tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai memberlakukan perluasan sistem ganjil genap, mulai Senin, 9 September 2019, hari ini. Ada 16 ruas jalan tambahan yang mulai memberlakukan sistem ganjil genap ini, untuk kendaraan roda empat pribadi.
Perluasan sistem ganjil genap (gage) tertera dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta (Ingub) No. 66/2019 (PDF) yang diteken Kamis, 1 Agustus 2019. Tujuan dari kebijakan itu salah satunya adalah untuk memperbaiki kualitas udara di ibu kota.
Lantas efektifkah kebijakan ini untuk memperbaiki kualitas udara di ibu kota?
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta Andono Warih mengklaim perluasan sistem gage ini berdampak positif dan mampu perbaiki kualitas udara di Ibu Kota. Klaim itu diambil setelah Pemprov DKI Jakarta melakukan uji coba dari 12 Agustus hingga 6 September 2019.
"Saya yakin semakin ke sini, semakin baik," kata dia kepada reporter Tirto, Ahad (8/9/2019).
Dalam mengukur kualitas udara DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta memasang delapan alat pengukur kualitas udara: lima Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SKPU) dan tiga SKPU berjalan (mobile station) yang tersebar di titik-titik tertentu. Hasilnya positif.
Berdasarkan data SPKU Bundaran Hotel Indonesia, rata-rata konsentrasi polutan jenis PM 2.5 mencapai 12 ug/m3 atau turun 18,9 persen dibanding sebelum kebijakan perluasan gage diterapkan.
Sementara pada SPKU Kelapa Gading, konsentrasi partikel debu halus berukuran 2.5 mikron atau PM 2.5 sebesar 7,57 ug/m3 atau turun 13,51 persen ketimbang sebelum penerapan perluasan sistem ganjil genap tersebut.
Klaim Andono juga didukung data yang diterima Pemprov DKI Jakarta dari citra satelit milik Jepang, Infinite. Selama tiga bulan terakhir, dari Mei hingga Agustus, kualitas udara di DKI Jakarta menurut Infinite, membaik secara signifikan.
"Mereka mengatakan mungkin karena adanya ganjil-genap," klaim Andono.
Tahun depan, lanjut Andono, Pemprov DKI Jakarta akan menambah delapan stasiun pemantau lagi di beberapa titik. Setelah itu, Pemprov DKI Jakarta akan menambah lagi secara rutin dalam beberapa tahun ke depan.
"Jadi tiga tahun ke depan mencapai 20 hingga 25," tuturnya.
Mereka-mereka yang Pesimistis
Kendati uji coba perluasan gage diklaim bisa mengurangi polusi udara, tak sedikit yang pesimistis dengan kebijakan tersebut. Salah satunya adalah dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan perluasan ganjil genap tidak akan efektif jika hanya diberlakukan terhadap kendaraan bermobil saja. Menurutnya, perluasan area ganjil genap juga harus membatasi kendaraan roda dua atau motor.
Paling tidak, kata dia, pembatasan itu bisa diberlakukan di sejumlah ruas jalan seperti Jalan Jenderal Sudirman, Jalan M.H. Thamrin, dan Jalan H.R. Rasuna Said. Menurut Tulus, jika hal tersebut tidak diberlakukan, upaya mengatasi polusi dan kemacetan di Jakarta hanya setengah hati.
"Jika penerapannya hanya setengah hati, tak akan mampu menekan tingginya polusi udara di Jakarta. Pengecualian sepeda motor juga akan mengakibatkan polusi di Jakarta kian pekat, makin polutif," kata Tulus.
Menurut Tulus, pembatasan sepeda motor perlu dipertimbangkan lantaran ada potensi masyarakat mengakali ganjil-genap terhadap roda empat dengan menggunakan sepeda motor.
"Pengecualian sepeda motor yang tak terkena ganjil genap, akan mendorong masyarakat pengguna roda empat berpindah ke sepeda motor," ucapnya
Hal yang sama juga disampaikan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB). Mereka tidak yakin perluasan gage bisa mengurangi polusi udara di ibu kota, apalagi, kontribusi polusi dari kendaraan roda empat juga lebih kecil ketimbang sepeda motor.
"Sepeda motor ini kerap dikecualikan. Untuk ganjil genap saja, sepeda motor ini dikecualikan. Padahal efeknya bisa besar kalau misalnya diterapkan," kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin kepada reporter Tirto.
Berdasarkan survei KPBB, kata Safrudin, sepeda motor menyumbang 44,53 persen dari total emisi per hari. Sementara dari kendaraan lainnya seperti bus mencapai 21 persen, disusul truk dengan 17,7 persen, mobil pribadi 16 persen, dan sisanya mobil berbahan bakar diesel.
Sementara itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menilai perluasan ganjil genap kurang efektif untuk mengurangi polusi udara. Namun ia enggan berkomentar banyak soal itu.
Ia justru menyoroti klaim Pemprov DKI Jakarta yang menyebutkan kualitas udara membaik setelah diterapkannya perluasan gage. Menurutnya, klaim tersebut dinilai kurang akurat jika hanya diambil dari delapan stasiun SKPU saja
"Kalau klaim menurun sekian persen, berapa lama diuji coba, ada stasiun pemancar udara nggak? Biar datanya bisa kita analisis, makanya datanya harus dibuka," ujarnya kepada reporter Tirto.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Ringkang Gumiwang