tirto.id - Bila bertandang ke Kabupaten Bandung Barat, kita bisa mengunjungi Gua Pawon. Ia adalah museum alam yang menyimpan riwayat manusia prasejarah yang pernah hidup di Jawa Barat.
Dari pusat Kota Bandung, Gua Pawon berjarak sekitar 25 kilometer (km). Ambillah jalur ke arah Cianjur, lalu sesampainya di Jalan Raya Padalarang-Cianjur, perhatikanlah sisi jalan. Pembaca akan menemukan papan penunjuk arah ke situs Gua Pawon.
Secara administratif, Gua Pawon berada di wilayah Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Secara geografis, ia merupakan secuil bagian dari kawasan Karst Citatah.
Jauh sebelum diteliti dan menjadi situs prasejarah, keberadaan Gua Pawon sudah menemui dua ancaman. Yang pertama datang dari aktivitas pertambangan kapur dan marmer yang marak di Karst Citatah. Ancaman kedua adalah vandalisme yang dilakukan orang-orang jahil.
“Dulu, masyarakat tahunya hanya gua, tempat di mana bisa berkunjung melihat ruangan-ruangan. Makanya di sini ada vandalisme. Dulu, mereka belum tahu aturan dan larangan,” ujar Hendi, Juru Pelihara Situs Gua Pawonkepada kontributor Tirtosaat dikunjungi pada Rabu (31/7/2024).
Untunglah laku vandalisme itu berhenti usai jejak-jejak manusia prasejarah tersingkap di gua ini. masyarakat tidak lagi melakukan hal-hal sembrono, seperti mencorat-coret sembarangan.
“Setelah datangnya para peneliti dan ditemukan manusia prasejarah di situ, ada perhatian khusus. Ini salah satu museum alam yang harus dijaga dan dilestarikan,” ujar Hendi.
Awal Terkuak
Kawasan Karst Citatah sudah ditambang sejak 1980-an.HarianKompas(6/7/2013) memberitakan bahwa kawasan Karst Citatah merupakan pertambangan kapur dan marmer unggulan Kabupaten Bandung Barat.
Pertambangan di sana telah mendapat persetujuan dariPemkab. Sebagian hasil produksi dari sana pun diekspor ke luar negeri.
“Penggalian kapur dan marmer menggunakan linggis hingga mengoperasikan backhoe terjadi di area seluas 22,7 Hektare ini. Asap hitam mengepul dari cerobong asap pabrik pengolahan kapur menghasilkan sekitar 700.00 sampai 1 juta ton kapur olahan per hari,” tulis koran Kompas.
Keberadaan Gua Pawon sendiri sudah lama diketahui masyarakat sekitar. Ia merupakan satu dari sekitar puluhan gua yang berada di kawasan Karst Citatah.
Potensi keilmuan gua-gua di kawasan Karst Citatah itu semakin mengemuka usai Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) melakukan survei dan pengamatan geologi di beberapa titik di sana pada 2000.
Seturut studi Lutfi Yondri, peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), yang terbit dalam jurnal Purbawidya (Vol. I, No. 1, 2012), para peneliti KRCB mulanya melakukan pengamatan di Gua Pawon dengan alat geomagnetik.
Dengan itulah, mereka mendeteksi adanya anomali-anomali di bawah lapisan tanah lantai gua. Hal itu lantas dilaporkan ke Balai Arkeologi Bandung (kemudian bertranformasi menjadi Balai Arkeologi Jawa Barat) yang kemudian melakukan pengecekan dan penelitian lanjutan pada Juli 2003.
“Penelitian di Gua Pawon telah dilakukan pada tahun 2003, 2004, dan 2005 oleh Balai Arkeologi Bandung di bagian tengah kawasan gua, yaitu pada ruang yang paling utuh dari kawasan Gua Pawon,” tulis Lutfi dalam studinya.
Pada 2003 itulah,Balai Arkeologi Bandung dan KRCB berhasil menguak jejak-jejak manusia prasejarah di Gua Pawon. Jejak itu adalahfosil-fosil kerangka manusia dalam keadaan terlipat yang ditemukan di kedalaman 1,4 meter di Gua Pawon.
Jejak Kehidupan Prasejarah
Hendi mengaku mendapat segala pengetahuannya tentang Gua Pawondari para peneliti yang meriset situs itu. Berkat bekal itu, Hendi sebagai Juru Pelihara Situs begitu fasih dan percaya diri menceritakan segala hal mengenai Gua Pawon pada para pengunjung, bahkan turis asing.
Hari itu, Hendi mengajak kontributor Tirto ke lokasi penemuan fosil manusia purba penghuni Gua Pawon.
“Menurut para peneliti yang melakukan penelitiannya di Pawon, mereka juga menemukan tulang-tulang hewan dari zaman [yang sama denga] manusia prasejarah. Ditemukan juga alat perkakas,” jelas Hendi.
Dia kemudian menjelaskan bahwanama “pawon” dalam bahasa Sunda berarti “dapur”. Penamaan gua itu memang merujuk pada tengara situs yang berasosiasi dengan “dapur” sebagaimana yang kita pahami sekarang.
“Pawon ini ada kaitannya dengan rumah dari manusia prasejarah. Ada cerobong asap di sana berarti dapur. Dulu, ditemukan tulang-tulang hewan yang mereka [manusia purba itu] buang. [Karena] ditemukan perkakas, makannya dinamakan Gua Pawon,” lanjut Hendi.
Setelah potensi ilmiahnya diungkap KRCB dan kemudian diteliti bersama Balai Arkeologi Bandung, beberapa temuan penting berhasil dikuak di sana. Tak hanya fosil manusia, para peneliti juga menemukan jejak-jejak budayanya.
“Di situ, mereka [para peneliti dari KRCB] menemukan serpihan-serpihan batu obsidian dan tulang belulang. Saya mengatakan untung mereka tidak lebih dari satu meter galian. Mereka semua kan banyaknya geolog. Mereka menggali melibatkan masyarakat, penggalian kasar. Kalau mereka lebih dalam pasti udah hancur,” kata Lutfi saat dihubungi kontributor Tirto, Rabu (14/08/2024).
Karena kerentanan itulah, kontribusi Balai Arkeologi Bandung jadi penting. Kolaborasi dua tim ini akhirnya berhasil menemukan lagi beberapa fosil manusia prasejarah.
Menurut Lutfi, fosil-fosil manusia prasejarah itu diangkat dari beberapa lapisan geologi berbeda. Mereka lalu melakukan metode penanggalan karbon untuk mengetahui perkiraan asal zaman dari manusia-manusia itu. Empat kerangka berhasil diidentifikasi dan diperkirakan hidup pada rentang 11.000 hingga7.300 tahun yang lalu.
Dikepung Pertambangan
Hari ini, kita bisa bersyukur Gua Pawon dan lingkungan sekitarnya selamat dari kerusakan akibat pertambangan yang merebak sejak 1980-an. Namun, jika bentang alam Karst Citatah tak dieksploitasi, tentu potensinya bagi keilmuan dan kelestarian lingkungan bisa lebih besar dari yang ada kini.
Gua Pawon yang kita lihat kini pun sebenarnya juga tak lepas dari tangan jahil. Yenti Aprianti dalam artikel “Goa Pawon di Antara Reruntuhan Gunung”yang terbit di koran Kompas(2005), misalnya, menuturkan bahwa di Gua Pawon pernah terdapat batu dengan bentuk nan unik.
“Dulu, pada 1980-an, masih ada batu yang berbentuk seikat padi. Tingginya 1,5 meter dengan lebar satu meter,” tulisnya.
Sayangnya, ia hilang gara-gara ditambang orang. Itu belum menghitung berbagai batu kaya fosfor yang hilang lantaran diambil untuk dijual ke pabrik untuk diolah menjadi pasta gigi atau pupuk.
Gua-gua kapur di Citatah yang lingkungannya terlanjur hancur di antaranya Gua Pasir Bencana, Gua Pasir Masigit, Gua Pasir Hawu, Gua Karang Panganten, Gua Pasar Manik, danGua Pasir Pabeasan.
Gua Pasir Ketu-Ketu di sebelah timur Gua Karang Panganten dan sebuah gua di selatan Gua Pasir Manik, malah sudah lama hilang akibat ditambang.
“Bila terus terjadi, mustahil Karst Citatah bisa memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dunia,” jelasnya, sebagaimana dikutip koran Kompas (6/7/2013).
Oleh karena itu, menurut Lutfi, penambang sebaiknya diregulasi agar tidak melakukan eksploitasi di tempat-tempat yang belum diteliti.
“Kalau lokasi-lokasi yang belum ada studi sama sekali dihancurkan,kita akan ketinggalan data dari budaya masa lalu. Harusnya, penambangan ada rencana kelola lingkungannya sehingga kita tahu mana yang bisa ditambang dan mana yang bisa kita lestarikan ke depan,” ungkapnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa kerusakan kawasan Citatah memang menyulitkan para peneliti untuk mengorek jawaban saintifik yang lengkap tentangproses migrasi manusia prasejarah hingga tiba di kawasan itu ribuan tahun silam.
Salah satu anggota KRCB, T. Bachtiar, menyebut bahwa gua-gua kapur umumnya menjadi rumah dan tempat penguburan di masa lalu. Oleh karena itu, temuan-temuan fosil dan benda prasejarah di gua kapur—seperti yang ditemukan di Gua Pawon—merupakan data yang amat berharga. Ia bisa dijadikan acuan bagi penelitian arkeologi dan sejarah tentang asal-usul manusia Indonesia.
T. Bachtiar dan Dewi Syafriani dalam Bandung Purba: Panduan Wisatabumi (2004) mendorong agar kawasan Karst Citatah dilindungi karena ia menyimpan data-data arkeologi dan sejarah yang tak ternilai harganya.
Untunglah, Gua Pawon telah ditetapkan menjadi Situs Cagar Budaya Tingkat Kabupaten oleh Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Bandung Barat pada 2022.
Pamong Budaya Ahli Muda Subkoordinator Sejarah dan Cagar Budaya Disparbud Bandung Barat, Asep Diki, menuturkan bahwa selain Gua Pawon, masih ada beberapa situs yang diduga objek cagar budaya di kawasanKarst Citatah.
“Walaupun baru di-input dan belum ditetapkan, perlakuannya disetarakan dengan objek yang sudah ditetapkan,”ujar Diki saat dihubungi kontributor Tirto, Senin (12/08/2024).
Penulis: Akmal Firmansyah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi