tirto.id - Putusan MA yang mengabulkan uji materi Peraturan KPU terkait calon perorangan DPD yang merangkap jabatan, berbuntut panjang. Putusan itu berbeda dengan putusan MK terkait terkait substansi perkara yang sama.
Uji materi PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu diajukan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO). Pokok perkaranya, OSO meminta MA membatalkan norma yang menyebut calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI harus melepas jabatannya di partai politik.
Perkara yang diujimaterikan OSO ini sebenarnya sudah putus MK. Pada 23 Juli 2018, MK mengeluarkan putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang memutus caleg dan anggota DPD tak boleh menjabat posisi apa pun di parpol.
Putusan MK dan PKPU 26/2018 ini berakibat nama OSO dicoret dari daftar bakal caleg DPD pada September lalu. Ini lantaran OSO tak juga mundur dari posisi Ketua Umum Hanura hingga tenggat yang ditentukan KPU.
Masalah jadi semakin tidak jelas karena MA hingga kini belum juga mengunggah salinan putusan uji materi tersebut. MA lebih memilih mengumumkan hasil uji materi itu lewat media massa. Sikap MA ini dikeluhkan KPU.
"Ini tata cara yang tidak patut," kata Komisioner KPU RI Pramono Unair Tanthowi di kantornya, Kamis (1/11/2018).
Sejauh ini, KPU telah mengirim surat kepada MA agar segera mengirimkan salinan putusan uji materi. Akan tetapi, surat itu belum ditanggapi MA hingga saat ini. KPU merasa tak bisa berbuat apa-apa, lantaran belum menerima salinan putusan.
Ketua KPU RI Arief Budiman berkata, ada kemungkinan KPU bertanya secara resmi ke MA terkait substansi gugatan OSO. Ia juga menyebut segala kemungkinan soal status OSO di pemilu masih terbuka, termasuk potensi nama OSO kembali muncul dalam daftar caleg DPD RI.
Meski begitu, Arief merasa ada kejanggalan lantaran KPU hanya menjalankan putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018. "Lalu bagaimana kaitannya terhadap putusan MK?" kata Arief.
Kenapa Bisa Berbeda?
Perbedaan putusan MA dan MK bukan baru pertama kali terjadi. Pada 2009, kasus serupa juga terjadi. Saat itu, materi yang diuji adalah aturan soal penentuan pembagian kursi tahap ketiga. Putusan MK kemudian yang menjadi acuan.
Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, perbedaan putusan antara MK dan MA merupakan konsekuensi negatif dari diberlakukannya dualisme judicial review. Di Indonesia, masyarakat bisa menguji UU terhadap UUD dan peraturan terhadap UU ke MK dan MA. Dasar hukum uji materi ini Pasal 24C ayat (1) dan 24A ayat (1) UUD 1945.
Menurut Fajar, usulan agar uji materi UU dan peraturan dilakukan di satu lembaga hukum sebenarnya sudah muncul sejak lama. Akan tetapi, usul itu belum terakomodir karena masih sebatas wacana akademik.
"Hukum kita masih menganut dualisme judicial review," tutur Fajar kepada reporter Tirto, Jumat (2/11/2018).
Sementara itu, Juru Bicara MA Hakim Agung Suhadi tak mau menjelaskan kenapa ada dua putusan yang berbeda. Suhadi hanya memberi pernyataan, gugatan OSO terkait PKPU itu dikabulkan.
"Yang bisa saya klarifikasi itu bahwa dikabulkan. Bentuk pengabulannya itu kan nafasnya ada di pertimbangan hukum," ujar Suhadi kepada Tirto.
Putusan Mana yang Harus Dipegang KPU?
Mantan staf ahli MK Refly Harun berpendapat, aturan soal larangan caleg DPD RI merangkap jabatan di PKPU 26/2018 sebenarnya turunan dari putusan MK, pada Juli lalu. KPU hanya menjalankan perintah MK yang berwenang mengeluarkan putusan atas uji materi UU kepada UUD.
"Kasus ini berbeda dengan kasus eks napi koruptor jadi caleg karena semata dibuat KPU sendiri. Kalaupun tak dibuat di aturan KPU, putusan MK itu tetap eksis,” ujar Refly kepada reporter Tirto.
Refly menjelaskan, pemuatan norma larangan caleg perorangan DPD berasal dari parpol dalam PKPU hanya bersifat prosedural karena substansi larangan itu terdapat dalam putusan MK. “[Itu] tak bisa dibatalkan oleh putusan MA." ujar Refly.
Menurut Refly, MA harusnya menjadikan putusan MK sebagai rujukan kala menguji PKPU 26/2018. Oleh karena itu, ia menyarankan KPU tetap mengikuti putusan MK karena posisinya yang dianggap lebih tinggi dibanding putusan MA.
"Aturan baru itu kalau tidak sesuai putusan MK dianggap melanggar. Makanya, menurut saya, MA terlalu tidak berhati-hati," ujar Refly.
Pendapat serupa disampaikan Profesor Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Ni'matul Huda. Menurut Ni'matul, putusan MK dan MA berbeda karena peraturan yang diuji tak sama. Pada konteks MK, barang yang diuji adalah UU Pemilu, sementara MA menguji PKPU 26/2018.
Akan tetapi, Ni'matul menyebut KPU harus tetap mengacu pada putusan MK. Dia berpendapat larangan anggota DPD RI rangkap jabatan sebagai anggota parpol tetap berlaku.
"Kalau objeknya sama-sama tentang DPD seharusnya MA menggunakan putusan MK sebagai dasar pertimbangan. Karena yang diuji MK adalah UU Pemilu 2017 yang menjadi acuan KPU membuat PKPU," ujar Ni'matul kepada Tirto.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih