enggak kuat saya. Enakan jadi gus saja. Dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong.”
Den Bagus Tommy Soeharto
Di sisi lain, gelar “Gus” yang disematkan kepada Tommy berpotensi memicu perdebatan jika menggunakan perspektif yang sama dalam tradisi pesantren. Sebab, "Gus" bukanlah jabatan yang bisa disematkan layaknya gelar kehormatan bangsawan Kraton seperti Roy Suryo dengan sebutan Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Suryo Noto Diprojo (sekalipun memang punya hubungan kerabat dengan Puro Pakualaman) atau Gita Wirjawan yang mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dengan sebutan KRT Joyo Negoro.
Pertanyaan-pertanyaan pun akan bermunculan, memangnya sejak kapan Presiden Soeharto jadi kiai?
Untuk menjawab hal ini kita perlu untuk kembali ke akar sebutan gus dari tradisi Jawa. Dalam tradisi Jawa, sebutan untuk memanggil seorang anak bangsawan laki-laki adalah “Den Bagus”. Akronim dari kata “Raden Bagus”. Sebuah panggilan kehormatan bagi putra bangsawan atau tuan tanah. Untuk anak perempuan bangsawan, panggilannya adalah “Raden Ayu” dan jika sudah menikah akan dipanggil “Raden Ajeng”.
Panggilan Den Bagus ini pada perkembangannya kemudian juga merujuk pada putra “Ki” atau “Yai”, tokoh masyarakat yang punya level sosial cukup tinggi. Anak-anak mereka—terutama yang laki-laki—juga akan dipanggil dengan sebutan “Den Bagus” layaknya anak bangsawan atau tuan tanah. Pada perkembangannya kemudian akronim Den Bagus hanya menyisakan kata “Gus” saja.
Dari penjelasan demikian, justru panggilan “Gus” untuk Tommy memang layak saja diberikan. Tentu saja bukan atas alasan sebagai putra kiai atau kompetensinya di bidang agama, melainkan karena ia adalah putra dari “bangsawan” dan “tuan tanah” yang menguasai Indonesia sepanjang periode Orde Baru di masa lalu. Barangkali perdebatan baru akan mereda jika embel-embel kata “Gus” dikembalikan lagi sesuai terminologi zaman feodal untuk Tommy. Membuat panggilannya menjadi “Den Bagus Tommy”, alih-alih “Gus Tommy”.
Terlepas dari itu, seharusnya Tommy menyadari bahwa jika penggunaan label “Gus” malah bisa jadi preseden buruk bagi kariernya di dunia politik. Beberapa “Gus betulan” seperti Gus Dur, Gus Mus, dan Gus Yahya enggan dipanggil kiai dan lebih memilih dipanggil “Gus” sekalipun kapasitas dan kemampuan ketiganya sudah layak dipanggil kiai karena alasan “merasa tidak pantas”.
Maka apabila Tommy betul-betul akan mempertahankan panggilan “Gus” ke depan, apakah ini juga menjadi tanda bahwa Gus Tommy sadar diri kemampuannya untuk menjadi penerus “Ki Soeharto” memang belum pantas?
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti