Menuju konten utama
Miroso

Gula dan Obsesi Nenek Terhadap Rasa Manis

- Dalam Suikerkultuur: Jogja yang Hilang (2019), disebutkan dalam kurun 1860 - 1930 ada 19 pabrik gula di Yogyakarta saja.

Gula dan Obsesi Nenek Terhadap Rasa Manis
Header Miroso Gula & Obsesi terhadap Rasa Manis. tirto.id/Tino

tirto.id - Teh manis adalah salah satu minuman favorit saya. Legi kenthel, kalau dalam bahasa Jawa. Manis dan pekat. Saya sering membuat teh manis panas untuk menemani saat bekerja. Sensasi menyeruput teh yang masih mengepulkan uap panas benar-benar tidak terkalahkan. Tetapi, agaknya kegemaran saya ini menjadi rancu setiap kali saya pulang ke kampung halaman.

Kampung halaman saya berada di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Hanya sekitar dua jam perjalanan dari Kota Semarang. Di kota kecil ini saya tinggal bersama nenek yang meski telah memasuki kepala delapan tetapi alhamdulillah masih sehat bugar. Setiap kali saya tiba di rumah, nenek pasti akan menawari saya berbagai macam makanan dan minuman, tetapi yang jelas nomor wahid: teh panas.

Perjalanan jauh dan badan lelah, bagi orang tua seperti nenek saya, teh panas adalah obat. Tak peduli hari masih siang dan matahari sedang terik-teriknya. Sebagai perempuan dewasa, awalnya saya sering menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan. Tetapi nenek saya selalu bersikeras.

Sebetulnya, minum teh sudah jadi kebiasaan saya dan keluarga sejak kecil. Biasanya pagi hari, sebelum berangkat sekolah, saya selalu minum teh. Tidak ada kebiasaan minum susu di rumah saya. Belakangan, karena jarang pulang semenjak bekerja, saya tidak menyadari kalau teh buatan nenek berbeda dengan teh yang sering saya buat: manisnya nggak ketulungan. Padahal, kami sama-sama suka manis tapi toleransi kami terhadap rasa manis ternyata berbeda jauh.

Perbedaan ini kadang-kadang menyebabkan masalah, terutama ketika sedang ada tamu di rumah dan saya bertugas untuk menyiapkan minuman. Pernah suatu kali, rumah saya kedatangan tamu, keluarga dari jauh yang sudah lama tidak berkunjung atau dengan kata lain tamu penting bagi nenek. Di dapur, saya menjerang air dan menuang teh tubruk ke dalam teko. Begitu gelas saya keluarkan dan saya jejer rapi di atas nampan, saya diserang kecemasan.

Saya bimbang menakar gula untuk setiap gelas. Satu sendok teh apakah cukup? Satu sendok makan bukankah kebanyakan? Atau malah dua sendok makan? Saya cemas karena nenek selalu mewanti-wanti: suguhan buat tamu itu harus manis, jangan sampai kemlenying supaya nggak dianggap pelit. Kemlenying. Hambar. Tawar. Alhasil, menyiapkan minuman bagi tamu selalu jadi momen yang menegangkan bagi saya.

Menjadi tuan rumah yang dianggap pelit adalah petaka bagi orang-orang desa. Tamu harus dijamu, tak peduli bagaimana pun kondisi keuangan saat itu. Bagi nenek saya, cara terbaik menjamu tamu ya dengan menyuguhkan minuman dan makanan manis. Bahkan, kalaupun kami tidak terlalu suka manis, bagi nenek saya itu bukan masalah besar, asalkan suguhan buat tamu tetap mempertahankan rasa manis. Mengapa nenek saya bersikukuh soal itu? Mengapa di daerah kami, gula jadi simbol yang bahkan punya otoritas untuk menentukan seseorang itu pelit atau dermawan?

Sistem Tanam Paksa dan Bencana Kelaparan di Jawa Tengah

Rasa ingin tahu membawa saya kembali ke masa dua ratus tahun silam ketika sistem tanam paksa diberlakukan di tanah indies. Cultuurstelsel dicetuskan oleh Johannes Graaf van Den Bosch ketika dirinya menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari tahun 1830-1833. Meski cuma menjabat selama kurang lebih tiga tahun, tetapi sistem tanam paksa yang dia prakarsai bertahan hingga puluhan tahun kemudian. Danys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3 (2008) menyebutkan kalau pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan ini untuk menambal kas negara yang habis akibat perang termasuk salah satunya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dari tahun 1825 hingga 1830.

Akibat kebijakan ini, hasil tanaman jadi homogen karena pemerintah kolonial memerintahkan penduduk desa untuk hanya menanam tanaman yang jadi komoditas di pasar dunia. Mereka meminta seperlima tanah milik penduduk ditanami kopi, tebu, teh, atau lada dan hasil ladang diserahkan kepada pemerintah kolonial, itu pun masih ditambah pajak.

Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ladang-ladang perkebunan mulai ditanami tebu secara serentak. Menggantikan jagung dan padi yang jadi bahan pokok makanan bagi penduduk sekitar. Infrastruktur mulai dibangun untuk menunjang kebijakan. Pabrik gula ada di mana-mana.

Dalam buku Suikerkultuur: Jogja yang Hilang (2019), Hermanu, penulisnya, menyebutkan setidaknya dalam rentang waktu 1860-1930 tercatat ada 19 pabrik gula yang memproduksi gula secara besar-besaran di Yogyakarta. Salah satu yang hingga kini masih bertahan adalah Pabrik Gula Madukismo yang berlokasi di Kasihan, Bantul.

Tanah yang subur dan pekerja murah yang tenaganya diperah habis-habisan membuat industri gula di Jawa berkembang pesat. Belanda mengantongi jutaan gulden yang menjadi cikal bakal kejayaan kolonialisme di Hindia Belanda dari tahun 1835-1940.

Dalam buku Sugar, Steam and Steel: The Industrial Project in Colonial Java, 1830-1885, G. Roger Knight bahkan menyebutkan kalau Pulau Jawa jadi salah satu penyokong terbesar kebutuhan gula dunia. Ia menyebut Hindia Belanda sebagai Oriental Kuba atau Kuba Timur. Sebagai informasi tambahan, Kuba saat itu dijuluki sebagai ‘Surga Gula dari Barat’ karena mesin uap statis untuk memproduksi gula ditemukan di negara ini.

Infografik Miroso Gula dan Obsesi terhadap Rasa Manis

Infografik Miroso Gula & Obsesi terhadap Rasa Manis. tirto.id/Tino

Belanda untung besar karena kebijakan ini, tetapi yang dialami oleh penduduk Bumiputra justru sebaliknya. Sistem tanam paksa menyebabkan rakyat menderita. Bencana kelaparan tak terelakkan lagi karena tanah-tanah pertanian yang semula ditanami singkong, padi, dan jagung jadi terbengkalai. Belum lagi kerugian karena gagal panen dan kewajiban membayar pajak yang sangat memberatkan.

Dalam buku Sejarah Nasional Jilid IV, disebutkan bahwa akibat kelaparan, jumlah penduduk di Demak menurun drastis dari 336 ribu penduduk menjadi 120 ribu penduduk selama kurun waktu 1848-1850. Peristiwa yang sama juga terjadi di Grobogan, penduduk asli Grobogan berkurang dari semula 89.500 penduduk menjadi hanya 9 ribu orang. Kebijakan cultuurprocenten atau bonus saat panen berlebih bagi para priyayi dianggap sebagai dalang. Petani miskin dipaksa bekerja sampai kelelahan hingga tak mampu memenuhi kebutuhan pangan.

Penderitaan yang dialami oleh penduduk Bumiputra mendorong sejumlah intelektual Belanda untuk protes. Mereka menentang kebijakan tanam paksa yang menyengsarakan penduduk Hindia Belanda. Salah satu tokoh yang vokal menentang kebijakan ini adalah Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang menyerukan protes melalui novelnya, Max Havelaar. Pada tahun 18- Dalam Suikerkultuur: Jogja yang Hilang (2019), disebutkan dalam kurun 1860 - 1930 ada 19 pabrik gula di Yogyakarta saja.

70, setelah empat puluh tahun diterapkan, kebijakan cultuurstelsel akhirnya dicabut dengan adanya Undang-Undang Agraria.

Teknik Pengawetan Makanan Menggunakan Gula

Meski telah dicabut, kebijakan tanam paksa masih menyisakan ekses hingga sekarang. Walau tak sedikit yang tutup, masih ada beberapa pabrik gula di Pulau Jawa yang hingga kini masih beroperasi. Di Kabupaten Pati, saya masih bisa menjumpai Pabrik Gula Trangkil yang didirikan pada 1835 oleh H. Muller. Lokasi dan kepemilikannya sempat berganti beberapa kali namun yang jelas, PG Trangkil masih beroperasi hingga saat ini.

Keberadaan pabrik gula di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sekitarnya ikut membentuk kebiasaan masyarakat sekitar termasuk soal selera makanan. Keberadaan tebu mendorong munculnya teknik-teknik pengawetan makanan menggunakan gula. Konon, pengetahuan ini juga muncul akibat ekses dari bencana kelaparan yang sempat melanda penduduk Jawa.

Gula membuat makanan jadi tahan lama karena mampu menyerap cairan sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Proses ini disebut juga dengan proses osmosis, yaitu ketika kadar gula yang sangat tinggi dalam makanan menarik air dari dalam sel mikroba sehingga membuatnya dehidrasi dan perkembangbiakannya melambat. Ada beragam jenis makanan yang menggunakan teknik pengawetan semacam ini, salah duanya adalah baceman dan gudeg yang jadi maskot kuliner Yogyakarta.

Nenek saya lahir jauh sebelum era kemerdekaan. Ia sudah melewati pergantian zaman hingga berkali-kali. Namun, sebagai orang Jawa totok, yang tinggal dan menghabiskan masa hidupnya di Jawa Tengah, selera makanan dan minumannya jelas manis. Bukan sekadar manis, tetapi manis yang nggak ketulungan.

Meski saya pernah memintanya untuk mengurangi takaran gula, tapi toh setiap kali pulang, teh panas yang ia buatkan selalu mempertahankan rasa yang sama: manis banget. Legikenthel, seperti selera orang Jawa Tengah pada umumnya. Saya pun selalu meminumnya sampai habis meski mata saya mengerjap-ngerjap. Kalau saya protes, nenek saya paling-paling hanya tertawa.

Tawa renyah yang selalu saya rindukan.

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Ruhaeni Intan

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Ruhaeni Intan
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Nuran Wibisono