tirto.id - Dulu, ia dikenal sebagai gelandang tangguh, ngotot, terbiasa tampil garang, bahkan cenderung temperamental. Tak hanya kala bertanding, watak aslinya pun cukup keras dan sangat berani mengambil keputusan yang paling berisiko sekalipun. Ingatlah bagaimana saat ia nekat menyeberang dari Real Madrid ke Barcelona pada 1996 silam.
Tapi, kegarangan itu memiuh pada Kamis, tanggal 2 Maret 2017, lalu. Luis Enrique, ya, si mantan jenderal lapangan tengah yang pemarah itu, memilih turun gelanggang pada akhir musim mendatang. Ia mengumumkan bahwa musim ini adalah masa pengabdiannya yang terakhir sebagai manajer atau pelatih Barcelona.
Bahkan, Enrique mengakui bahwa keputusan itu telah dipikirkannya sebelum musim 2016/2017 ini dimulai. “Saya telah memberitahukan kepada Albert Soler (direktur klub) dan Robert Fernandez (sekretaris tim) pada saat pramusim bahwa ada kemungkinan saya tidak melanjutkan kontrak di sini,” ungkapnya seperti dikutip dari situs resmi klub.
Belum diketahui apa alasan sesungguhnya yang membuat Enrique memilih meletakkan tugasnya di Barca akhir musim nanti. Kekalahan telak 0-4 dari tuan rumah Paris Saint Germain (PSG) di Liga Champions beberapa waktu lalu barangkali menambah kemantapannya untuk pergi dan sejenak menyepi.
Bisa Semujur Guardiola?
Selama hampir tiga musim menukangi Barcelona sejak 19 Mei 2014, apa yang telah dicapai Luis Enrique sejatinya sangat apik. Masing-masing dua trofi juara La Liga dan Copa del Rey, serta satu gelar kampiun Liga Champions, Piala Super Eropa, Piala Super Spanyol, dan Piala Dunia Antar Klub, telah dipersembahkannya.
Di bawah besutannya yang hingga 2 Maret 2017 ini telah melakoni 164 pertandingan, Lionel Messi dan kawan-kawan hanya 18 kali merasakan kekalahan, 21 kali imbang, dan menang 125 kali. Presentase kemenangan El Barca bersama Enrique pun cukup tinggi, mencapai 76,2 persen.
Jika dibandingkan dengan Pep Guardiola semasa menukangi Barcelona sedari 1 Juli 2008 sampai 30 Juni 2012, torehan Enrique hanya beda-beda tipis. Pep mengemas presentase kemenangan sebesar 72.47 persen dari total 247 laga dengan rincian 179 kali menang, 47 kali seri, dan 21 kali kalah.
Semua jenis trofi yang pernah diraih Barcelona di era Guardiola pun sudah dikoleksi Enrique. Selain itu, indikasi pengunduran diri kedua mantan gelandang sekaligus eks kapten Barca ini pun nyaris serupa: kejenuhan. Hanya saja, hasil memalukan di kandang PSG memunculkan spekulasi bahwa Enrique mundur karena tidak kuat menahan tekanan. Daripada keburu dipecat, Enrique memilih pamit terlebih dulu.
Situasi yang dialami Enrique ini berbeda dengan Guardiola yang lengser keprabon dalam masa-masa yang lebih tenang. Selain itu, Pep sejauh ini cukup beruntung karena ia selalu menangani tim yang bertabur pemain bintang dengan dukungan finansial yang kuat.
Sempat rehat setahun usai hengkang dari Camp Nou, Guardiola lantas dipinang klub penguasa Bundesliga Jerman, Bayern Munchen, dan kini menukangi klub kaya raya Premier League, Manchester City.
Jalan karier Enrique belum tentu semulus itu. Apalagi jika dilihat dari jejak rekam melatihnya sebelum membesut Barcelona. Sama seperti Pep, Enrique adalah pelatih yang belum terbukti berprestasi apabila tidak didukung oleh skuad di atas rata-rata. Bedanya, ya itu tadi, Pep selalu mujur.
Ketika menangani AS Roma pada musim 2011/2012, Enrique hanya sanggup mengantarkan klub ibukota Italia tersebut finis di posisi ke-7. Padahal, Giallorossi tentunya bukan tim sembarangan di Serie A.
Dari 42 laga, hanya 17 kemenangan yang berhasil diraih, terpaut sedikit dari jumlah kekalahan yang diderita, yakni 16 kali, sementara 7 laga lainnya seri. Presentase kemenangannya pun hanya menyentuh angka 40,5 persen.
Kala dibesut Enrique pun, pasukan serigala punya jajaran pemain bermutu seperti Maarten Stekelenburg, Cicinho, Gabriel Heinze, Nicolas Burdisso, Erik Lamela, Daniele De Rossi, Simone Perrotta, Miralem Pjanic, Fernando Gago, Dani Osvaldo, Bojan Krkic, dan tentunya il capitano Francesco Totti.
Hanya semusim di AS Roma, Enrique pulang kampung untuk membesut Celta Vigo. Hasilnya? Setali tiga uang, bahkan lebih buruk. Presentase kemenangan Enrique cuma 37,5 persen. Jumlah kekalahannya pun lebih banyak ketimbang laga yang dimenangkan, yakni 18 kali kalah dan hanya 15 kali menang, dari total 40 pertandingan.
Entah dengan pertimbangan apa para petinggi Barcelona justru menunjuk Enrique sebagai pelatih untuk menggantikan Gerardo Martino begitu musim 2013/2014 berakhir. Barangkali karena kedekatan batin karena Enrique adalah mantan punggawa Barca, sama seperti Guardiola atau almarhum Tito Vilanova.
Produk Asli Paling Mumpuni
Barcelona memang beberapa kali berjodoh ketika dibesut oleh produk asli. Yang dimaksud produk asli di sini adalah pelatih yang pernah bermain untuk klub Catalan itu, meskipun bukan merupakan alumni La Masia.
Guardiola dan Vilanova menjadi contoh terdekat sebelum era Enrique. Koleksi trofi Barcelona bersama Guardiola jangan ditanya lagi, sedangkan Vilanova memang “hanya” mempersembahkan satu trofi juara La Liga musim 2012/2013, namun ia adalah bagian dari kesuksesan Pep selama melatih Barca.
Di masa sebelumnya sempat ada nama Carles Rexach. Sama seperti Vilanova, pria yang selama 1967 hingga 1981 menjadi winger andalan Barcelona ini juga hanya mencatatkan satu trofi juara liga domestik 1990/1991. Namun, Rexach istimewa. Ia adalah orang yang menemukan Messi di Argentina saat sang calon megabintang itu masih berusia belasan tahun dan kemudian memasukkannya ke La Masia.
Johan Cruyff yang menangani skuad Catalan pada 1988 hingga 1996 lebih mengkilap lagi. Legenda asal Belanda inilah sosok di balik kesuksesan La Masia menghasilkan seabrek pesepakbola kelas dunia. Pilar Barcelona pada 1973-1978 ini juga pencetus gaya tiki-taka yang menjadi trade-mark Barcelona hingga kini.
Publik boleh menghakimi bahwa kegemilangan Guardiola, Vilanova, dan Enrique di Barcelona lantaran punya skuad yang berisikan pemain-pemain berkelas. Tapi, sebetulnya tak melulu seperti itu, ada elemen hubungan batin yang intens, dan itulah yang boleh jadi tidak dipunyai oleh Gerardo Martino.
Tata, demikian orang Argentina itu akrab disapa, hanya punya romantisme dengan Messi yang pernah menjadi anak didiknya di akademi Newell's Old Boys. Namun, untuk klub, Tata sama sekali tidak memiliki perasaan yang mendalam. Bahkan, Barcelona adalah pengalaman pertamanya melatih di Eropa.
Ketika ditunjuk menukangi Barcelona sejak Juli 2013 sepeninggal Vilanova, hanya 1 trofi Piala Super Spanyol yang diraih Tata. Padahal, pemain yang dimilikinya saat itu tidak berbeda jauh dengan skuad Barca di era Guardiola maupun Vilanova.
Lalu, apakah Barcelona akan meneruskan tren positif dengan kembali merekrut produk asli untuk menggantikan Enrique musim depan? Atau justru menggaet pelatih top dari luar lingkaran Catalan?
Jika produk asli alias mantan punggawanya lagi, siapakah yang layak? Sejauh ini ada nama Eusebio Sacristan (pemain Barcelona era 1988-1995), Juan Carlos Unzue (1988-1990), Ronald Koeman (1989-1995), hingga Frank de Boer (1999-2003), yang telah beredar.
Atau, barangkali Barcelona berminat pada mantan gelandang andalannya sekaligus alumni La Masia yang kini membesut Timnas Indonesia, Luis Milla?
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS