Menuju konten utama

Negara di Asia Terancam Resesi, Bagaimana dengan Indonesia?

Kementerian Keuangan optimistis perekonomian Indonesia terus menunjukkan resiliensi di tengah gejolak global.

Negara di Asia Terancam Resesi, Bagaimana dengan Indonesia?
Ilustrasi Resesi Global. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Risiko resesi di beberapa negara Asia meningkat. Kondisi itu terjadi karena harga yang lebih tinggi memacu bank sentral mempercepat laju kenaikan suku bunga mereka.

Menurut survei terbaru Bloomberg, Sri Lanka berada di tengah krisis ekonomi terburuk yang pernah ada. Negara itu memiliki kemungkinan 85 persen jatuh ke dalam resesi di tahun depan atau naik dari 33 persen peluang dalam survei sebelumnya.

Para ekonom juga menaikkan ekspektasi mereka untuk peluang resesi di Selandia Baru, Taiwan, Australia, dan Filipina masing-masing menjadi 33 persen, 20 persen, 20 persen, dan 8 persen. Bank-bank sentral di tempat-tempat itu telah menaikkan suku bunga untuk menjinakkan inflasi.

Para ekonom juga melihat peluang 20 persen bahwa China akan memasuki resesi. Sedangkan Korea Selatan atau Jepang kemungkinan terjadi resesi 25 persen.

"Ekonomi Asia sebagian besar tetap tangguh dibandingkan dengan Eropa dan Amerika Serikat. Lonjakan harga energi telah memukul negara-negara seperti Jerman dan Prancis paling banyak, dengan efek limpahan yang berdampak pada wilayah lainnya, kata Kepala Ekonom Asia-Pasifik di Moody's Analytics, Steven Cochrane dikutip dari Bloomberg, Rabu (13/7/2022)

Secara umum risiko resesi Asia sekitar 20-25 persen. Kemungkinan AS memasuki resesi mencapai 40 persen, sementara Eropa berada pada 50-55 persen. Risiko resesi di beberapa negara Asia meningkat. Hal itu disebabkan harga yang lebih tinggi memacu bank sentral untuk mempercepat laju kenaikan suku bunga mereka.

Lantas Bagaimana dengan Indonesia?

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu meyakini perekonomian Indonesia terus menunjukkan resiliensi di tengah gejolak global yang terjadi. Bahkan kata dia Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang dapat mengembalikan output ke level pra-pandemi sejak 2021.

"Kinerja ekonomi domestik di tahun ini juga terus menguat antara lain didukung situasi pandemi yang terus terkendali,” jelas Febrio dalam pernyataannya.

Febrio mengatakan situasi pandemi yang kondusif menjadi salah satu prasyarat penting agar confidence masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi sosial terus terjaga. Salah satu cara yang akan terus ditempuh adalah mendorong vaksinasi. Di mana saat ini sudah mencapai 74,2 persen populasi untuk dosis pertama dan 62,1 persen untuk dosis lengkap.

Di sisi lain, APBN juga akan terus diarahkan untuk menjadi instrumen penting merespons dinamika ekonomi yang terjadi, termasuk menjadi peredam syok (shock absorber). Di tengah peningkatan risiko global, APBN akan terus diarahkan untuk memastikan terlindunginya daya beli masyarakat khususnya kelompok yang rentan serta terjaganya pemulihan ekonomi.

"Saat ini, risiko perekonomian global telah bergeser dari krisis pandemi ke potensi krisis energi, pangan, dan keuangan. Pemerintah Indonesia akan terus menjaga agar kinerja ekonomi domestik terus menguat meski di tengah berbagai tantangan global," tutup Febrio.

Ekonomi Tetap Tumbuh 5 Persen?

Di tengah gempuran resesi global, Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah optimistis Indonesia bisa menjaga pertumbuhan ekonominya di angka 5 persen. Resesi yang terjadi di belahan negara, menurutnya, tidak berdampak signifikan kepada laju ekonomi dalam negeri.

"Saya masih optimistis kalau indonesia bisa bertahan walau perekonomian global dihantam resesi. Dengan asumsi pandemi mereda," kata Piter saat dihubungi.

Dia mengakui kondisi ekonomi global dispekulasikan akan resesi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian di banyak negara maju. Amerika Serikat misalnya, angka inflasi di negeri Paman Sam tersebut melambung tinggi. Inflasi yang tinggi itu kemudian mengundang kenaikan suku bunga AS atau The Fed. Suku bunga yang tinggi, likuiditas yang kering otomatis akan membuat demand terbatasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

"Kondisi ini berpotensi membawa Amerika mengalami resesi, kontraksi ekonomi selama dua triwulan berturut-turut," kata Piter.

Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2022 tercatat negatif 1,4 persen. Ini utamanya disebabkan oleh tingginya impor di tengah menurunnya ekspor. Tetapi permintaan negara tersebut masih cukup terjaga. Jika kuartal II-2022 kembali negatif, maka perekonomian AS secara resmi disebut resesi.

"Resesi di negara-negara maju seperti AS akan berpengaruh terhadap perekonomian global. Tetapi tidak berarti semua negara akan mengalami resesi," kata Piter.

Piter menekankan, resesi terjadi di Amerika tidak menjadikan Indonesia juga resesi. Perekonomian Amerika terdampak negatif oleh tingginya impor di tengah harga komoditas yang tinggi.

Sementara Indonesia sebaliknya, harga komoditas yang tinggi membantu ekspor dan mendorong surplus neraca perdagangan tertinggi.

"Amerika memang mitra dagang utama bagi Indonesia, tetapi bukan satu-satunya. Perekonomian Indonesia tidak sepenuhnya bergantung kepada Amerika. Indonesia lebih banyak bergantung kepada Cina," jelasnya.

Piter menuturkan walaupun Amerika mengalami resesi perekonomian, Indonesia masih memiliki peluang dalam kondisi baik. Sebab, menurutnya, yang perlu diwaspadai yaitu jika kondisi Cina, Eropa mengalami resesi.

"Kita patut lebih khawatir," imbuhnya.

Baca juga artikel terkait RESESI EKONOMI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin